Yorin berjalan di belakang Gerald, ia berusaha menyamai langkah kakinya dengan langkah kaki panjang Gerald agar tidak tertinggal. Walau sedang berjalan, pikirannya masih terngiang-ngiang saat ia jatuh kepelukan Gerald.
‘Berasa lagi main drakor, ternyata ada cowok yang bisa secekatan itu. Nggak cuman di drakor. Gerald juga cakep, beneran gue berasa main drakor.’
Yorin tanpa sadar tersenyum sendiri, bahkan senyumnya memperlihatkan gigi putihnya yang rapi berbaris.
Gerald mendadak menghentikan langkahnya saat berada di taman samping kampus, ia membalikkan tubuhnya melihat Yorin yang tertinggal di belakang sana. Yorin tampak berjalan riang sambil senyum-senyum sendiri tanpa memperhatikan arah jalan hingga akhirnya Yorin menabrak dada bidang Gerald.
Saat tertabrak, barulah Yorin tersadar.
"Lo ... lagi bayangin apa senyum-senyum sendiri sambil jalan?" goda Gerald.
"Ha? Em ... enggak, siapa juga yang senyum," jawab Yorin salah tingkah.
‘Nggak bayangin, inget aja kejadian tadi.’
"Jangan-jangan lo mikirin kejadian tadi ya?" goda Gerald lagi.
"Kejadian yang mana?"
"Waktu gue nangkap lo pas lo mau jatuh, ya kan? Pasti lo mikir, wah ini kaya di film-film. Gitu kan?" tebak Gerald.
"Uhuk ... uhuk ...." Yorin batuk secara tiba-tiba.
‘Gerald dukun apa? Kok dia tau sih.’
Gerald tertawa kecil dibuatnya.
"Duh ... lo ... lo mimpi aja ya? Ngapain gue inget-inget kejadian tadi. Lagian nggak cuman elo yang pernah nangkap gue pas mau jatuh, banyak kali," jawab Yorin gengsi.
"Oh ya?"
Yorin mengangguk.
"Jadi lo nggak deg-degan waktu kejadian di rooftop tadi?"
"Enggak!" jawab Yorin cepat.
"Kalau gue kaya gini?" Gerald meletakkan tangan kanannya pada pipi kanan Yorin, Gerald sedikit menunduk dan memajukan wajahnya pada wajah Yorin. Wajah mereka mendekat kembali, hanya berjarak sejengkal saja.
Tatapan Gerald yang tajam mampu menembus mata Yorin sampai ke organ jantung, dengan begitu cepat jantung Yorin berdetak begitu saja.
Saat mereka sedang terpaku satu sama lain, sedang mesra-mesranya tiba-tiba hujan datang begitu saja tanpa memberi pertanda. Datang dengan begitu derasnya.
Gerald menarik Yorin untuk berlari memasuki area bangunan kampus dari taman samping. Tak hanya Gerald dan Yorin, mahasiswa yang lain juga ikut berlarian untuk berteduh karena hujan datang begitu tiba-tiba.
Rambut Yorin sedikit basah, seragamnya juga basah dibagian bahu. Karena basah, seragam Yorin yang berwarna putih membuat pakaian dalam Yorin sedikit terawang jika diamati dari dekat.
Gerald melepas outer seragamnya yang berbentuk jas, ia pakaikan ke tubuh Yorin.
Yorin lagi-lagi dibuatnya tercengang.
"Udah nggak usah salting, biasa aja."
"Dih, siapa juga yang salting," komen Yorin. "Lo ngapain sih pakein jas lo, kan sama-sama basah."
"Paling enggak daleman lo nggak keliatan."
"Daleman?" tanya Yorin menatap Gerald.
Gerald mengangguk. "Coklat muda?"
"Lo!" Spontan Yorin menendang kaki Gerald sambil menyilangkan tangan di badannya.
"Ya!!!" protes Gerald.
"Nggak usah diperjelas juga warnyanya!" omelnya, meninggalkan Gerald dan berjalan ke arah kelas karena mata kuliah kedua setengah jam lagi akan dimulai.
‘Sial! Kemarin liat warna ****** ***** gue sekarang liat atasan gue,’ batinnya.
Gerald tertawa kecil, mengikuti Yorin sambil menggoda Yorin dari belakang. Yorin berusaha mengabaikan Gerald yang terus menggodanya, namun tak bisa. Sesekali ia membalikan tubuhnya dan mencoba memukul pundak Gerald bahkan menendang lagi kaki Gerald.
Sampai di kelas pun Yorin dan Gerald menjadi bahan perhatian teman-teman di kelas mereka karena kedua remaja itu tampak begitu akrab dan menggoda satu sama lain hingga menimbulkan keheningan di kelas saat mereka datang.
Gerald dan Yorin menghentikan langkah mereka ketika mereka sadar semua orang memperhatikan mereka.
"Ada apa nih, happy banget kayaknya," goda si Boy, si cowok ke cewek-cewekan yang sering bertengkar dengan Anita. "Cie ... yuhu bakal ada pertarungan nih!"
"Cieeee," goda teman-teman sekelas mereka karena Boy yang mengompor-ngompori.
Melva dan Aslan hanya geleng-geleng kepala.
"Awas ya Gerald lo suka sama Yorin, dia tu tunangannya Gavin," ujar si Boy sambil melirik Gavin yang tampak cuek duduk dibangku.
"Lo apaan sih!" protes Yorin kesal pada si Boy.
"Why not?" respon Gerald kemudian, yang mengheningkan lagi suasana ricuh di kelas. "Mereka juga belum tunangan, nggak ada salahnya kan mencoba?" goda Gerald.
Boy dibuat tertawa terbahak-bahak oleh Gerald. "Gila lo emang ya Gerald ... gue suka gaya lo!" katanya ala banci. "Gavin ... Gavin ganteng," panggil Boy. "Lo rela nggak kalau Yorin sama cowok lain?"
Gavin tidak menjawab. Gavin berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke arah Boy. "Urus urusan lo sendiri, urusan gue sama Yorin nggak ada urusannya sama lo," bisik Gavin sambil menepuk pundak Boy lalu pergi keluar kelas.
Boy menatap kesal pada Gavin. "Emang ya tu anak ih nggak bisa ramah gitu sama orang-orang iyuh, eh bok lo nggak usah tunangan sama dia, nanti lo sakit hati terus dibuatnya."
Yorin hanya tersenyum, berusaha tidak merespon Boy dan kembali duduk di kursi kelasnya.
Di mata kuliah kedua Yorin tidak bisa fokus sama sekali. Jujur saja, Yorin sangat khawatir menjelang hari pertunangannya yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi. Dibalik rasa cintanya pada Gavin yang begitu dalam karena sudah sejak lama menyukai Gavin, rasa ragunya kian menumpuk menutupi rasa ingin memiliki.
Yorin tahu tentang Gavin yang memiliki hubungan spesial dengan Sofia, Yorin juga tau bahwa Gavin memang tertarik dengan Sofia.
Yorin menarik nafas panjang, dihembuskannya perlahan dan ia mencoba untuk mulai berkonsentrasi pada dosennya yang kini masih sibuk menerangkan pelajaran di depan kelas.
Walau sudah mencoba fokus beberapa menit, masih saja pikiran Yorin kemana-mana. Ia melihat teman-teman di sekitarnya yang tampak diam dan berusaha mencerna mata kuliah filsafat kali ini, tapi Yorin yakin teman-temannya sama saja tidak paham dengan mata kuliah yang sulit dimengerti tersebut, sama seperti dirinya.
"Yorin?" panggil seorang yang berdiri di depan kelas.
Yorin yang asik melamun melihat kaca jendela, jendela yang menghubungkan matanya dengan rintik hujan dan pemandangan indah di luar kelas tidak merespon.
"Yorin?"
"...."
Melva yang duduk didepan Yorin menggugah lamunan Yorin. "Heh!"
"Hah?" Yorin terkejut. Bangun dari lamunan, teman-teman disekelilingnya menatapnya. Termasuk dosennya hari ini. "Maaf pak," ujar Yorin tersenyum malu.
"Apa yang dimaksud dengan kebaikan tertinggi menurut Filsafat?" tanya Pak Faruq tiba-tiba.
Yorin menelan air ludahnya. "Em ...."
Hening beberapa saat.
"Siapa yang bisa jawab?" kata pak Faruq menanyakan pada semua mahasiswa. Namun tidak ada satupun yang angkat tangan.
‘Tuh kan, emang susah pelajaran Filsafat mana ada yang mudeng di sini mah.’
"Kebaikan tertinggi atau Summum Bonum merupakan kebaikan yang dinilai puncak, terunggul dan kebaikan akhir hidup manusia demi segala sesuatu yang dilakukan," jawab Gerald tiba-tiba dengan lancar dan pintarnya. Semua wanita meleleh melihatnya.
Gerald masih melanjutkan jawabannya yang begitu panjang dan lancar layaknya rambut Yorin yang panjang dan sehat. Gerald memang pantas disebut Idola. Tidak hanya tampan dan baik, dia juga pintar.
"Good Gerald!" Pak Faruq merasa lega, paling tidak ada satu mahasiswa yang paham akan penjelasannya setelah berjam-jam hingga akhirnya jam akhir perkuliahan diakhiri dengan sebuah bunyi bel yang nyaring.
"Rin, gue ama Aslan mau cari topi. Ikut nggak lo?" tanya Melva sambil memasukan beberapa bukunya ke dalam tas.
"Gue ...." Yorin memandang Gavin yang sudah berdiri diambang pintu kelas untuk mengantarnya pulang. "Gue juga mau, tapi Gavin gimana?"
"Bilang aja suruh duluan. Mau gue bilangin?" sahut Aslan.
"...."
"Oke gue bilangin," ujar Aslan yang berdiri dari kursinya, lalu mulai berjalan menghampiri Gavin.
Yorin bergegas menyalip Aslan, Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Gavin sampai-sampai Aslan yang memintakan ijin untuknya saat hendak bermain dengan teman-temannya.
"Vin, gue ... gue nanti pulang naik taksi aja. Mau ke mall dulu," jelas Yorin tegas."
"Baguslah kalau lo bisa mandiri," katanya, pergi meninggalkan Yorin.
"Beneran ya Gavin makin lama makin nyebelin, pengen gue salto aja," ujar Melva yang datang bersamaan dengan Aslan menghampiri Yorin.
Yorin tak merespon, begitu juga dengan Aslan. Mereka bertiga berjalan bersama menuju bangunan kampus yang menghubungkan kampus mereka dengan mall lumayan besar itu.
Berjalan pada tanah rerumputan yang masih basah karena hujan baru saja berhenti. Melewati beberapa kelas, melewati kantin dan melewati lapangan basket.
Mata Yorin mengarah pada seorang cowok yang kini tengah bermain basket bersama teman-temannya. Para gadis yang mengidolakannya tentunya sedang menyemangatinya dipinggiran lapangan dengan centilnya.
Langkah kaki Yorin terhenti. Membuat Melva dan Aslan juga ikut berhenti sambil memperhatikan permainan basket yang tampak seru.
"Jago juga si Gerald," ujar Melva.
Yorin mengangguk.
"Dahi lo agak benjol ya, Rin?" kata Aslan saat memperhatikan wajah Yorin.
"Oya?" Yorin meraba dahinya, Aslan mengarahkan tangan Yorin, ia memegang tangan Yorin dan menempatkan jemari lentik Yorin dibagian yang benjol. "Pantes agak tebel gitu rasanya."
"Udah lo kasih salep?"
Yorin mengangguk.
"Yah pas acara gue tunangan kalau masih benjol gimana?" tanya Yorin khawatir.
"Kayaknya lo emang nggak direstuin Tuhan buat tunangan sama Gavin deh," celetuk Melva. Melva merangkul tangan Yorin dan mengajaknya lagi berjalan, Aslan mengikuti dua temannya itu di belakang.
"Iya apa ya? Apa gue nggak jodoh jadi nasib gue gini amat."
"Kalau lo nggak yakin, lo undur aja," sahut Aslan.
Mereka bertiga berjalan dengan santai.
"Kalau gue undur, kasihan Gavin pasti dimarahin bokapnya."
"Bokapnya keras banget ya orangnya?" tanya Melva penasaran.
Yorin mengangguk. "Bokapnya pengen banget gue nikah sama Gavin."
"Ya karena lo anaknya yang punya Mall ini!" kata Melva tanpa disaring saat mereka menginjakan kaki di Mall setelah melewati pintu penghubung. "Ini Mall bokap lo kan? Lo anaknya orang tajir, Gavin juga anaknya orang tajir, bisnis ortu kalian itu sebelahan. Kalau kalian nikah, makmur lah keluarga kalian, saling menguntungkan."
"Mel, jaga mulut lo!" ujar Aslan.
"Gue ngomong apa adanya, Lan. Beneran deh dari dulu gue gregetan sama bokapnya Gavin. Pantes aja Gavin kelakuannya jadi nggak ada sopan santun gitu, orang di rumah aja bokapnya kaya gitu."
"Melva!" potong Yorin. "Udah deh, biarin aja itu hidup mereka."
"Jujur ya Rin, gue sebenarnya nggak rela aja lo sama Gavin. Gue tau lo bucin ke Gavin, tapi Gavin nggak ngehargain elo. Terus kalau kalian nikah nanti, gimana nasib rumah tangga kalian. Ya nggak sih, Lan?" tambah Melva.
Yorin terdiam.
Aslan pun yang tadinya menyuruh Melva diam ikut bicara. Ia ikut menceramahi Yorin yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri itu. "Jujur gue nggak suka sama sifat dia ke elo, Rin. Menurut gue, Gavin bukan cowok yang pantas buat elo."
"Iya Rin, lo tu sadar kek! Lo tu cantik, banyak banget cowok yang suka sama lo! Lo baik, lo ramah, lo tajir! Lo bisa milih siapa aja dari yang atas sampai yang bawah, lo bisa dan berhak buat dapat yang lebih baik," jelas Melva lagi sambil memasuki sebuah store khusus topi yang berada di lantai dua.
"Iya-iya nggak usah berisik, kalian pilih topi aja sana. Gue tunggu sini ya?" kata Yorin, duduk di kursi penunggu.
Aslan dan Melva mencibir, mereka pun akhirnya sibuk memilih-milih topi yang rencananya akan mereka gunakan. Mereka berdua memang sangat menyukai topi, Aslan karena gayanya yang cool dan Melva karena gayanya yang tomboi.
Pegawai toko sampai hafal sekali dengan gaya topi kesukaan Melva dan Aslan karena sebulan bisa dua kali mereka berdua mengunjungi tempat ini.
Sambil menunggu dua temannya itu, Yorin teringat kata-kata dan ceramah yang diberikan barusan. Mereka berdua benar, Yorin akui Yorin budak cinta, Yorin terlalu dibutakan oleh cinta sampai-sampai ia tidak bisa melepaskan lelaki yang jelas-jelas tidak menyukainya sama sekali. Keraguan semakin menghantui dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments