Zainal dan Narsia menatap lekat Dahlan, hingga membuat menantunya itu jadi tegang dan mendadak terdiam. Keringat dingin mulai mengucur di muka serta leher Dahlan.
"Dahlan ayolah si Jumi istrimu itu dimana sekarang, sejak tadi kok kami ini menunggu dengan berdebar," rupanya Narsia sudah tak mau lagi menuruti permainan menantu atau anaknya.
"Ya, ayolah suruh Jumi menemui kita, atau jangan jangan istrimu sudah melahirkan," sambung Zainal dengan senyum lebar.
"Emak dan Bapak akan mendapat kejutan dari Jumi, tapi sekarang kita harus makan dulu, barulah kita pergi bersama," ujar Dahlan dengan membujuk.
"Kita ke rumah sakit menjemput cucu dan anakku, Dahlan?" Narsia yang semula menunjukkan ketidaksabarannya, kini mulai tersenyum lebar. Terbayang di benaknya bayi merah yang dilahirkan putri tunggalnya itu.
"Perempuan laki laki cucuku itu, Dahlan?" Tak sabar juga Zainal ingin menimang cucu pertamanya.
"Makanya Emak sama Bapak makan dulu sekarang, jadi biar kita segera pergi," ujar Dahlan masih memainkan perannya memberikan teka teki pada kedua mertuanya.
Zainal menoleh pada istrinya. Narsia yang sudah tak sabar ingin melihat anak dan cucunya langsung mengangguk.
"Kita makan dulu, Mak?" Ajak Dahlan.
"Ya kita makan yuk setelah itu kita akan menengok cucu dan anakku," angguk Narsia.
Dahlan segera mengajak kedua mertuanya ke ruang makan. Sebisa mungkin ia harus mebuat mereka makan dengan santai dan nyaman. Karena setelah itu bukan bayi lucu dan Jumini yang akan ditemui. Tapi perempuan cantik berwajah Korea yang akan membuat mereka syok.
Ingat akan keterkejutan kedua mertuanya nanti di kantor polisi, semakin memgucur keringat dingin di tubuh Dahlan. Tapi ia harus tetap tenang menemani kedua mertuanya makan.
"Mak ayo makannya yang enak, ya, supaya tenaga yang hilang selama perjalanan, diganti dengan yang baru," ujar Dahlan sambil menambah lauk pauk pada kedua mertuanya, yang mau tak mau menurut apa katanya itu.
Sebenarnya baik Narsia mau pun Zainal merasa tanpa makan apa pun terlebih dulu mereka masih sanggup bepergian menemui putri mereka. Tapi kalau acara makan termasuk syarat yang diminta anaknya, ya sudah dituruti saja.
"Huh si Jumi kok macam macam, sih, peraturannya. Kalau bukan karena cucu sudah kumarahi dia," ujar Narsia dengan senyum senyum setelah menghabiskan nasi terakhirnya di piringnya.
Zainal tersenyum, "Anak jalan Now, Mak,"
"Maafkan saya, Mak, Pak," ujar Dahlan sepenuh hati. Sebenarnya ia tak sampai hati mempermainkan kedua orang tuanya sejak tadi tiba di Bandara.
Untuk menceritakan langsung keadaan putri mereka yang sesungguhnya, kok tak sampai hati jika kedua mertuanya itu tak ngasoh dulu, makan dan ngopi. Karena kabar yang akan disampaikan bukankah Berita bahagia. Pasti selera makan kedua mertuanya hilang kalau sudah tahu hal yang sebenarnya.
"Sudah tak usah minta maaf, aku tahu pasti kamu mengikuti maunya anakku, kan?" Zainal tersenyum menepuk pundak Dahlan.
"Kamu itu mantuku yang baik, pasti anakku ini yang merencanakan semuanya, tapi itu kan karena permintaan cucuku juga," ujar Narsia.
"Nah sekarang kami sudah kenyang. Sudah satu jam lebih duduk di rumah sejuk kalian, rasanya cukup sudah istirahat kami," ujar Zainal pada Dahlan.an kami dengan istrimu dan cucuku," pinta Narsia.
"Ya, Mak, mari, Pak," ajak Dahlan.
"Ayok Pak," segera Narsia berdiri sambil memandang suaminya.
"Ayok, Mak," sambut Zainal.
"Mari," dengan hati gunda gulana Dahlan membawa kedua mertuanya ke kantor polisi.
"Kok ke Kantor polisi, Dahlan?!" Zainal menatap gedung bertingkat di depannya dengan bimbang.
"Lho bukan ke rumah sakit?!" Narsia bingung memandang Dahlan heran.
"Mak, Pak, di dalam semuanya menjadi jelas," suara Dahlan pelan, bahkan ia tak berani membalas tatapan kedua mertuanya yang tegang dan penuh tanda tanya.
"Maksudmu apa, Dahlan?!" Zainal panik.
"Anakku Jumi ada di kantor polisi bukan di rumah sakit?!" Narsia tegang, "Memangnya salah apa si Jumini sampai dia ada di kantor polisi?!" Tatap mata perempuan itu minta jawab yang jelas pada Dahlan.
Narsia yang semula sangat bersemangat ingin bertemu Jumini yang dikiranya sedang melahirkan di rumah sakit, tiba tiba saja tubuhnya merasa lemah. Ia merangkul lengan suaminya supaya tidak terjatuh. "Apa salah anakku, Dahlan, kenapa sampai dia ada di kantor polisi?" Menangis sudah emak yang sangat merindukan putrinya itu. Hilang sudah angannya melihat cucu.
"Ya Dahlan jadi ini maksud kamu mengulur waktu untuk bertemu Jumi?!" Zainal sangat tegang, "Bukan karna Jumi hamil atau melahirkan, tapi karena Jumi ada di kantor polisi?!" Sambungnya dengan suara bernada kecewa.
"Pak, Mak mari masuk dulu supaya semuanya jelas, saya bingung harus menjelaskan bagaimana pada Emak dan Bapak." Menunduk Dahlan merasa bersalah.
"Memangnya apa yang dilakukan Jumini sampai dia berada di kantor polisi, Dahlan?!!" Tak sabar sudah Zainal menghadapi Dahlan.
"Ya Dahlan kenapa si Jumi sampai ada di kantor polisi?" Menghibah suara Narsia membayangkan putrinya ditahan polisi.
"Maafkan saya mungkin sangat bersalah pada Emak dan Bapak. Sangat mengecewakan, tapi percayalah saya sangat mencintai istri saya, Mak, tapi saya sebagai suami tak bisa menjaga istri dengan baik, sehingga Jumi ..." Kini malah Dahlan yang menangis membayangkan istrinya sudah disembunyikan oleh Jumini palsu, entah berada dimana kini.
"Dahlan bangun ayo bangun," hati Zainal yang marah serta kecewa menyadari Jumini berada di kantor polisi, merasa tak sampai hati juga melihat menantunya bersimpuh Di hadapannya, tanpa merasa malu pada orang orang yang lalu lalang di sekitar mereka.
Bahkan kini Dahlan menangis di pelukan Zainal. Membuat mertuanya itu kebingungan.
Sesampainya mereka di ruang pemeriksaan, tiba tiba saja Jumi menghambur ke pelukan Narsia.
"Emak ini Jumi, Mak, Jumi kangen sama Emak dan Bapak ..." Tangis Jumi meledak memeluk Narsia.
Tentu saja Narsia tak membalas pelukan Jumini. Ia berdiri heran memperhatikan ada perempuan jelita mengaku Jumi anaknya. Begitu pun dengan Zainal sangat terkejut oleh pengakuan itu.
"Anak ini siapa kok mengaku Jumi, anak Emak bukan kau ..." Ujar Narsia tak menyambut pelukan Jumi yang sangat merindukannya.
"Ya anak ini siapa?!" Zainal memperhatikan sosok Jumi yang cantik jelita berkulit putih mulus.
Jumini menatap Zainal, "Ini Jumi, Pak, aku Jumini anak Bapak dan Emak, Jumini anaknya Emak Narsia dan Bapak Zainal petani coklat di kampung,"
"Oh anak Emak bukan kamu. Anak Emak memang Jumini tapi kulitnya sawo matang dan mukanya tidak secantik kamu, tapi Emak sangat menyayanginya. Kamu siapa ngaku Jumi anak Emak?!" Narsia merasa bingung dan berusaha melepaskan pelukan ketat Jumini pada dirinya.
"Aku Jumi, Mak, walau wajahku berubah dan kulitku putih, tapi tetap aku Jumi anak Emak," pelukan Jumi sulit dilepaskan sangat ketat.
Segera Polisi wanita yang sejak awal pemeriksaan mendampingi Jumi memisahkan mereka. Menjauhkan Jumini dari Narsia.
"Emak ini Jumi, Mak ini anak Emak sama Bapak ...!!" Pekik Jumi hampir putus asah.
"Sabar ya, Bu, biar nanti proses berjalan dulu," bujuk polisi wanita itu menenangkan Jumini yang masih ingin mendekat pada Narsia.
"Emak ini Jumi ... Bapak hanya wajah Jumi yang berubah, tapi jiwa ini jiwa Jumi anak Emak dan Bapak ...." Jumini berteriak dan menangis.
Narsia dan Zainal saling tatap. Lalu sama sama memandang pada Jumi yang kini bersimbah air mata.
"Dia bukan Jumi anakku, tapi suaranya adalah suara anakku ..." Batin Narsia tetap menatap Jumi yang juga masih menatapnya.
Begitu pun Zainal. Lelaki itu sangat mengenal suara anaknya yang kini menangis itu. Tapi jelas perempuan itu ia tolak sebagai Jumini.
"Emak akui Jumi, Mak, tolong, Mak ..." Suara Jumi menghibah.
Bersambung
"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments