Yorin duduk di meja-kursi ruang makannya sambil mengunyah sarapan pagi yang sudah dibuatkan Yolanda sambil menatap cincin mewah yang kini terpasang dijari manisnya sebelah kiri. Sejak pertunangannya dengan Gavin malam itu pikiran Yorin semakin tak karuan. Antara senang dan gundah gulana.
"Hari ini kamu dijemput Gavin?" tanya Johan, tiba-tiba duduk di depannya seperti pagi-pagi biasanya sebelum pergi bekerja. Papa kandung Yorin memang sudah menginjak kepala lima, namun masih terlihat berwibawa dan memikat.
"Enggak pa, aku naik ...."
"Pagi Om, Tante ...," sapa Gavin tiba-tiba sudah begitu rapi menggunakan seragam kampusnya dengan wajah begitu berkilau.
"Pagi, Gavin ... sarapan dulu yuk," ujar Yolanda, mempersilahkan Gavin duduk.
"Sudah Te, tadi di rumah, makasih," kata Gavin sopan dan tersenyum ramah pada Yolanda.
Melihat kejanggalan sikap Gavin, Yorin menyipitkan matanya. Tak biasanya Gavin begitu ramah walau ke orang tuanya karena Gavin memang tipikal cowok cuek yang masa bodoh.
Gavin duduk di ruang tamu menunggu Yorin yang masih menyantap sop merah buatan Yolanda. Walau dari keluarga konglemerat, Yorin tak memakan makanan roti-roti setiap pagi seperti orang kaya yang lain. Ia memakan nasi dan lauk pauk kesukanaannya ditambah sayur mayur yang selalu memenuhi piringnya.
Tidak lama Gavin menunggu, kini Yorin sudah duduk di dalam mobil Gavin dan Gavin mengemudikan mobilnya dengan santai karena jam masuk kuliah masih setengah jam lagi.
"Besok nggak usah jemput, gue bisa naik kendaraan umum," kata Yorin memperingatkan Gavin.
"Bisa di gorok bokap gue, kalau tunangan gue nggak dijemput padahal satu perumahan."
Yorin menghela napasnya dan memilih diam.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, hanya kalimat itu yang mereka bicarakan. Seakan tidak ada lagi sebuah hal yang bisa dibahas usai pertunangan mereka. Walau sebenarnya banyak pertanyaan di otak Yorin tentang hubungan Gavin dan Sofia, Yorin memilih memendamnya sendiri. Sesukanya Yorin pada Gavin, Yorin sadar dia tidak boleh menghalangi kebahagian Gavin yang telah memilih Sofia dibanding dirinya.
Yorin merasa hidup percintaanya begitu berat karena orang yang ia cintai tidak mencintainya, tapi hari demi hari ia selalu yakin semua akan berlalu begitu saja dan menjadi sebuah cerita indah pada masanya.
Gavin memarkir mobilnya diparkiran pada umumnya. Walau Gavin anak pemilik yayasan, tidak ada yang membedakan peraturan untuk Gavin sama sekali. Gavin sama seperti yang lainnya, yang membedakan hanya perlakukan beberapa dosen dan teman-temannya yang mengistimewakan.
Yorin turun dari mobil Gavin saat Gavin sudah mematikan mobilnya, begitu pula dengan Gavin. Gavin mengunci mobilnya dan berjalan menghampiri Yorin yang menunggunya di belakang mobil.
Namun saat Gavin menghampirinya, Yorin malah meninggalkan Gavin karena melihat kedatangan Gerald. Gerald tampak begitu keren saat sedang mengendarai moge alias motor gede, ditambah helm teropong, jaket kulit dan porsi tubuh Gerald yang memang terbilang tubuh atletis.
"Hai!" sapa Yorin riang.
Gerald melepaskan helmnya, tersenyum tampan seperti biasa pada gadis itu. "Pagi, Rin," katanya ramah.
Gavin yang melihat keakraban Yorin dan Gerald tak mau ambil pusing, ia berjalan lebih dulu meninggalkan tunangannya tersebut begitu saja.
"Gimana rasanya udah punya tunangan?" tanya Gerald berjalan bersebelahan dengan Yorin ke arah kelas.
"Nothing special."
"Eh Melva nggak masuk ya?"
"Iya katanya sakit, padahal gue tau dia bolos buat kencan sama mas Bram. Kebiasaan dia tu, ijin sakit tapi tadi pagi story sosmednya lagi naik motor ke pegunungan," jawaban Yorin yang begitu saja mengalir tanpa di filter membuat Gerald tertawa kecil. "Ya kan? Lo liat kan story-nya?"
Gerald mengangguk.
"Udah gue tegur, tapi belum dibaca."
"Yaudah biarin aja."
Perbincangan Yorin dan Gerald di pagi hari mengantarkan mereka menapakkan kaki di wilayah kelas yang mulai ramai. Saat tiba di kelas mata Yorin pertama kali mengarah pada kursi Gavin, kursi Gavin yang masih kosong.
‘Perasaan tadi dia pergi duluan, kemana dia?’
Yorin hanya membatin. Ia melangkahkan kakinya ke arah kursi kelasnya yang ada ditengah itu begitu juga dengan Gavin yang langsung duduk di kursinya. Sebelum ia menduduki kursinya, matanya meniyipit pada setangkai bunga mawar warna merah yang ada di atas dudukan kursinya.
Yorin mengambil bunga itu dan ia amati baik-baik.
"Cie dapat bunga dari Gavin ya?" goda si Boy yang sejak tadi memperhatikan Yorin.
Spontan semua mata tertuju pada suara Boy yang nyaring, lalu mereka mengikuti arah mata Boy yang terarah pada Yorin.
"Cieee," goda seisi kelas.
Gerald ikut memperhatikan bunga yang ada ditangan Yorin dari tempat duduknya. Namun kedatangan Anita kembali mengalihkan pandangannya. Seperti biasa, Anita menempel padanya dan mengajaknya berbincang sebelum dosen tiba.
‘Masa dari Gavin?.’
Yorin tidak mau membawa serius asal usul mawar itu, hal seperti ini pernah terjadi saat ia duduk di bangku semester satu. Ternyata bunga itu adalah bunga pemberian dari fans-fansnya sehingga Yorin membuang bunga mawar itu begitu saja pada tong sampah yang sudah tersedia di luar kelas.
\*\*\*\*\*
Hari berlalu terasa lama saat Melva tidak hadir di kelas. Biasanya Melva yang paling aktif mengajaknya membicarakan hal-hal positif dibanding Aslan yang selalu menjahilinya. Tidak ada Melva rasanya bagaikan telor tanpa garam. Hambar.
Bagi Yorin, Melva benar-benar sahabat terbaiknya. Melva selalu mejaganya layaknya seorang saudara. Walau Melva kelewat bar-bar dan tomboi, Melva tetaplah seorang perempuan yang sebenarnya memiliki hati lebih ciut dibanding Yorin. Itu yang Yorin ketahui tentang Melva.
"Melva besok masuk nggak?" tanya Yorin pada Aslan yang kini duduk di depannya, mengambil alih bangku Melva.
Aslan mengangkat bahunya. "Gue chat nggak dibalas."
"Sama. Kebiasaan ya udah asik berdua seakan dunia milik berdua," ujar Yorin sambil memperhatikan ponselnya.
"Udah biarin aja, udah bertahun-tahun mereka nggak ketemu."
Yorin mengangguk mengiyakan.
"Mau?" tawarnya, menawarkan roti isi coklat.
"Nggak, mual gue."
"What?" Aslan terbelalak.
Bola mata Yorin mengarah pada Aslan. "Apa?"
"Lo hamil?" goda Aslan.
"Lo gila ya! Gue mual gara-gara kebanyakan makan tadi pagi bukan hamil bego!" protesnya sambil menyepak kaki Aslan.
Aslan tertawa terbahak-bahak melihat emosi diwajah Yorin.
"Lo nggak usah ajak gue ribut, lagi bete gue!"
"Masa habis tunangan bete."
"Tau ah kesel gue sama lo!"
Aslan masih cekikikan.
"Eh Rin," ujar Aslan lagi, ia sedikit memelankan suaranya.
"Apalagi?" balas Yorin yang tampak tak peduli.
"Si Gerald ...."
Mendengar nama Gerald, Yorin mendekatkan telinganya pada moncong Aslan. "Kenapa?" tanyanya kepo.
"Si Gerald itu kerja sampingan ya?" tanya Aslan sekecil mungkin dengan suaranya yang biasanya bagai petir di siang bolong.
Yorin mengangguk.
"Padahal dia kaya anak orang kaya."
"Kenapa emang kalau kerja sampingan?"
"Ya ada desas-desus aja sebenarnya dia itu anak orang kaya nyamar jadi orang sederhana."
Yorin langsung menengok ke arah tempat duduk Gerald yang kini berpindah jadi di pojok belakang. Gerald terlihat bersandar di kursi sambil membaca sebuah buku.
Yorin akui, Gerald selama ini mencuri banyak perhatian dari para gadis. Banyak yang mengejar Gerald karena ketamapanan Gerald yang di luar nalar. Hanya saja perlahan beberapa gadis mulai mundur karena mengetahui latar belakang Gerald yang isunya bisa kuliah di kampus ini berkat bantuan beasiswa dan Gerald adalah pekerja lepas di Opal Café. Yang masih menjadi fans setia Gerald hanya Anita sampai saat ini.
Gerald menurunkan buku yang ia baca, ia mengarahkan matanya pada Yorin. Kedua mata mereka bertemu. Yorin yang tertangkap basah sedang melihatnya, hanya bisa tersenyum lebar kelihatan gigi. Yorin tampak sangat manis tersenyum pada Gerald. Gerald membalas senyumnya.
"Cieee, pangeran datang. Sweet-sweet," goda si Boy saat Gavin memasuki kelas dan duduk di kursinya.
Melihat kedatangan Gavin, Yorin melepaskan pandangannya dari Gerald. Ia kembali ke posisi semulanya.
"Lo romantis juga ya ternyata," ujar Boy, nangkring di daerah tempat duduk Gavin. "Pagi-pagi kasih surprise bunga mawar ke tunangannya. Cieeee."
Spontan seisi kelas bersorak.
Mata Gavin menyipit. "Mawar?"
"Udah nggak usah pura-pura nggak tau deh." Boy menepuk pundak Gavin, lalu kembali ke tempat duduknya.
Sepanjang pelajaran jam kuliah pertama Gavin terus bertanya-tanya maksud dari perkataan Boy. Rasanya Gavin ingin bertanya langsung pada Yorin, namun gengsinya terlalu tinggi. Gavin rasa tidak ada gunanya juga ia tau apa maksud dari si Boy barusan. Gavin berusaha tidak peduli, tetapi ia terus terpikir begitu saja hingga jam perkuliahan usai dan teman-teman sekelasnya mulai meninggalkan kelas.
Saat Yorin hendak meninggalkan kelas, Gavin mencegatnya tanpa pikir panjang sampai-sampai tubuh Yorin hendak menabrak tubuh Gavin.
"Lo ya! Ngagetin aja!" portes Yorin pada tunangannya itu.
"Maksud Boy apa?" tanya Gavin tanpa basa-basi.
"Apanya?"
"Surprise mawar, maksudnya apa?"
"Bukannya elo yang tadi pagi naroh mawar di meja gue?" tanya balik Yorin.
"Mawar di meja lo?"
Yorin mengangguk dengan polosnya meski sebenarnya ia tak yakin tunangannya itu pelakunya. Namun melihat ekspresi bingung Gavin, ia sadar Gavin tidak akan melakukan hal romantis semacam itu. "Bukan lo ya?"
Gavin hanya diam. Gavin tidak mau Yorin kepikiran apalagi Gavin ingat sekali kejadian jaman SMA yang sempat membuat Yorin ketakutan karena diteror oleh penguntit.
Gavin meletakann tangannya dikepala Yorin. "Jangan pergi ke mana-mana sendiri dulu. Oke?"
Wajah Yorin memucat. Tangan hangat Gavin yang menyentuh rambutnya, perkataan Gavin yang berusaha menenangkannya membuatnya semakin tegang.
"Lo ... lo kenapa jadi begini?" tanya Yorin gagap.
Gavin dan Gerald saling menatap dengan tajam. Gerald yang berjalan ke arah mereka.
"Gue tunangan lo," jawab Gavin dengan kencang, membuat mahasiswa yang masih berada di kelas senyum-senyum ke arah mereka.
Yorin melangkahkan kakinya ke belakang, ia terkejut dengan perubahan sikap Gavin hari ini. Saat ia melangkah ke belakang, tubuhnya malah tertabrak dengan Gerald. Tatapan Gavin dan Gerald menyambung, seakan tak mau mengalah salah satu. Yorin yang berada di tengah-tengah mereka berdua menjadi bingung sendiri.
"Haha ... kalian kenapa jadi canggung gini?" tanya Yorin mencoba meredakan suasana. Namun tidak ada yang merespon.
"Gavin!" panggil seseorang, yang akhirnya membuat tatapan tajam Gavin lepas dari Gerald.
Sofia berdiri diambang pintu kelas dengan raut wajahnya yang tampak tidak sedang baik-baik saja. Ia sangat pucat. Gavin langsung menghampiri Sofia.
Yorin bisa melihat kekhawatiran Gavin pada Sofia.
"Kita perlu bicara," kata Sofia.
Gavin mengiyakan. Mereka berdua berjalan entah ke mana meninggalkan Yorin dan Gerald yang masih mematung di kelas.
\*\*\*\*\*
"Lo cemburu?" tanya Gerald, berjalan berdampingan dengan Yorin menuju kantin kampus.
"Sama Sofia maksud lo?" tanya balik Yorin.
Gerald mengangguk.
Yorin tersenyum simpul. Ia menggelengkan kepalanya. "Udah mulai terbiasa sih, jadi mulai ikhlas aja."
"Good. Lo cantik, lo baik. Pasti bisa dapat yang lebih baik."
"Jadi menurut lo, gue cantik dan baik?" tanya Yorin membuat Gerlad salah tingkah.
Yorin tersenyum melihat gelagat Gerald.
"Mau Gelatto?" tanya Gerald mengalihkan pembicaraan.
"Boleh."
"Lo tunggu sini, gue ambilin. Makan?"
Yorin menggelengkan kepalanya. "Kenyang," katanya sambil duduk di salah satu kursi kantin. Ia melihat Gerald yang kini tengah berjalan dan mengambilkan es krim untuknya.
Gerald datang tidak lama sambil membawa Gelatto, ia berikan pada Yorin.
"Kok tiga rasa?" tanya Yorin saat melihat Gelatto-nya datang tiga tumpuk.
"Gue lupa nanya lo suka rasa apa, jadi gue ambil tiga rasa favorite."
Yorin tersenyum lagi.
Sebuah mangkok es krim berisi tiga rasa, paling bawah adalah rasa coklat, ditengah ada rasa strawberry dan dipaling atas ada rasa vanilla. Disampingnya ada tambahan wafer.
Yorin menyantap Gelatto dari Gerald tanpa protes walau sebenarnya ia tidak terlalu suka dengan rasa strawberry.
Sambil menikmati lezatnya Gelatto, sesekali Yorin memandang dalam pada sosok Gerald yang duduk di depannya. Gerald juga menikmati Gelatto rasa vanilla. Gerald tampak menggemaskan, ia memakan Gelatto layaknya anak kecil hingga belepotan.
Yorin tertawa kecil.
Mendengar tawa Yorin, Gerald menaikan pandangannya pada Yorin. Tiba-tiba Yorin membersihkan belepotan es krim di dekat bibir Gerald. "Kaya bocil," ejek Yorin.
Gerald menangkap tangan Yorin yang sudah lancang memegang wajahnya. Ia menggenggam tangan kecil itu. Bola mata Yorin yang tadi tersenyum mendadak melebar. Mereka berdua saling pandang dalam keheningan.
"Ehem!"
Si Boy kembali membuat ulah. Kedatangan Boy membuat Gerald melepaskan tangan Yorin dari genggamannya. Boy duduk di sebelah Gerald membawa seporsi makan siang. Lirikan mata Boy ke sana ke mari membuat dua orang itu semakin salah tingkah.
"Rin, lo sebenarnya tunangan Gavin atau Gerald sih? Kok gue liatnya lo lebih romantisan waktu sama Gerald?" tanya Boy begitu saja, sampai Yorin tersedak dibuatnya.
Gerald buru-buru mengambil alih air mineral milik Boy yang masih tersegel. Ia bukakan air minum itu dan ia berikan pada Yorin.
"Itu kan punya gue!" protes Boy, namun Gerald tak merespon. Gerald fokus kepada Yorin.
Boy memicingkan matanya pada Gerald dan Yorin sekali lagi.
"Lo ... lo suka Yorin kan?" tanya Boy begitu blak-blakan pada Gerald.
Bola mata Yorin semakin melebar.
Pandangan Gerald yang tadi ada pada sosok Yorin kini menengok ke sebelah. Boy tampak sumringah menunggu jawabannya.
Yorin salah tingkah. Ia rasa ia tak mampu mendengar jawaban dari Gerald. "Gue ... gue balik dulu mau ke toilet. Bye!" katanya, pergi buru-buru setengah berlari.
Boy menggelengkan kepalanya melihat sikap Yorin yang begitu Nampak salah tingkah dimatanya.
"Maksud lo apa nanya gitu di depan Yorin?" protes Gerald.
"Gue cuman nanya sesuai prediksi gue," jawab Boy dengan santainya sambil mengunyah makananya.
Gerald menggelengkan kepalanya. Ia menepuk pundak Boy lalu pergi meninggalkan Boy.
"Ganteng!! Gerald!!! Lo mau kemana?" tanya Boy sambil melihat kepergian Gerald. "Woi temenin gue makan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments