"Aku suka sama kamu, Gerald."
Gerald menatapnya tajam. Rintik hujan menitik di cuaca yang sudah mendung sejak tadi pagi. Melihat wajah pucat Yorin membuat Gerald tidak tahan sehingga ia mengalihkan pandangannya beberapa saat lalu kembali memandang Yorin sambil memberikan sebuah senyuman.
"Kayaknya lo salah paham, selama ini lo sama kaya yang lain bagi gue. Cuman teman," jelas Gerald. "Gue nggak ada rasa sama sekali sama lo, Rin. Apalagi lo udah punya tunangan."
Mendengar jawaban Gerald meluncur halus melukai hatinya membuat dada Yorin terasa sesak. Yorin diam bagaikan patung yang kepalanya mulai menerima banyak rintikan air hujan.
"Mau hujan, masuk yuk," ajak Gerald, hendak menyusul teman-teman basketnya yang mulai memasuki area taman meninggalkan Yorin yang masih berdiri kaku.
"Terus kenapa lo kemarin cium gue?" tanya Yorin dengan lantang, menghentikan langkah kaki Gerald. "Gue yakin lo suka sama gue, lo jangan bohongin perasaan lo!"
Gerald kembali membalikkan tubuhya ke arah Yorin. Saat ia mebalikkan tubuhnya gadis itu sudah menangis sesunggukan tanpa menatapnya sama sekali.
"Sebenarnya kenapa? Tadi malam kita baik-baik aja, bahkan gue anterin lo obat sama makanan. Kenapa mulai tadi pagi lo dingin ke gue, kenapa lo cuekin gue?" tanya Yorin sambil menangis.
Keberadaan Yorin dan Gerald di lapangan menjadi tontonan beberapa mahasiswa di sekitar sana. Bahkan ada yang merekamnya.
"Lo salah paham, gue nggak ada maksud sama sekali buat menjalin hubungan lebih dari teman sama lo, Rin," jelas Gerald lagi.
"Jangan bohong!" tegas Yorin menghampiri Gerlad. "Lo kemarin cium gue! Sekarang lo acuhin gue! Lo pikir gue cewek murahan?"
"Jadi lo merasa keberatan cuman karena gue cium? Bagi gue ciuman itu nggak ada artinya ... itu karena gue iseng aja."
PLAK!
Yorin yang begitu emosi dengan sekali tamparan membuat Gerald terdiam. "Cowok brengsek!" makinya lalu meninggalkan Gerald.
\*\*\*\*
Sepuluh hari sejak kejadian hari itu berlalu, Yorin dan Gerald tidak pernah menyapa satu sama lain. Saat berpapasan di kampus mereka bagaikan orang yang tidak mengenal satu sama lain. Sikap Gerald berubah, Gerald yang dulu ramah kepada siapa saja kini menjadi pendiam dan sering menyendiri. Anita sebagai fans sejati Gerald pun mengakui hal itu.
Sedangkan Gavin, setiap hari perilakunya semakin baik dan membuat siapa saja iri pada Yorin. Gavin sangat memperhatikan Yorin meski kini dunia berputar, kini Yorin tidak terlalu peduli dengan Gavin.
Hati gadis bernama lengkap Yorin Jorinda itu benar-benar terasa hampa. Dahulu tanpa Gavin, dia masih bisa terhibur berkat Melva dan Aslan. Tapi sekarang tanpa Gerald, walau dua sahabatnya itu sering menyemangatinya hidupnya benar-benar terasa hambar.
"Jadi cowok lo udah balik ke luar negri?" tanya Aslan.
Melva mengangguk. "Setahun lagi baru ketemu. Sedih deh."
"Yaudah sih kalau jodoh juga nggak ke mana," kata Aslan sok bijak.
"Hahaha ... lo ngomongin jodoh, lo sendiri sampai sekarang nggak punya pacar!" ejek Melva.
Aslan mencibir, Yorin tertawa kecil mendengar ejekan Melva.
"Tipe gue tuh tinggi, jadi gue harus benar-benar seleksi. Karena dia pasti untung dapetin cowok setampan dan secerdas gue," jelas Aslan membela diri.
Yorin dan Melva mengakui Aslan good looking, tapi tipe cewek Aslan memang terlalu tinggi. Bahkan sempat wakil ketua osis yang pintar dan manis itu menembak Aslan, Aslan menolaknya tanpa segan.
"Ujian terakhir ujian filsafat nanti, duh gue males banget itu makul," kata Melva mengubah topik pembicaraan mereka sambil membuka lembaran demi lembaran buku filsafat.
"Jangankan elo, gue aja males," tambah Aslan.
Yorin hanya mengembuskan napasnya, apalagi saat melihat sosok Gerald yang menuju arah kantin. Ia langsung membuang tatapannya ke arah lain.
"Lo sebenernya kenapa sama Gerald? Kok ributnya lama banget?" tanya Aslan.
Melva mengangguk mengiyakan. "Iya, sejak ujian. Ini udah sepuluh hari nggak sih?"
"Entahlah, gue benci sama dia pokoknya."
"Kenapa sih? Kita tu penasaran, lo nggak mau cerita kita iyain karena kita hargain privasi lo. Tapi jujur gue penasaran banget," desak Melva.
"Menurut kalian, Gerald perlakuin gue berbeda dari cewek lain nggak selama ini?" tanya balik Yorin yang langsung diangguki oleh Melva dan Aslan. "Menurut kalian, Gerald suka sama gue nggak?"
Mereka berdua mengangguk lagi. "Jelas banget lah Rin, gue cowok. Gue tau betul kalau cowok jatuh hati itu kaya gimana prilakunya," jawab Aslan. "Gerald itu kaya gue, dia ga mudah suka sama sembarang cewek."
"Tapi dia bilang dia nggak suka gue waktu gue bilang kalau gue suka sama dia." Melva dan Aslan saling pandang tak percaya jika Yorin menyatakan perasaan pada Gerald. "Dia sempat cium gue, setelah dia cium gue keesokan harinya gue bilang gue suka sama dia. Tapi dia bilang dia cuman iseng cium gue."
"Cium bibir?"
Yorin mengangguk.
"Bibir?"
Yorin mengangguk lagi.
"Mungkin ada sebuah alasan dia berubah dan nggak berani jujur sama alasannya. Lo sabar aja, jangan ditekan. Kalau dia beneran suka sama lo, suatu saat dia pasti kasih tau alasan itu ke elo," saran Aslan.
\*\*\*\*\*
Ujian mata kuliah terakhir di semester ganjil berlangsung mulus walau banyak yang sebenarnya mengeluhkan betapa susahnya pelajaran filsafat selama ini.
"Besok masih masuk kampus nggak sih?" tanya Anita yang suaranya cempreng terdengar oleh semua orang di dalam kelas. "Enggak kan ya? Habis ujian gini biasanya kita langsung libur kan?"
"Iya besok udah mulai libur, masuk lagi pas semester genap. Tunggu info aja di grup kampus," jawab Willy.
Besok udah libur, gue nggak bisa ketemu sama Gerald lagi beberapa bulan. Kalau gue rindu dia gimana?
Batin Yorin sambil sesekali melihat kebelakang, Gerald masih memebereskan barang-barangnya.
Nggak, Gerald udah campain gue. Gue harus sadar diri.
Yorin beranjak dari tempat duduknya. Saat ia hendak melangkah, Gavin sudah berada di depannya dan tersenyum padanya.
"Pulang sekarang?" tanya Gavin.
Yorin mengangguk.
"Rin, besok gue main ke rumah lo sama Aslan. Oke?" ujar Melva sebelum Yorin pergi dengan Gavin.
Yorin mengangguk. "Main aja, ortu gue juga lagi keluar kota dari kemarin. Gue sendirian," curhat Yorin memelas.
Seperti biasa, tiba-tiba Gavin menghampiri tunangannya. Gavin membawa Yorin keluar kelas dari pintu belakang melewati Gerald yang juga hendak keluar dari pintu.
Baru melengkah beberapa langkah melewati Gerald, Yorin menghempaskan tangannya hingga Gavin melepaskan tangan Yorin. Yorin membalikkan tubuhnya dan menghampiri Gerald. Yorin berdiri di depan Gerald, membelakangi Gavin.
"Nggak ada yang mau kamu bicarain ke aku?" tanya Yorin seramah mungkin pada Gerald yang wajahnya seperti banyak masalah.
Gerald menggelengkan kepalanya. "Emang apa yang perlu dibicarain?"
Gavin yang cemburu melihat tunangannya itu masuk di antara mereka, menatap tajam Gerald dan menarik Yorin untuk kembali ikut bersamanya.
Seperti hari-hari sebelumnya, Gavin mengantarkan Yorin pulang ke rumah. Hanya saja di hari-hari sebelumnya Gavin lebih banyak bercanda. Kali ini Gavin hanya diam karena Gavin kesal akan kejadian barusan.
\*\*\*\*
Hari Jumat berlalu, di Sabtu siang Melva dan Aslan berkunjung ke rumah Yorin hanya sekedar untuk berkumpul sambil makan-makan. Mereka membakar beberapa daging dan ayam, seperti sedang berpesta di taman belakang rumah Yorin. Cuaca yang mendukung karena terik matahari terus tertutup oleh tebalnya awan membuat Melva dan Aslan betah berlama-lama di rumah Yorin hingga waktu sore datang menjemput.
Saat awan mulai berubah menjadi gelap, Yorin dengan perasaannya yang kacau mengganti pakaiannya setelah mandi. Ia menggunakan hotpan biru yang memperlihatkan kaki jenjangnya dengan atasan tanktop hitam yang ia tambahi dengan outer kemeja berwarna putih. Ia hanya mengancingkan beberapa kancingnya bagian bawah, kemudian ia masukan kemejanya kedalam celana. Rambutnya ia ikat sehingga kecantikan wajahnya lebih terpantul dimata siapa saja.
Yorin memang akan berkumpul lagi bersama Melva dan Aslan di kafe milik Aslan pada pukul tujuh, sehingga pukul setengah tujuh Yorin sudah bersiap untuk pergi menggunakan taksi tanpa mempedulikan belasan panggilan telpon dari Gavin. Yorin mengabaikan Gavin sejak pagi tadi. Bahkan puluhan chat Gavin tidak ia baca sama sekali.
Saat Yorin masih sibuk memoles bibirnya dengan lip gloss, pintu kamarnya terbuka begitu saja. Yorin sedikit terkejut mendapati Gavin dengan berdiri diambang pintunya.
"Gavin?" katanya terkejut.
"Kenapa lo nggak angkat telpon dan nggak balas pesan gue?" tanya Gavin kesal pada tunangannya yang saat ini tampak sangat cantik dibalik pakaian casual yang dikenakan.
Belum Yorin menjawab, Gavin sudah menanyainya lagi baikan seorang pengacara pada klien. "Mau ke mana?"
"Ke kafenya Aslan sama Melva," jawab Yorin sambil menutup botol lip gloss nya. Ia berdiri dari kursi riasnya dan mengambil tasnya yang ada digantungan.
"Gue nggak ijinin lo. Jangan pergi!" ujar Gavin semakin posesif. Gavin masuk ke kamar Yorin dan menutup pintu Yorin, kemudian bersandar pada pintu.
Yorin mencoba bersabar dengan sikap Gavin yang semakin hari menjadi semakin pencemburu. "Gue keluar sama Aslan sama Melva, bukan sama Gerald jadi nggak usah khawatir," kata Yorin tak kalah kesal.
Gavin tersenyum masam. "Gue udah bilang berapa kali, jangan sebut nama Gerald di depan gue?"
"...."
Gavin berjalan menghampiri Yorin. Ia berdiri tepat did epan Yorin, mengambil tas yang ada ditangan Yorin lalu diletakkannya tas itu kembali digantungan. Dipandangnya wajah Yorin yang mirip idol Korea itu dengan penuh rasa kecewa dan cemburu. Gavin kini sadar, ia benar-benar sudah jatuh cinta pada tunangannya itu.
Dengan tangan kirinya, Gavin membawa kepala Yorin ke arahnya hingga tiba-tiba ia mencium bibir Yorin. Tangan kanan Gavin melingkar dipinggul Yorin. Yorin bisa merasakan dada bidang Gavin permukaan tubuhnya.
Yorin memejamkan matanya, ia terbawa akan ciuman hangat dari Gavin sehingga ia ikut mengecup bibir Gavin. Hanya saja saat ia memejamkan matanya, ia malah terbayang oleh sosok Gerald, Gerald dan Gerald sehingga Yorin melepaskan bibirnya dari bibir Gavin setelah berciuman hampir satu menit lamanya.
"Gavin gue ... gue harus pergi." Yorin melewati Gavin, namun Gavin kembali menarik tubuh Yorin dengan sedikit kasar hingga Yorin tersandar didinding kamar.
Gavin mengunci tubuh Yorin dengan dua tangannya seperti yang pernah Iqbal lakukan. "Gerald ... Dia pergi malam ini."
Bola mata Yorin menyipit. "Pergi? Pergi ke mana?" tanyanya khawatir.
"Dia pindah kampus."
Bola mata Yorin berkaca-kaca. "Lo usir dia?"
Gavin hanya diam dan menatap wajah Yorin yang mulai merah hendak menangis.
"Lo apain Gerald?" bentak Yorin. "Minggir lo! Gue mau temuin dia."
Saat Yorin hendak pergi, Gavin semakin menghimpit tunangannya itu. Gavin kembali memojokkan Yorin. "Udah gue bilang, jangan peduliin cowok selain gue. Lo tunangan gue, lo calon istri gue! Kalau perlu gue bakal percepat pernikahan kita walau kita masih kuliah!"
"GAVIN!"
"Lo sesayang itu ke Gerald?" tanya Gavin dengan tenang.
Yorin mengangguk. "Gue sayang sama dia, sayang banget."
Gavin terdiam, melihat air mata Yorin yang mulai tumpah membuat hatinya iba. Ia melepaskan Yorin, "Ayo kita ke bandara, cegat Gerald."
\*\*\*
Masih menggunakan pakaian yang sama dengan mata sembap dan tangan gemetar, gadis yang bisa dibilang sudah dewasa itu berdiri sambil mengamati satu persatu penumpang di area bandara pintu keberangkatan luar negri.
Ia tidak sendiri, tunangannya yang beberapa jam lalu membuatnya marah juga ada di belakangnya, membantunya mencegat orang yang sangat ingin ditemuinya.
"Jadi dia mau ke Berlin?" tanya Yorin lagi memastikan pada Gavin.
Gavin mengangguk. "Malam itu waktu lo antar makanan ke kosannya, dia bilang dia mau pergi. Dia minta tolong gue buat jauhin lo dari dia karena dia nggak bisa pergi ninggalin lo."
"Dia ngapain ke sana?"
"Orang tua Gerald orang penting, Ayahnya kerja di kedutaan luar negri lagi dan lagi sakit. Jadi Gerald disuruh ke sana, pindah kuliah di sana."
"Hiks ...." Air mata Yorin berlinangan, ia tak peduli orang-orang memandanganya dengan tatapan aneh. Yang jelas ia sangat sedih saat ini. Bahkan saat orang yang ia cari kini muncul dihadapannya, air matanya tetap berlinangan.
Gerald yang menggunakan pakaian serba hitam dan sebuah koper ditangan terkejut melihat kedatangan Yorin. Ia bahkan menghentikan langkahnya. Yorin yang bergerak, Yorin berlari ke arahnya lalu memelukknya sambil menangis nyaring.
"Kenapa lo nggak bilang kalau pergi?" tanyanya sambil menangis, dipeluknya Gerald erat seaakan tidak boleh pergi. "Kenapa lo pergi setelah buat gue jatuh cinta sama lo, hiks ...."
Gerald melepaskan kopernya. Ia memeluk balik Yorin, membelai rambut gadis itu. "Ini yang nggak gue suka, kalau gue bilang gue pergi, pasti lo nangis kaya gini di bandara. Kaya di sinetron."
Yorin tak menjawab ia masih menangis kencang hingga orang-orang mengabadikan momen tangisnya.
"Sorry, Gavin udah cerita ya? Gue sengaja cuekin lo karena ini. Maaf ...."
"...."
"Maafin gue udah nyakitin lo, gue juga ... gue juga sedih harus pergi kaya gini. Tapi karena lo udah tau, gue mau jujur. Gue juga sayang dan suka sama lo."
"Huaaa ...."
"Jangan nangis, gue pasti kembali. Gue bakal rajin nge video call elo, ngechat elo. Bisa kan LDR-an?"
Yorin mengangguk dalam dekapnya. "Lo janji harus sering kabarin gue?"
"Iya ...."
Yorin melepaskan pelukannya. Saat itu juga Gerald mengambi sebuah kotak dari saku jaketnya. "Gue udah feeling lo pasti ke sini, jadi gue siapain di kantong," katanya sambil mengeluarkan kotaknya. Sebuah kalung emas putih berliontin tunggal Gerald pasangkan di leher Yorin. "Jaga baik-baik kalungnya, nanti kalau gue balik lo harus balikin kalung ini."
Yorin mengangguk dengan tetesan air mata di pipinya. Gerald mengecup kening Yorin dalam satu kecupan, membuat Gavin yang ada di dekat mereka merasa cemburu namun tidak bisa berbuat apapun.
"Hati-hati, cepat balik," ujar Gavin, memberikan salam perpisahan ala cowok saling menepuk pundak satu sama lain.
"Jagain Yorin ya, dia kebanyakan ulah. Gue nggak tenang ninggal dia," jelas Gerald.
Gavin mengangguk. "Dia tunangan gue, pasti gue jagain."
Gerald meneguk liurnya, ia juga cemburu. "Lo ... hilangin tu sikap sok berani, jangan pernah nantang-nantang cowok kalau nggak ada orang disamping lo."
Yorin mengangguk. "Janji."
Yorin dan Gavin mengantarkan Gerald sampai ke pintu masuk keberangkatan karena pesawat Gerald hampir mengudara. Hanya sebuah kecupan di dahi dan lambaian tangan dari Gerald, Gerald benar-benar telah menghilang di pandangan Yorin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments