Jumini menangis sejak pagi. Rasa sesal menguasai dirinya. Ketakutan teramat sangat membuatnya sangat tersiksa.
"Mbak Jumi harus makan supaya badan tak lemah, bagaimana pun makanan mempengaruhi fungsi otak kita," ujar Dokter Andre membujuk.
"Ya, Dok, " tapi nyatanya ia enggan untuk melakukan perintah dokternya. Tapi tak menolak untuk diberi obat dan vitamin. Maka itu seorang suster berusaha untuk membuatnya makan walau sedikit.
"Mbak Jumi,"
"Ya, Bu," sepasang mata Jumi yang tampak kosong itu menatap Suciyati Psikolog pendampingnya.
"Ayo bangkit semangat. Jangan selalu dipenuhi Rasa bersalah dan sesal. Apa yang sudah terjadi adalah kembang dan kerikil kehidupan, tapi raga dan jiwa kita perlu tetap segar untuk melewati kerikil dan meraih kembang untuk lebih menyemarakkan ruang jiwa kosong kita," tersenyum Suciyati.
"Ya, Bu, saya tak bisa untuk mengeluarkan rasa sesal apa yang telah saya lakukan, peristiwa itu saat suami saya menuduh saya sebagai pembunuh istrinya, menuduh saya sebagai pembunuh ... Pandangan matanya penuh kebencian pada saya ... Itu karena ulah saya. Hi ...hu .. hu ..." Terisak Jumi dengan sedih.
Suciyati meraih tangan Jumini."Menangislah untuk mengeluarkan beban sesal dan beban berat yang Anda pukul ..." Ujarnya dengan suara lembutnya.
Jumini menangis dengan perasaan pilu. Semua terbayang dalam benaknya. Tatapan penuh kebencian Dahlan saat mereka beradu pandang di ruang polisi. Betapa saat itu hatinya sangat terluka mengalami tuduhan dan ucapan Dahlan yang sangat merendahkannya.
"Suami saya sangat benci pada saya ..." Ujar Jumini dalam sedannya.
Suciyati menjadi tempat curhat yang baik. Ia membiarkan Jumi mengenang peristiwa pahit itu.
"Bapak saya begitu murka, Emak saya menangis jijik didekati saya ..."
Satu persatu muncul bak film yang diputar bayangan kemarahan Zainal yang mencakar wajahnya berulang kali dengan geram. Emaknya yang mendorongnya dengan tatap marah dan jijik.
Itu adalah rasa bersalah yang sangat besar dalam hidupnya. Membuat orang tua dan suaminya berang dalam rongrongan kecewa yang memenuhi jiwa raga mereka.
"Kenangan buruk karena yang kita lakukan tak bisa mereka terima, tapi tak selamanya salah itu tak mendapat pengampunan. Belajar dari kesalahan terkadang kita menjadi pribadi yang baik, kesalahan jika kita sadari akan menuntun kita menjadi orang yang tak malu menyadari jika kita pernah khilaf, dengan demikian kesalahan sebesar apa pun jika kita akui tanpa malu untuk memperbaiki, percayalah akan tercipta suatu semangat baru yang menuju pada pelonggaran jiwa yang semula pengab seakan gelap, menjadi ringan terang," ujar Suciyati.
"Ya saya merasakan itu, Bu," ujar Jumini sedih.
"Perasaan bersalah?"
"Ya, Rasa bersalah membuat takbada artinya wajah cantik yang saya perjuangankan," tertunduk Jumini sudah tak perduli lagi pada wajah cantiknya yang dua hari ini tak ia rawat itu. Sehingga leban dan bekas cakaran menjadi tugas suster untuk mengurusnya.
"Bagus, tapi wajah yang sudah terlanjur ada kini tak perlu menjadi sumber penyesalan, sayangilah wajah Anda apa pun itu. Jangan perbesar masalah yang sudah selesai. Ayo hilangkan masalah itu, sehingga tak jadi ganjalan dalam niat dan langkah positif Anda,"
Jumini menatap Suciyati.
"Jika niat Anda untuk bangkit apa pun akibat yang sudah ada, pasti bisa. Menghadapi jiwa yang penuh gelisah dengan pikiran Ikhlas dan siap menghadapi jalan ke depan,"
"Saya tak sanggup bertemu mereka," gumam Jumini. Hilang menguap perjuangan ya untuk dapat diterima Dahlan dan bapak serta ibunya.
"Itu karena Anda masih dikuasai jiwa yang gelisah. Ayo ikhlaslah menyongsong masa merdeka Anda tanpa rasa rendah diri tapi dengan rasa pasrah,"
Jumini menatap Suciyati tanpa suara.
Suciyati mengangguk dengan tersenyum.
"Perlahan pasti bisa," bujuk Suciyati. Ia tahu Jumini masih dikuasai pikiran dan rasa sesal dengan obsesi yang begitu ingin tampil cantik menawan.
Jumini menghapus air matanya.
"Perlu satu tekat yaitu semangat!" Suciyati tersenyum.
*
Sajak mendengarkan cerita Dahlan dengan mengangguk angguk.
"Syukurlah istrimu selamat," ujar Sajak merasa ikut senang karena istri sahabatnya tak hilang, dan lolos dari aniaya.
Dahlan tampak tak tenang.
"Jadi istrimu dirawa?"
Dahlan mengangguk, "Kata dokter Jumi mengalami rasa sesal yang dalam, sehingga membuat jiwanya tak tenang."
"Oh begitu?"
"Ya, dia belum mau bertemu denganku, juga tak mau bertemu mertuaku,"
"Wah gawat juga kalau gitu," gam Sajak.
"Aku sudah minta Jumi dirawat khusus. Dia didampingi Psikolog,"
"Ini menjadi sangat serius, kasihan juga istrimu itu mentalnya jadi minder mungkin bertemu kamu,"
"Semoga saja cepat sembuh,"
"Ya supaya kalian bisa hidup tenang seperti dulu lagi," harap Sajak tulus pada kebahagiaan rumah tangga sahabatnya.
Paling tidak peristiwa yang menimpa sahabatnya itu bagi Sajak menjadi pelajaran jika kelak ia betumah tangga. Dirinya juga pelaut yang pasti akan meninggalkan istrinya Dalam waktu tak menentu. Harus ditrapkan Dalam Menegement rumah tangganya, bahwa segala sesuatu yang akan dilakukan istrinya kelak harus sepersetujuan dirinya.
Supaya jangan ada peristiwa yang tak diinginkan terjadi Dalam rumah tangganya kelak.
"Aku sekarang bingung,"
"Maksudmu?!" Sajak menatap Dahlan.
"Bagaimana mungkin harus hidup berdampingan dengan perempuan yang masih asing bagiku," jujur Dahlan mengakui jika ia masih risih jika harus tidur dengan perempuan yang wajahnya asing bagi dirinya, "Walau di dalam raga itu tetap yang sama. Tetap milik Jumini, tapi aku pasti tak bisa memeluk, dan bersama di tempat tidur,"
"Serius, kau, Dahlan?!" Sajak menatap lekat Dahlan.
"Sumpah!" Dahlan mengangguk cepat, mukanya tegang.
"Wah rupanya kau pun harus ke Psikolog jika demikian,"
Dahlan terkejut.
Sajak mengangguk.
*
Zainal dan Narsia Sama sama terserang rasa bimbang dan ragu, serta sedih.
Mereka memiliki pemikiran yang sama dengan Dahlan untuk berhadapan dengan Jumini, jika putrinya itu sudah keluar dari rumah sakit.
Pertama pasti canggung Karena wajah putrinya bukan lagi wajah yang begitu akrab dengan mereka.
Wajah Jumini yang sekarang tak lagi familiar bagi dirinya, walau raganya tetap milik Jumini, tapi tetap saja wajah cantik bak artis Korea itu sangat membuatnya risih untuk berkasih sayang sebagai orang tua dan anak.
"Ah Jumi kenapa kamu jadi senekat ini, Nak, jadinya Bapak sudah menyakitiku, dan Bapak juga pasti tak bisa bersikap seperti dulu padamu, seperti saat wajahmu masih Jumi kami,"
"Emak padahal sering mengingatkan untuk menjadi perempuan sederhana walau suaminya memberi uang banyak. Jangan terpengaruh jaman, ya Allah ampunkan putri hamba Jumini ..." Narsia menangis dan menangis untuk wajah baru putrinya.
Bagi perempuan kampung sederhana ini wajah lama putrinya sudah sangat cantik karena keluar dari aura hati dan jiwa yang bersih. Tapi justru wajah kesayangannya itu dibuang dengan sengaja. Ia merasa gagal sebagai Ibu yang memberinya bekal wejangan dan doa untuk perjalanan hidup putrinya di tanah rantau.
Jelang tengah malam Dahlan baru kembali ke rumah, disambut Zainal dan Narsia yang menunggunya dengan raut muka penuh duka.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments