"Cie yang besok malam udah tunangan aja," goda Boy di Jumat siang ketika Yorin hendak beranjak dari tempat duduknya untuk pulang ke rumah usai pelajaran terakhir berakhir.
Boy tampan. Rambutnya warna-warni ala artis kpop. Sayangnya kelakuannya minus.
"Anita, Gavin besok resmi jadi tunangan Yorin loh!" ujar Boy lagi, membuat kericuhan di kelas. Memang begitu ulahnya, semua sudah paham.
"Nggak papa, gue sekarang jadi fans garis keras Gerald. Wek," ujar Anita yang masih sibuk merapikan rambutnya.
"Gimana rasanya, deg-degan nggak?" goda Boy lagi.
"Udah-udah, berisik ya lo!" ujar Aslan, merangkul bahu Boy dan membawa Boy keluar dari kelas.
"Ih seneng banget gue dirangkul Aslan," kata Boy lagi dengan centilnya, membuat Yorin dan Melva hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Tak seberapa lama Aslan keluar kelas, Gavin juga berjalan keluar kelas.
"Lo sama Gavin beberapa hari ini kenapa? Kok nggak pernah berangkat pulang bareng?" tanya Melva, berjalan bersampingan dengan Yorin.
"Nggak papa, pengen sendiri aja sebelum besok tunangan."
"Oh ... eh, makan yuk?"
"Apa?"
"Steak?"
"Oke. Aslan?"
"Ntar aja gue chat dia suruh nyusul, biar dia ngurus si Boy dulu."
"Oke."
Mall menjadi rutintitas tempat yang memang hampir setiap hari dikunjungi oleh para manusia di muka bumi. Apalagi Mall milik keluarga Yorin bersebelahan dengan kampus, mudah sekali untuk dijangkau sehingga memang mayoritas yang mengunjungi Mall tersebut adalah para mahasiswa.
Yorin memang anak tunggal pemilik Mall, namun Yorin tidak pernah sama sekali menyombongkan diri. Yorin menganggap dirinya seperti pengunjung yang lain.
Steak21 ramai setiap harinya, apalagi pada malam hari. Selain karena rasanya lezat, harganya juga murah. Rata-rata dibandrol dengan harga dua puluh satu ribu rupiah. Untungnya Yorin dan Melva kebagian tempat. Mereka duduk bersampingan sambil menunggu steak pesanan mereka datang.
Sambil menunggu Melva tak henti-hentinya menceritakan pacarnya yang katanya sebentar lagi akan pulang ke Indonesia setelah melakukan study observasi selama beberapa bulan di Jerman. Pacar Melva memang jenius, umurnya lebih tua lima tahun dibanding Melva dan kini sedang menempuh S2 di kampus lain jurusan Teknik.
"Kapan dong dia balik ke sini?" tanya Yorin sambil menguncir rambutnya.
"Sebulan lagi paling cepet."
"Terus lo nikah sama dia?"
"Ya nanti kalau gue udah kerja, tapi dia balik Jerman lagi masih ada urusan," jelas Melva dengan wajah berseri.
Yorin ikut tersenyum melihat senyum Melva. Namun senyumnya hilang ketika tiba-tiba saja ikat rambut yang barusan ia pasang untuk merapikan rambutnya ditarik oleh seseorang sehingga rambut panjangnya itu berjatuhan lagi.
"Anj ...." Belum selesai Yorin mengumpat, Gerald muncul begitu saja dan duduk dibangku depannya. Di sebelah Gerald duduklah Aslan. Aslan yang duduk berhadapan dengan Melva tanpa permisi menyerobot minuman Melva yang baru saja diantar oleh pelayan. Melva mengumpat karena kesal.
"Haus banget gue," kata Aslan tanpa dosa pada Melva. "Nanti lo minum punya gue, oke?"
"Bodo!" ujar Melva, rasanya sudah ingin sekali membakar Aslan.
"Sini ikat rambut gue," kata Yorin mencoba mengambil ikat rambutnya dari Gerald.
"Jangan diikat, jelek."
Wajah kesal Yorin langsung berubah menjadi polos. "Emang jelek ya kalau rambut gue diikat?"
Gerald mengangguk dengan wajah tampannya itu.
"Jelek ya, Mel? Soalnya Gavin juga pernah bilang gitu. Jadi dia nggak suka kalau rambut gue diikat."
"Iya lo rambut digerai juga jelek. Mana pernah lo cantik!" jawab Melva sambil menggelengkan kepalanya karena kepolosan Yorin.
"Oke nggak akan gue ikat, gue nggak mau tampak jelek di mata orang."
Aslan tertawa mendengar pernyataan serius Yorin.
"Gue makan duluan ya," kata Melva saat steaknya dan milik Yorin tiba. "Laper gue, maaf nggak bisa nunggu punya kalian." Tanpa pikir panjang Melva langsung menyantapnya.
"Lo ngapain ikut ke sini?" tanya Yorin pada Gerald sambil memotong-motong daging yang ada di atas hot plate.
"Gue ajak tadi, biar gue nggak sendirian jalan di Mall. Kalau gue jalan sendirian digodain lah gue ntar sama cewek-cewek," sahut Aslan yang sedang menggunakan topi barunya.
Yorin mencibir. Ia malas merespon jawaban Aslan.
Gerald tiba-tiba mengambil alih garpu dan pisau yang ada ditangan Yorin. Tanpa ada kata-kata sedikitpun, ia mengiris daging-daging itu hingga membuat Yorin tercengang. Tak hanya Yorin, Melva dan Aslan juga tercengang.
Yorin tersenyum tanpa ia sadari, ia menatap dagingnya dan wajah Gerald secara bergantian. "Thank You," katanya saat Gerald sudah memotong semua daging menjadi beberapa bagian sehingga ia tinggal memakannya. "Andai Gavin bisa sebaik lo."
"Emang Gavin sekasar apa sama lo?" tanya Gerald.
"Gavin mah nggak cocok buat Yorin. Yorin aja yang bucin," jawab Melva mewakili Yorin.
"Rin ... Rin, lo yakin besok mau tunangan sama dia?"
Yorin mencoba merapikan ekspresi wajahnya yang mulai menekuk. Dalam hati ia sangat tidak yakin. Tapi yakin tak yakin ia memang masih menyukai Gavin, Yorin sangat menyukainya bahkan disaat Gavin sekasar itu padanya. Selain itu, jika Yorin membatalkan pertunangannya pasti Gavin akan dihajar habis-habisan oleh Ayah Gavin.
"Apa sih yang buat lo sesuka itu sama Gavin?" tanya Gerald lagi masih penasaran pada sosok Yorin yang ia rasa sangat menyedihkan itu.
"Gavin tuh ... dia baik sebenarnya. Cuman mungkin karena lingkungannya, dia jadi berubah," jawab Yorin. Tiba-tiba Yorin mengingat masa-masa kecilnya dengan Gavin. Gavin awalnya adalah tetangga sebelah rumah Yorin, namun saat SMP ayah Gavin membeli rumah baru yang lebih besar di blok rumah sebelah.
Yorin dan Gavin sudah mengenal satu sama lain sejak duduk dibangku SD. Mereka berdua sangat akrab, begitu juga dengan orang tua mereka akrab satu sama lain. Sehingga sejak kecil mereka berdua sudah dijodohkan oleh orang tua mereka.
Perbincangan antara Yorin, Gerald, Melva dan Aslan terus berlanjut dari makan di Steak21, permaianan di Timezone, menemani Melva memilih baju hingga tak terasa canda gurau mereka hampir sampai pada pukul empat sore.
Gerald semakin lama semakin menjadi teman yang asik bagi Yorin. Gerald memang tampak cool dari penampilannya, namun sebenarnya Gerald adalah sosok yang jahil, baik, perhatian dan sabar. Maka dari itu Yorin, Aslan dan Melva cocok berteman dengan Gerald.
"Rin, lo nggak dicariin bokap nyokap lo jam segini belum pulang?" tanya Melva sambil menenteng tas belanjaannya dan berjalan ke arah pintu keluar yang akan kembali membawa mereka ke kampus karena kendaraan Aslan dan Gerald ada diparkiran kampus.
"Nggak tadi gue udah pamit mama."
"Maklumin ya Rald, Yorin anak rumahan. Susah diajak main," goda Aslan.
"Apasih lo suka banget godain gue!" protes Yorin.
Aslan semakin mengejek.
"Dia tu lagi kasmaran, Rin. Maklumin aja."
"Sama siapa?" tanya Yorin kepo.
"Ada deh."
"Ih ga asik kalian!"
"Lo pulang naik apa?" tanya Gerald.
"Taksi dong, kalau naik angkutan umum bisa pingsan emaknya," jawab Aslan lagi.
"Kan yang ditanya gue! Kok lo yang jawab sih!" protes Yorin pada Aslan. Yorin yang tadinya di sebelah Aslan menyingkir, ia berjalan disebalah kanan sendiri tepatnya disebelah Gerald, sehingga yang ada dibarisan tengah adalah Aslan dan Gerald.
"Lan, gue nebeng ya?" pinta Melva.
"Yaelah biasanya tiap pulang kampus juga lo nebeng gue walau alamat gue berlawanan arah sama lo, pake nanya segala," jawab Aslan.
"Ya kan biar sopan gitu."
"Oke gue naik taksi, gue mau pesan online dulu," ujar Yorin sambil mengeluarkan handphonenya. Namun Gerald menangkap tangan Yorin.
Yorin tercengang lagi, ia terdiam karena tangannya kini ada digenggaman Gerald walau hanya dalam beberapa detik.
"Gue anter aja, gue ada helm dua."
Yorin mengangguk kaku. Ia bingung harus merespon apa.
"Yaudah gue duluan, gue mau kencan. Yuk Mel!" Aslan mengajak Melva lebih dulu berjalan ke arah parkiran, sedangkan Yorin dan Gerald masih berdiam ditempat di dekat kantin kampus.
"Emang, searah?" tanya Yorin masih kaku.
"Udah santai aja," jawabnya macho.
Yorin menggaruk lehernya yang tidak gatal.
Gerald mengembalikan karet rambut Yorin, Gerald letakkan langsung ditangan Yorin. "Yuk?"
Yorin mengangguk. Mengikuti langkah Gerald.
"Lo tunggu taman depan ya? Gue ke loker dulu ambil jaket."
Gerald bergerak cepat, ia berjalan ke arah loker kampus dengan sedikit berlari. Sesuai instruksi Gerald, Yorin berjalan menuju arah taman depan kampus yang dekat dengan parkiran motor dan mobil. Sambil berjalan otaknya terus mengingat keanehan-keanehan prilaku Gerald padanya.
‘Apa jangan-jangan Gerald suka gue ya? Gue kan cantik, kaya lagi. Ya nggak sih? Nggak, nggak mungkin. Gerald emang baik. Dia emang baik ke semua orang. Ke Anita yang ganjen kaya gitu aja dia baik, apalagi ke gue yang polos pendiam kaya patung gini kalau di kelas.’
Langkah Yorin terus maju dan maju menginjak rumput hijau yang berembun karena cuaca baru membaik setelah hujan turun beberapa menit saat tadi ia masih di Mall bersama yang lain. Namun langkah kakinya berhenti tiba-tiba saat mendapati calon tunangannya yang kini sedang berdiri di sebelah mobil berwarna hitam bersama dengan wanita lain.
Yorin mencoba menyembunyikan dirinya dibalik pohon besar karena ia tidak ingin Gavin tau jika ia melihat Gavin kini sedang bersama Sofia. Yorin tidak mau hubungannya dan Gavin semakin canggung sejak malam itu, apalagi besok ia akan bertunangan.
Jarak antara pohon yang melindungi tubuh Yorin dan jarak keberadaan Gavin hanya sekitar beberapa meter saja. Yorin bisa melihat jelas apa yang terjadi walau ia tidak bisa mendengar percakapan itu.
Tampak jelas jika Sofia sedang menangis, Sofia menundukkan kepalanya dan Gavin terlihat mencoba menenangkan Sofia.
Hati Yorin menjadi sakit. Begitu sesak dadanya. Mungkin itu yang disebut orang dengan sebutan cemburu dan sakit hati.
Gavin begitu halus memperlakukan Sofia. Sofia sang penyanyi seriosa andalan kampus itu tampak semakin sedih, entah apa yang mereka bicarakan namun tiba-tiba saja Gavin memeluk Sofia. Gavin membelai rambut Sofia.
Yorin tanpa sadar menitikkan air matanya. Hatinya benar-benar sakit saat ini. Yorin menahan suara isak tangisnya yang akan terdengar jika ia tidak berusaha menahannya.
Hanya saja tiba-tiba seseorang menggandeng tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments