Rasa yang Salah

Raffa menghentikan motornya di depan taman. Di dekat kompleks perumahan Nina memang ada sebuah taman yang dihiasi lampu-lampu kecil saat malam.

Mereka berjalan masuk ke dalam taman lalu duduk di kursi taman dekat pohon besar. Tak banyak orang lalu lalang saat itu karena memang bukan weekend.

"Nin, sorry soal tadi. Iya, aku tahu, aku salah. Perasaan ini harusnya gak ada di antara kita."

Nina hanya terdiam. Pandangannya lurus ke depan. Dia masih tidak mau menatap Raffa. Dia sendiri juga sedang memikirkan perasaannya yang carut marut tak karuan.

"Nin, apa kamu juga merasakan apa yang aku rasakan?" tanya Raffa karena sedari tadi Nina hanya diam saja.

Nina hanya tersenyum masam. "Kak Raffa jahat!" katanya penuh penekanan.

Raffa semakin menatap Nina tak mengerti. "Jahat? Apakah mencintaimu termasuk sebuah kejahatan, kalau begitu aku siap dipenjarakan di dalam hatimu." tawa renyahnya di ujung kalimat. Dia berusaha menghibur Nina yang masih saja cemberut.

"Ih, Kak Raffa tuh selalu melarang aku dekat dengan cowok lain sedangkan Kak Raffa sendiri bebas dekat dengan siapa saja."

Raffa berpikir sesaat. Berusaha mengartikan kalimat Nina yang sepertinya merupakan kode keras. "Jadi kamu juga gak mau aku dekat sama cewek lain?"

Nina menggigit bibir bawahnya, sebelumnya dia sudah biasa cerewet sama Raffa tapi kenapa kali ini rasanya sangat berbeda. "Bukan seperti itu. Aku gak mau aja perhatian Kak Raffa berkurang sama aku." jawab Nina dengan nada yang kian memelan.

Raffa hanya tersenyum lalu merengkuh bahu Nina. "Maklum cowok most wanted di kampus." kekeh Raffa.

"Ih." Nina hanya mencebikkan bibirnya. Ya, jelaslah Raffa menjadi salah satu cowok most wanted karena wajahnya yang tampan dan juga kepintarannya. Selain kedua hal itu, dia juga anak pengusaha kaya raya.

Kini mereka sama-sama terdiam dan merenungi perasaan masing-masing.

"Kak Raffa, kita sama-sama adiknya Kak Reka. Harusnya perasaan ini gak boleh ada." kata Nina tiba-tiba.

"Iya, aku tahu. Tapi aku hanya manusia biasa. Bagaimana caranya aku mencegah perasaan itu?"

Nina menggelengkan kepalanya kecil. "Aku sendiri juga gak tahu. Jujur saja, sebenarnya aku juga cinta sama Kak Raffa. Aku berusaha mati-matian buat buang perasaan itu tapi aku gak bisa."

Raffa semakin mengeratkan rengkuhannya. Tuhan memang menciptakan sepasang hati untuk bersatu tapi mengapa dengan posisi seperti ini.

"Seandainya saja kita bukan adiknya Kak Reka pasti kita bisa pacaran." Nina menghela napas panjang bahkan sampai umurnya 18 tahun dia belum pernah merasakan indahnya pacaran.

Raffa tersenyum kecil. "Ya, kamu benar. Apa kita coba aja menjalin hubungan dengan orang lain? Mungkin perasaan kita bisa hilang seiring berjalannya waktu. Kita coba buka hati kita untuk yang lainnya."

Nina hanya terdiam. Dia kini menyandarkan kepalanya di bahu Raffa. "Apa bisa?"

"Maybe." meski sebenarnya Raffa juga ragu dengan idenya itu. Apakah dia bisa menghilangkan rasa yang selama ini tertanam dan telah tumbuh bermekaran.

"Tapi kita masih bisa tetap dekat kan kalau seandainya kita punya pacar?" tanya Nina. Dia tidak mau jauh dari Raffa.

"Ya masih. Kan kita tetap kakak adik. Tapi tak sedekat seperti sekarang."

Nina berusaha untuk tersenyum. Merasakan rengkuhan Raffa seperti ini rasanya sangat nyaman.

"Setelah ini kita jaga jarak ya." Raffa menggenggam satu tangan Nina. "Aku gak mau kamu kena marah sama Kak Reka dan Ayah Niko. Mama juga udah wanti-wanti sama aku soal ini."

Nina mengangguk pelan meski sebenarnya dia tidak rela kalau harus berjauhan dengan Raffa.

Mereka menikmati momen itu sampai tak terasa hampir satu jam berlalu.

"Nina! Raffa!" suara tinggi itu membuat Raffa melepaskan tangan Nina. Begitu juga dengan Nina. Dia tegakkan dirinya dan sedikit menjauh dari Raffa.

Reka menarik tangan Nina agar berdiri dari tempatnya. "Kalian berdua ngapain? Mesra-mesraan di tempat umum kayak gini."

"Bukan gitu, Kak. Kita cuma..."

Reka memotong kalimat Raffa. "Cuma apa! Kalian berdua itu adik aku. Mulai sekarang kamu jauhi Nina! Aku gak suka kalian punya hubungan spesial seperti ini. Nina ayo pulang!"

"Bentar, Kak. Ini jaket Kak Raffa." Nina melepas jaket Raffa yang sedari dia pakai dan dikembalikam pada Raffa, lalu dia mengikuti langkah Reka. Jelas saja, sebentar lagi dia pasti akan kena ceramah dari Reka hingga telinganya memanas.

Benar saja, baru juga masuk ke dalam mobil, Reka sudah ngomel-ngomel pada Nina.

"Nina, berapa kali aku bilang sama kamu. Jaga jarak sama Raffa! Raffa itu kakak kamu. Sama kayak kamu ke aku." Reka mulai melajukan mobilnya kembali ke rumah.

"Iya kak," jawab Nina.

"Mulai besok kamu gak usah berangkat kuliah sama Raffa. Biar aku atau Ayah yang antar kamu."

"Iya, Kak."

"Jangan cuma iya iya aja. Gak sekali dua kali Kakak mergoki kamu berduaan sama Raffa sampai sedekat itu. Ini udah diluar batas, gak kayak kakak dan adik. Kamu sama Revan nyatanya juga biasa aja, gak sampai nempel-nempel kayak gitu."

Dih, Kak Raffa dibandingin sama Revan. Jelas beda. Meskipun dia adiknya Kak Raffa tapi dinginnya kayak kulkas berjalan lagian juga masih kecil. Ngapain Aku dekat-dekat sama anak masih SMP.

Bukannya mendengar ceramah Reka, Nina justru sibuk membandingkan Raffa dan adik bungsunya yang bernama Revan itu.

"Nina, kamu dengar kakak ngomong gak?"

"Iya Kak, dengar."

Reka menghentikan mobilnya di depan rumahnya.

"Kak, Ayah tahu soal ini?" tanya Nina sebelum turun dari mobil Reka.

Reka menghela napas panjang. "Ayah kan belum pulang lagi makan malam dengan rekan bisnisnya. Tapi lain kali kalau kamu masih bandel biar kamu diberi hukuman sama Ayah."

"Iya, Kak iya."

Kemudian mereka berdua turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.

"Nina!" Bunda Luna sudah berdiri di dekat pintu sambil memasang ekspresi marahnya.

"Iya Bunda. Maaf."

"Jangan diulangi lagi." Bunda Luna mengikuti langkah putrinya menuju kamar.

"Iya, Bun."

Sampai masuk ke dalam kamar Luna masih saja mengikuti putrinya.

"Jujur sama Bunda, kamu cinta sama Raffa?"

Nina hanya terdiam sambil menundukkan pandangannya. Sangat tidak mungkin baginya mengakui perasaannya yang sebenarnya.

"Nin, Bunda ngerti perasaan itu gak bisa dicegah tapi lebih baik kamu menghindarinya sebelum semua menjadi rumit."

Nina menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat. Besok pagi biar diantar Reka ke kampus."

Nina menganggukkan kepalanya lagi. Setelah Bundanya pergi, Nina menutup pintu kamarnya. Kemudian dia hempaskan tubuhnya di atas ranjang. Dia pejamkan matanya berusaha menghilangkan segala perasaan yang ada.

Aku harus mulai terbiasa tanpa Kak Raffa.

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Setiap orang pemahaman nya beda2,,Reka itu anak Sah atau anak luar nikah?Rafa dan Nina gak ada hubungan darah juga,yang ada cuman Reka,Di situ lah letaknya hubungan rumit..

2024-10-30

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Kata-kata itu satu doa,Kalian bukan lagi PACARAN biasa setelah ini,Melainkan PACAR HALAL(PASUTRI)😁😁

2024-10-30

0

Siti Khalimah

Siti Khalimah

cuman pemikiran orang aja . toh ngak ada hub darah

2023-11-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!