Sampai di rumah Dahlan tak ada sambutan dari Jumi yang membuat Narsia bertanya tanya.
"Mana anakku itu?" Narsia celingak celinguk di ruang tamu di samping Zainal yang bisa bersikap lebih tenang dari dirinya.
"Bapak, dan Emak silahkan duduk dulu," ujar Dahlan berusaha menutupi kegundahan hatinya.
"Ya, Dahlan," segera Zainal menarik istrinya duduk.
Narsia ikut duduk di sofa di samping suaminya. Sedangkan Dahlan membawa koper pakaian kedua mertuanya ke kamar yang berseberangan dengan kamarnya, yang telah ditata sebelumnya oleh Jumi, tapi sekarang ia tempati sendiri.
Setelah itu Dahlan menyiapkan teh es dan kopi panas untuk Zainal bersama Narsia.
Sengaja ia membuat dua jenis minuman panas dan dingin. Karena saat ini udara cukup panas, walau ruangan sudah ia nyalakan pendinginnya, makanya ia menyiapkan satu wadah untuk teh es manis, dengan dua gelas kosong, lalu dua cangkir kopi panas karena mertuanya itu penyuka kopi hitam tanpa campuran susu.
"Bapak diminum dulu, ya," lalu menoleh pada Narsia, "Minum dulu ya, Mak,"
Narsia pun hanya mengangguk.
Pesanan makanan diantar oleh ojek online, segera Dahlan ke depan untuk mengambil sekaligus membayar pesanan untuk persiapan makan kedua mertuanya.
"Apa itu, Dahlan?" Narsia menatap bungkusan di tangan Dahlan.
"Untuk makan siang kita, Mak,"
"Itu kau beli jadi?" Narsia memandang penuh selidik. Si Jumini itu jago masak, kok untuk makan siang kenapa harus beli? Tapi segera ia sadar bukankah Jumi sedang mengandung besar?
"Ya, Mak, praktis," angguk Dahlan segera berlalu.
"Sudah biar saja mereka beli mungkin si Jumi lagi malas, ayo diminum dulu biar haus kita hilang," ajak Zainal berusaha menenangkan istrinya yang tampak sudah tak sabar ingin bertemu Jumini anak mereka.
"Ya," angguk Narsia mengangkat wadah teh es lalu menuang ke dua gelas kosong, Bapak mau minum teh es?"
"Ya,"
Narsia memberikan gelas berisi teh es pada suaminya, lalu Zainal segera meneguknya. Setelah itu ia meneguk separuh isi gelas teh esnya untuk pelepas dahaga.
Sedangkan Dahlan sibuk menata meja makan. Mengisinya dengan lauk pauk yang dibelinya secara online tadi. Masalah nasi ia masak sendiri tadi sebelum berangkat ke Bandara.
Setelah meja selesai ditata ia berdiri bingung harus bagaimana?
Jelas kedua mertuanya tak berharap untuk makan, selain ingin tatap muka dengan Jumini anak mereka.
Dahlan berdebar, bagaimana ini? Si Jumi tak ada lalu kalimat apa yang pantas untuk menjawab pertanyaan mereka tentang Jumi yang belum juga bisa mereka temui?
Dahlan memang telah berniat untuk menceritakan tentang kemelut istrinya setelah kedua mertuanya makan. Tapi mereka makan tanpa Jumini manamungkin terjadi?
Berjalan mondar mandir di ruang makan. Keringat mulai merembes keluar dari pori pori kulitnya, padahal ruangan sejuk berAc. Antara ruang makan dan ruang tamu tak terlalu jauh, otomatis udara sejuk dari ruang tamu terkirim pula ke ruang makan. Apalagi ruangan tamu tak terlalu besar.
Pikirannya sangat mumet. Rasa takut bercampur dengan rasa khawatir yang begitu besar akan murka kedua mertuanya jika tahu cerita yang sebenarnya jika anak mereka menghilang.
Bagaimana ini?
Rasanya inilah beban terberat dalam hidupnya. Sudah tiga hari ia mengalami kesedihan atas istrinya yang hilang. Kini ditambah Rasa takut murka mertua yang melandanya.
Di ruang tamu Narsia sudah mulai tak sabar ingin melihat Jumini.
"Permainan macam apa yang anak kita sajikan untuk kedatangan kita, Pak?!" Narsia memperlihatkan rasa kesalnya, enggan menyentuh cangkir kopinya yang panasnya sudah menurun itu.
"Sabar ya, Mak, mungkin si Jumi akan memberi kejutan pada kita," ujar Zainal sambil mengangkat cangkir kopi.
"Huh kok aneh aneh saja itu anak." Narsia mengeluh.
"Ya namanya juga perempuan hamil, Mak," ujar Zainal bersikap santai menghadapi ketidakmunculan Jumini.
"Jadi kejutan apa pula yang akan ditunjukkan anak kita, Pak?"
"Kita tunggu saja kemunculannya, Mak, sabar," ujar Zainal, "Ingat anakmu itu sedang Hamil,"
"Jadi ini juga atas bawaan Jumi yang sedang Hamil, gitu?" Narsia agak cemberut.
"Ya begitulah kehamilan anak kota jaman sekarang. Penuh kejutan," tertawa kecil Zainal.
"Macam macam Pula." Sungut Narsia.
"Haus sudah minum tes es, nah sekarang coba cicipi sedikit saja kopinya sebelum mendingan, supaya kepalamu tak pusing dengan tingkah si Jumi, Mak," terkekeh Zainal.
Mau tak mau Narsia mengikuti saran suaminya. Meneguk sepertiga isi cangkir. Kopi di dalamnya sudah tak terlalu panas lagi.
"Nah kita tunggu saja apa acara selanjutnya yang akan dilakukan anak kita, Mak. Ingat Jumi sedang Hamil, jadi terkadang tingkahnya mengikuti perintah bayinya, Mak," tersenyum Zainal berusaha menghibur istrinya, 'Waktu emak hamil kan begitu. Ngidamnya beberapa hari malas keluar kamar. Malas bertemu banyak orang," lanjutnya mengingatkan Narsia atas kehamilannya dulu, yang tak lain saat mengandung anak mereka satu satunya si Jumini.
Narsia mengangguk mengiyakan. Waktu tiga bulan kehamilan Jumini dulu, dirinya memang malas keluar kamar. Malas bertemu orang banyak.
"Tapi kan perempuan suka aneh aneh itu kalau sedang ngidam atau masa kehamilan tiga bulanan. Kan si Jumi hamilnya sudah besar, masa masih ngidam ajah, Pak?"
"Namanya orang hamil emosinya kan tak menentu kata bu bidan dulu. Mungkin saja Jumi mengalami hal begitu. Kan kita tidak tahu anakmu itu memasuki masa kehamilan yang keberapa bulan."
"Huh kok jadi teka teki, Pak," heran Narsia menatap suaminya, "Si Dahlan belayar sudah sepuluh bulan, harusnya Jumi sudah lahir, kok ini masih hamil saja?"
"Ya maunya anakmu itu, hamil tidak memberi kabar. Jadi kita kehilangan berita sudah berapa bulan kehamilannya, Mak," ujar Zainal.
"Huh anak itu macam macam saja tingkahnya, membuat aku mau gila rasanya, Pak,"
"Ya itulah anak kita," tersenyum Zainal.
Dahlan muncul. Seketika Narsia berdiri. Berharap di belakang tubuh tegap Dahlan berjalan tertatih Jumi yang sedang Hamil itu.
Tapi saat Dahlan berjalan hanya sendirian ia kecewa. Zainal yang melihat raut muka istrinya langsung bersuara.
"Dahlan emakmu ini sudah tak sabar ingin jumpa istrimu yang sedang Hamil,"
Dahlan tersenyum. Lelaki itu merasa senyum yang ia lakukan itu seakan mengambang di bibirnya, sementara hatinya bimbang dan ragu.
"Ya, Mak sabar, ya, dan saya minta maaf belum membawa Jumi anak Emak," ya ampun senangnya Dahlan bisa menyelesaikan kalimat ucapannya.
"Tapi betul kan istrimu hamil?" Narsia mendesak Dahlan.
"Nanti biar sama Jumi saja, Mak, yang menjelaskan ya," berdebar lagi dada Dahlan.
"Hamilnya sudah berapa bulan istrimu itu, sudah mendekati hari kelahiranyakah?" Narsia terus mendesak, "Tapi kan kamu sepulih bulan belayar baru pulang?!" Lanjut perempuan itu bingung.
"Ya pasti Mak, pasti sudah dekat hari kelahirannya."ujar Zainal.
"Tapi kalau menurutmu perhitungan lamanya kau belayar, Dahlan istrimu itu sudah melahirkan," protes Narsia pada Dahlan.
"Emak ingat si Marfuah tetangga kita, dia masa kehamilannya sampai sepuluh bulan lebih baru melahirkan," ujar Zainal mengingatkan sang istri pada tetangga yang setiap kelahiran anak anaknya melewati masa sepuluh bulan kehamilan.
"Itu karena faktor keturunan, Pak, si Marfuah dari sananya memang begitu, semua keluarganya kalau hamil sepuluh bulan sepuluh hari baru lahir," ujar Narsia tak mau anaknya disamakan dengan keluarga Marfuah, "Tapi kekuargaku semua normal. Hamil sembilan bulan sepuluh hari sudah pecah ketuban sudah melahirkan!"
Zainal hanya diam tak mau debat mereka berlanjut.
Setelah mereka terdiam giliran Dahlan yang mulai gelisah. Apalagi kini empat mata tengah mengawasinya, menunggu keterangan tentang Jumi yang hamil menurut rekayasa mereka tentu saja.
"Begini Mak, maafkan saya, Bapak ..." Tersendat suara Dahlan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments