Jumini termenung duduk di tepi bale bale. Pertemuannya dengan kedua orang tuanya berjalan tidak baik baik saja.
Bapaknya mencakar wajahnya berkali Kali, membuatnya sangat pilu. Rasa pedih yang ia rasa dari tadi, hingga saat ini di wajahnya, tak sebanding dengan pedih hatinya yang teriris.
Walau sakit perih bekas cakaran lelaki yang sangat geram pada dirinya, namun hatinya cemas akan kesehatan bapaknya yang memendam amarah karena merasa kehilangan putrinya.
Ia khawatir bapaknya sakit akibat ulahnya ini. Jika sampai bapaknya jatuh sakit, maka betapa bersalah dirinya.
Emaknya mendorong supaya menjauh. Sangat ia ingat tatap mata emaknya yang sangat murka.
Tentu saja hatinya terkoyak melihat emaknya sangat berang, melihat perempuan yang begitu menyayanginya sangat terpukul mengira putrinya hilang. Jumini merasa telah membuat mereka sangat tersakiti hatinya. Mereka tersiksa batinnya, karena mengira putri mereka betul betul dirinya menganiaya putri mereka.
"Maafkan Jumini, Pak," rintih Jumi, "Ampunkan Jumi, Mak," terisak tak kuat menahan sedih melihat derita kedua orang tuanya tadi.
Air mata Jumini mengalir. Tapi segera ia hapus dengan tissue, khawatir air matanya mengenai memar wajahnya yang tengah dalam perawatan, dikhawatirkan iritasinya parah.
"Yang sabar ya, Dik Jumi, kita saling doa, oh ya kalau mau aku bisa bantu dirimu untuk diperiksa dokter kulit wajahmu yang memar itu," ujar Lia yang sudah dijamin pengacara serta kakaknya itu, sehingga ia tak lagi harus ditahan dalam menjalani kasusnya. Sore ini ia pamit pada Jumini serta pada Dahlia yang masih harus menunggu kasusnya ditangani polisi.
"Nggak usah, Mbak, terima kasih, aku masih ada salep anti bakteri dari dokterku yang di Korea," ujar Jumini tersenyum atas tawaran mantan teman setahanannya.
"Ya sudah kalau perlu dokter ini nomer ponselku," Lia mengulurkan kartu namanya pada Jumini.
"Terima kasih, Mbak," Karena ponselnya direbut Dahlan, maka Jumini menyimpan kartu nama Lia di dalam dompetnya.
Lia tersenyum."Semoga semua berjalan dengan baik, ya,"
"Terima kasih, Mbak Lia," angguk Jumini
"Beberapa hari lagi Dik Jumi sudah kembali ke rumah, begitu tes DNA keluar," hibur Lia, "Anggap saja ini pelajaran lain waktu runding dulu dengan suami kalau mau melakukan sesuatu,"
"Ya, Mbak, kapok aku,"angguk Jumi yang mengira Dahlan akan menyambutnya dengan suka cita atas perubahan drastis wajahnya, yang semula sedang sedang saja, menjadi jelita. Kulitnya yang ia rasa tak berbinar, menjadi bening.
Setelah Lia berlalu Jumi kembali termenung. Temannya kini tinggal Delia yang tampak sudah pasrah akan nasibnya.
"Semoga saja urusan Dik Jumi lancar, jadi tinggal aku yang lanjut ke sidang pengadilan," ujar Delia yang tak bisa lagi mempertahankan rumah tangganya.
Delia tertimpa dua kasus. Dilaporkan selingkuhan suaminya, dan digugat cerai sang suami karena kelakuaannya dianggap sadis, serta menyeret nama suaminya sehingga perselingkuhannya menjadi ramai dibicarakan orang di sekitar tempat tinggal mereka.
"Semoga saja Ibu Deli mendapat pertolongan, tabah ya, Bu, karena hati cemburu itu suka menimbulkan emosi. Aku cukup memakluminya," ujar Jumi, walau hatinya sedih tapi masih tetap berusaha untuk menenangkan hati kawan satu tahanan.
Deli tersenyum.
"Jika aku bisa pulang bebas nanti aku akan jenguk Bu Deli," tangan Jumi terulur pada Delia.
"Terima kasih ya, Dik Jum," tersenyum Deli.
*
Zainal dan Narsia di kamar mereka yang sejuk bet Ac di rumah Dahlan sangat gelisah.
Kedatangannya ke Jakarta jauh dari harapan dan bayangannya. Memeluk putrinya Jumi, tapi justru petaka yang mereka hadapi.
Mereka tampak masih menyimpan gusar dalam dada. Namun diam diam Narsia mulai terusik dengan tatap mata Jumi yang minta dikasihani. Bukan hanya itu, tapi ia merasa kenal dekat dengan riak mata itu.
Tes DNA untuk menentukan benar tidaknya Jumini putri mereka sudah dilaksanakan tenaga media rumah sakit. Hanya tingga menunggu hasilnya.
"Mak," panggil Zainal pada istrinya.
"Ya, Pak,"
"Perasaanmu bagaimana terhadap perempuan cantik yang mengaku anak kita siJumi," Ada keraguan pada suara Zainal.
"Aku merasa tatap mata perempuan itu milik Jumi, Pak, tapi entah, aku jadi bingung kok bisa begini kita dibuat bingung,"
"Entah, Mak, tadi aku gemes kesal makanya aku cakar dia habis habisan. Kalau saja tak dipisah polisi mungkin hancur muka cantiknya itu!" Zainal masih gusar.
"Bagaimana kalau betul dia si Jumi, Pak, Karena ingin cantik operasi plasti" Narsia merasa ada sesuatu saat tatapannya bertemu dengan mata Jumini tadi di kantor polisi.
Zainal terkejut.
"Caranya memandang membuat Emak teringat si Jum, Pak,"
Zainal menatap lekat Narsia istrinya.
"Muka bisa dioperasi sampai bisa berubah semuanya. Hidung bisa dioperasi mancung. Bibir bisa dibuat manis. Kulit bisa berubah, tapi Mata kan nggak bisa dirubah, Pak, masa mata mau dicongkel diganti mata orang Korea, ya, tetaplah Mata aslinya," urai Narsia.
Zainal semakin berdebar.
"Nah matanya itu kurasa matanya Jumini,"
Zainal bergetar hatinya saat tiba tiba muncul tuduhan yang sangat keji pada Jumini cantik itu.
"Wah kalau begitu jangan jangan perempuan tadi awalnya buta, terus operasi deh memindahkan Mata si Jum anak kita menggantikan matanya yang buta ...!" Bergidik Zainal.
Begitu juga Narsia, perempuan setengah abad lebih yang semula merasa jika perempuan itu memiliki sinar mata putrinya, dikhawatirkan memang benar Jumi yang sudah operasi, menjadi cemas dan marah jika benar perempuan yang ngaku anaknya itu buta, lalu memindahkan mata Jumi asli ke Mata buatnya.
Narsia berdiri."Kita harus bicarakan hal ini pada Dahlan,"
"Ya, ini sudah biadab perempuan itu telah membayar orang untuk memindahkan mata anak kita ke Mata butanya!" Zainal langsung berdiri, menarik tangan istrinya tak sabar untuk bertemu Dahlan.
Tapi ternyata Dahlan tak ada di rumah, lelaki itu kini sedang berhadapan dengan ketua Rukun Tetangga alias RT atau beken disebut Pak RT.
Rt Harun sangat terkejut mendengar keluh kesah Dahlan. Sungguh ia tak menyangkah jika perempuan cantik bernama ibu Jumi itu palsu belaka. Penipu dan kemungkinan pembunuh sekaligus pencuri.
"Wah pantas saat saya minta kartu tanda pengenalnya hanya menyerahkan foto copy kartu tanda pengenal Pak Dahlan, beserta kartu keluarga," Rt Harun geleng geleng kepala, ternyata ia berhadapan dengan orang jahat waktu perempuan itu datang melapor sore hari setelah pindahkan.
"Ya Pak saya juga Minta maaf baru melaporkan peristiwa ini pada Pak RT, dikarenakan saya bingung, sedih, marah bercampur jadi satu pada diri saya,"
"Saya maklum dan paham, Pak," angguk Rt Harun, "Berarti perempuan itu melakukan kejahatannya sebelum pindah ke wilayah sini, karena waktu pindah dan lapor pada saya ya sudah cantik seperti itu, Pak,"
"Ya benar, Pak," angguk Dahlan.
"Kalau begitu Pak Dahlan harus ke rumah yang lama untuk bertanya pada tetangga dan Pak RT setempat," saran Harun.
Dahlan mengangguk. Benar juga harus bertanya pada tetangga dan ketua RT di tempat tinggalnya yang lama.
Tapi baik ketua RT mau pun tetangga depan rumah dan di samping kanan dan kiri rumahnya, kompak mengatakan tak kenal perempuan cantik yang fotonya diperlihatkan oleh Dahlan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments