11 - Orang Ke Tiga

"Yuk," ajak Gerald menarik Yorin, namun Yorin tidak mau berjalan mengikuti Gerald karena Gerald akan berjalan ke arah Gavin dan Sofia. Yorin menggelengkan kepalanya.

Gerald yang seakan sangat paham dengan kesedihan Yorin dengan gantle-nya menghapus air mata Yorin dengan tangannya. "Jangan kelihatan lemah."

Yorin terdiam.

Gerald tersenyum padanya. "Ayo?"

Yorin berusaha membalas senyum Gerald. Yorin memberanikan diri melengkahkan kakinya mengikuti Gerald yang berjalan menerobos ke area parkiran. Tentunya dengan tangan yang masih bergandengan.

Jantung Yorin berdetak ribuan kali lebih kencang saat dirinya semakin dekat dengan keberadaan Gavin dan Sofia. Bahkan Yorin tidak berani menatap. Ia hanya menunduk. Tetapi Gerald dengan percaya dirinya membawa Yorin bersamanya, masuk ke dalam masalah Gavin dan Sofia.

Gavin dan Sofia terdiam seketika melihat kedatangan Gerald dan Yorin. Mereka berdiri berhadapan satu sama lain. Yorin bisa mengintip sedikit wajah sendu Sofia. Yorin pikir ini mungkin karena pertunangannya dengan Gavin besok, pasti Sofia sangat sedih. Begitu pula dengan Gavin. Yorin menyadari itu karena Gavin tidak mencintainya seperti Gavin mencintai Sofia.

"Yorin sakit, lo calon tunangannya. Bisa antar dia pulang?" tanya Gerald tiba-tiba, membuat Yorin menatap ke arahnya.

Terjadi tatapan maut antara Gavin dan Gerald. Gavin juga melihat jelas genggaman tangan Gerald pada calon tunangannya itu.

"Lo sakit apa lagi?" tanya Gavin, mengalihkan pandangannya pada Yorin.

Yorin kembali menahan air matanya, ia tersenyum ke arah Gavin. "Nggak kok, Gerald emang suka bercanda. Gue bisa pulang sama Gerald. Dan lo Gavin ... lo boleh lanjut sama kak Sofia," jawab Yorin sedikit tertawa.

Yorin begitu tampak menyembunyikan lukanya dimata Gerald dan Gavin. Sofia hanya diam, Sofia diam sambil menatap ke bawah. Sofia tidak berani memandang Yorin sama sekali.

"Ayo pulang," ajak Gavin pada Yorin.

Yorin menggelengkan kepalanya. "Gerald, lo katanya mau antar gue."

"Sorry, gue harus buru-buru kerja udah sore," jawab Gerald tersenyum ramah pada Yorin. "Gue lupa hari ini ada jam tambahan kan mau weekend."

"Tapi kata lo ...."

"Ayo pulang," ajak Gavin lagi, Gavin melepaskan tangan Yorin yang ada digenggaman tangan Gerald. Gavin menggenggam tangan Yorin, mencoba menyuruhnya masuk ke mobil.

Yorin menepis.

Gavin memandang kesal padanya.

"Gue naik taksi aja," kata Yorin dengan tegasnya.

"Yorin!"

"Lo antar aja kak Sofia aja! Lo nggak liat kak Sofia lagi nangis?" tanya Yorin ketus pada Gavin.

Gavin terdiam.

Yang terdengar hanya suara isak tangis Sofia.

"Lo ... Jangan lari dari masalah, Gavin! Kalau lo buat dia nangis, lo harus tanggung jawab," jelas Yorin, membuat Sofia semakin tersedu.

Yorin pergi meninggalkan semuanya.

Gavin terdiam di tempat. Gavin bingung bukan main.

Gerald berusaha mengejar Yorin yang berjalan cepat keluar kampus.

"Rin, Yorin!" panggil Gerald.

Yorin tidak menghentikan langkahnya. Gerald yang langkahnya panjang tentu saja bisa menjangkaunya, namun Gerald tidak bisa memaksa karena Yorin terus mengacuhkannya. Yorin menepis tangannya, Yorin melewatinya berkali-kali sehingga Gerald hanya bisa mengikutinya.

Yorin mulai berlinangan air mata di pipi. Ia berjalan ke arah pemberhentian taksi di depan kampus. Saat Yorin hendak memasuki sebuah taksi, Gerald menghalanginya dengan berdiri didepannya sehingga ia tidak bisa memasuki taksi itu.

"Rin ...."

"Minggir lo!"

"Kok lo jadi marah ke gue sih?" tanya Gerald bingung.

Yorin memandang Gerald dengan derai air matanya. "Ngapain sih lo bawa gue ke mereka! Lo nggak liat Sofia sama Gavin lagi berdua?"

"Gue sengaja biar Gavin sadar, biar dia nggak seenaknya perlakuin elo dan biar itu cewek sadar kalau lo itu besok tunangan sama Gavin!" jelas Gerald.

"Nggak usah ikut campur sama hubungan gue!" Yorin mencoba mendorong Gerald untuk menjauh, namun tubuh Gerald yang lebih besar darinya tidak semudah itu berpindah. "MINGGIR!"

Tak tahan melihat Yorin menangis, Gerald melangkah beberapa langkah ke samping. Saat Yorin memasuki taksi, sebelum Yorin menutup pintu taksi Gerald ikut masuk bersamanya. Gerald menutup pintu taksi.

"Jalan pak, ke Opal Café," ujar Gerald hingga taksi itu menjalankan mobilnya.

Yorin sudah tidak tau harus berkata apa. Ia rasa percuma ia bertanya pada Gerald kenapa Gerald mengikutinya. Ia rasa percuma juga ia menyuruh Gerald pergi karena Gerald pasti mengikutinya. Sehingga Yorin hanya bisa duduk di sebelah Gerald, memandang jalanan diluar sambil menitikkan air matanya.

Beberapa kali sopir taksi itu mengintip Yorin dari balik spion tengah. "Namanya juga hubungan neng, biasa kalau ada pertengkaran," kata sopir itu tiba-tiba.

Gerald dan Yorin tidak merespon.

"Kalau jodoh mah nggak kemana neng, jangan sedih. Bapak nih dulu orang kaya, tapi bapak bangkrut akhirnya jadi sopir taksi dan istri bapak ninggalin bapak. Sedih neng, sama. Tapi ikhlas ya," cerita sopir itu lagi yang lambat laun membawa jiwa tenang dalam diri Yorin.

Gerald tiba-tiba membelai rambut Yorin dari samping. "Dengerin tuh kata bapaknya. Harus kuat, ikhlas. Oke?" Dengan lembut Gerald membawa kepala Yorin untuk bersandar dibahunya. Yorin tidak melawan, ia menyandarkan kepalanya pada bahu Gerald yang lebar. "Lo ikut gue kerja ya, nanti gue kasih makanan enak."

"...."

"Mau apa? Pecel? Rawon?"

Mendadak Yorin tertawa kecil sambil menghapus air matanya. "Mana ada di kafe tempat lo kerja jual pecel sama rawon."

"Ada kalau lo mau gue bisa buatin kali."

"Ye, emang kafe bokap lo apa buatin menu diluar menu yang ada."

Perbincangan Yorin dan Gerald berjalan mulus bagai jalan tol. Jiwa sedih Yorin masih ada, tetapi berkat Gerald yang selalu mencoba menghiburnya diperjalanan ia mulai bisa tersenyum dan tertawa.

Sesuai kata-kata Gerald, saat sampai di kafe Gerald memberikan menu pecel dan rawon pada Yorin. Yorin tak menyangka bisa memakan makanan daerah di kafe elite yang sebenarnya tidak menyajikan menu itu karena memang berkonsep makanan western.

Yorin hanya duduk sendiri, melihat Gerald riwa-riwi berjalan mengantarkan pesanan, membersihkan meja dan sesekali menghampirinya yang duduk ditempatnya saat pertama kali datang ke Opal Café bersama Ibunya.

Bagaikan orang yang sedang kelaparan, semua menu yang disajikan Gerald habis tak tersisa dilahap oleh Yorin. Perutnya terasa kenyang hampir meledak.

Handphone-nya sengaja ia matikan karena berkali-kali Gavin menelponnya. Tak hanya Gavin, Ibunya, Ayahnya bahkan orang tua Gavin ikut menelponnya karena sudah sampai dipenghujung sore dan langit berganti gelap ia tak juga pulang ke rumah tanpa ada kabar sama sekali.

"Maaf ya nggak bisa antar lo pulang, gue masih ada kerja sampai jam sebelas malam," ujar Gerald saat mengantar Yorin untuk menghampiri taksi yang dipesannya.

Yorin mengangguk dan tersenyum indah pada Gerald. "Thanks ya, berkat lo gue jadi baikan."

"Jangan sedih lagi, inget ... lo harus kuat!"

Yorin mengangguk lagi. "Bye," katanya melambaikan tangan saat sudah menutup pintu taksi.

Selama perjalanan balik ke rumahnya, Yorin hanya merenung menatap kosong jalanan yang ramai dengan kendaraan lalu lalang. Ia merasa sangat sedih hari ini, namun ia mencoba sekuat mungkin menahan tangisnya karena sebentar lagi ia akan sampai di rumahnya. Yorin tidak mau membuat orang tuanya khawatir jika tiba-tiba ia menangis begitu saja saat sampai di rumahnya.

Saat taksi telah sampai, Yorin tidak heran mendapati mobil Gavin di rumahnya. Yorin melangkahkan kakinya ke dalam rumah, melewati taman rumahnya yang luas hingga masuk ke dalam ruang tamu.

Orang tuanya, orang tua Gavin dan Gavin melihat kedatangannya bagai mendapat sebuah jackpot. Yolanda langsung memeluk Yorin setibanya Yorin di rumah.

"Sayang, kamu dari mana aja? Kamu buat Mama kawatir banget," kata Yolanda sambil memeluk erat Yorin.

"Maaf ma ... hape Yorin mati."

"Maaf om... tante, udah buat khawatir. Tadi Yorin adain acara sama teman-teman buat ngerayain pertunangan besok," bohongnya membuat Gavin keheranan karena selama ini Yorin tidak bisa berbohong sekecil apapun pada orang lain.

"Om kira ada apa-apa, tadi kita rencana lapor polisi kalau kamu nggak datang-datang," jelas Farhan sambil menepuk pundak Yorin.

"Kamu lagi nggak ada masalah sama Gavin kan, sayang?" tanya Ganisa, ibunda Gavin  yang sangat baik hati itu.

Mendadak seluruh mata tertuju pada Gavin dan Yorin.

"Kamu ada masalah sama Gavin?" tanya Johan, seorang Ayah yang selalu mendidik Yorin dengan keras, hingga tak akrab sama sekali dengan Yorin.

"Nggak ada ... kita baik-baik aja kok, ya kan Gavin?" jawab Yorin santai.

Gavin hanya diam.

"Oh iya Gavin, bisa bantu aku mindah barang di kamarku nggak?" Yorin tampak ingin melarikan diri dan mengajak Gavin bersamanya, karena ia tau Gavin juga sedang tidak nyaman bersama para orang tuanya. "Om, tante, Ma, Pa... Yorin permisi minta tolong Gavin boleh?"

"Boleh ... sana gih," jawab Ganisa.

"Yuk!" Yorin menggandeng tangan Gavin, membawa langkah Gavin menaiki anak tangga hingga tiba di kamarnya.

Saat tiba di kamarnya, Yorin melepaskan tangan Gavin dan menutup pintu kamarnya. Yorin menaruh tasnya di tempat tas dekat pintu kamarnya. Kamarnya yang luas membuat siapa pun leluasa di dalamnya. Tidak hanya ada kasur empuk, ada juga ruang tamu mini di kamar Yorin. Malkum saja, Yorin anak tunggal pemilik sebuah mall di kota.

Gavin masih berdiri dan mengamati calon tunangannya itu. Ini bukan pertama kali Gavin masuk ke kamar Yorin dan berduaan dengan Yorin, ini sudah kesekian kalinya karena memang faktanya Yorin sering meminta bantuan Gavin untuk memindahkan barang-barangnya sejak dulu.

Yorin tampak mencoba menenangkan diri sebelum mengajak Gavin membicarakan sesuatu. Yorin berjalan ke depan Gavin, ia menatap mata Gavin yang selalu membuat jantungnya berdebar. "Aku boleh ketemu kak Sofia?" tanya Yorin menggunakan bahasa sesopan mungkin. Yorin yang biasanya menggunakan logat Betawi Lo – Gue, akan menggunakan bahasa Indonesia Aku – Kamu saat ia sedang tidak baik-baik saja.

"Buat apa?"

"Ada yang mau aku omongin."

"Nggak usah, urusan Sofia biar aku yang urus." Gavin tampak lelah dari sorot matanya.

"Kalau kamu nggak mau nemuin aku sama dia, aku bakal batalin pertunangan ini," ancam Yorin.

“Yorin!” Gavin tampak kesal.

“Mau atau enggak? Kamu cuma perlu jawab.”

Gavin tidak bisa berkata apa-apa lagi. Gavin sebenarnya juga ingin membatalkan pertunangan esok hari. Namun konsekuensi yang ia ambil begitu besar, karena bisa-bisa Gavin diusir dari rumah

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!