Merasa Bersalah

Setelah hampir dua jam, Nina akhirnya terbangun. Perlahan dia mulai membuka matanya.

"Kak Raffa!!" dia terkejut saat melihat dirinya polos tanpa baju. Perlahan dia mulai mengingat kembali apa yang telah terjadi. Rasa bersalah dan berdosa itu jelas ada dan muncul dalam benaknya.

Perlahan Nina duduk dan menangis.

"Ssstt, maafin aku ya." Raffa meraih tubuh Nina ke dalam pelukannya. Dia usap punggung Nina yang bergetar itu.

Nina menggelengkan kepalanya. "Ini bukan salah Kak Raffa. Aku gak bisa bayangin kalau seandainya Kak Bayu yang ngelakuin itu sama aku." Nina semakin menenggelamkan dirinya di dada Raffa.

"Tapi tetap saja aku salah. Harusnya aku bisa jaga kamu. Harusnya aku gak merusak kamu seperti ini." Raffa melepas pelukannya lalu menghapus air mata Nina. "Aku pasti akan tanggung jawab sama kamu."

Jelas, Nina tidak ragu dengan perkataan Raffa. "Kak Raffa pakai pengaman?" tanya Nina.

Raffa menggeleng pelan. Hal ini tidak direncanakan jelas dia tidak mempunyai pengaman.

Nina semakin panik. "Terus kalau nanti..."

"Aku pasti akan menikahi kamu. Kamu tenang ya, kita baru buat sekali."

"Tapi aku takut, Kak." Nina masih saja panik. Hal terburuk itu bisa saja terjadi.

"Iya, aku tahu. Ada aku. Aku akan menanggung semua akibatnya."

Nina kembali memeluk Raffa dengan erat. "Kita akan selalu bersama kan?"

"Iya, pasti kita akan selalu bersama."

Mereka kembali merasakan pelukan hangat itu sampai beberapa menit. Sebelum akhirnya Raffa melepas pelukannya.

"Kamu mau mandi dulu, atau langsung pulang?" tanya Raffa sambil mengambil baju Nina yang sudah dia rapikan.

"Aku mau mandi dulu, biar Bunda gak curiga." perlahan Nina turun dari ranjang. Badannya terasa pegal, bahkan intinya terasa perih. Apalagi saat dia buat berjalan. "Kak, ini sakit."

"Iya maaf, aku tadi terlalu lama." Raffa mengangkat tubuh Nina dan membawanya ke kamar mandi.

"Kak, emang sakit dan perih gini ya?" tanya Nina dengan polosnya.

Pertanyaan itu membut Raffa merasa gemas dengan Nina. "Iya, baru pertama pasti gitu." jawab Raffa, dia juga tidak tahu pastinya. Yang jelas rasa yang dia rasakan begitu nikmat. "Aku bereskan barang kamu dulu, sebentar lagi kita pulang, sudah sore."

Raffa keluar dari kamar mandi dan membiarkan Nina membersihkan dirinya. Dia kini menatap sebercak darah yang ada sprei, antara bahagia dan sedih. Bahagia karena dia telah memiliki Nina seutuhnya dan bukan Bayu. Tapi dia juga sedih karena bukan sekarang waktu yang tepat untuk melakukannya.

Kemudian dia gulung sprei dan selimut itu menjadi satu. Dia mengambil tas Nina sambil melihat sekitar jika ada barang yang tertinggal.

Setelah Nina keluar dari kamar mandi, dia menyisir rambutnya.

"Kamu lapar gak? Kita makan dulu kalau lapar." tanya Raffa sambil memakaikan kardigan di tubuh Nina.

Nina hanya menganggukan kepalanya. Dia memang merasa haus dan sangat lapar.

"Kamu cek dulu tas kamu, ada yang ketinggalan gak?"

Nina mengecek tasnya, setelah dia pastikan barangnya lengkap, mereka keluar dari kamar itu.

"Kak, jalannya jangan cepat-cepat." Nina masih belum bisa berjalan cepat, karena sekarang kedua pahanya juga terasa kaku. Entahlah bagaimana Raffa menggepreknya sampai badannya terasa seperti ayam geprek tanpa tulang.

Raffa tersenyum kecil lalu menggandeng tangan Nina. "Iya, lupa."

Bersentuhan dengan tangan Raffa saja sudah membuat dada Nina berdebar-debar. Dia memang tak mengingat setiap rinci adegan yang telah Raffa lakukan tapi yang jelas dia sudah dibawa Raffa terbang ke angkasa dan meletup di udara berkali-kali.

Mereka kini sampai di tempat parkir.

"Kamu tadi bawa helm?" tanya Raffa sambil memakai helmnya.

"Yah, ketinggalan di mobilnya Kak Bayu."

"Ya udah nanti aku cari jalan pintas aja." Raffa naik ke atas motornya dan memutar motornya. "Ayo."

Nina nampak berpikir. Naik ke atas motor Raffa yang tinggi dan besar itu, pasti rasanya ngilu.

"Duduk miring aja, aku pelan-pelan kalau kamu takut." kata Raffa yang mengerti isi pikiran Nina saat ini.

Nina menganggukkan kepalanya lalu naik ke boncengan Raffa. Dia berpegangan erat pada perut Raffa karena dia takut jatuh ketika harus duduk dengan posisi miring di atas motor Raffa. "Kak Raffa pelan-pelan."

"Iya, ini pelan-pelan." Raffa melaju dengan kecepatan sedang di jalanan sore hari itu.

...***...

Setelah selesai makan, Raffa mengantarkan Nina sampai ke rumahnya. Saat Raffa menghentikan motornya di depan rumah Nina, ada Ayah Niko yang sedang menunggu kedatangan mereka.

Nina turun dari motor Raffa dan berjalan menuju teras rumahnya. Dia menjadi deg-degan, takut jika Ayahnya tanya macam-macam.

"Nina, darimana seharian ini?" tanya Niko pada putrinya.

"Dari rumah Vina, Yah." Nina mencium punggung tangan Ayahnya begitu juga dengan Raffa.

"Bukannya tadi berangkat sama Aurel?" tanya Niko lagi.

"Iya, tadi Aurel pulang dulu jadinya aku minta jemput Kak Raffa." kemudian Nina masuk ke dalam rumahnya.

"Ayah Niko, aku pamit pulang dulu." kemudian Raffa kembali naik ke atas motornya.

"Iya."

Setelah Raffa meninggalkan halaman rumahnya, Niko kini duduk di teras rumahnya. Seharian ini perasaannya tidak enak. Entah ada apa, dia terus memikirkan Nina. Dia juga baru tahu dari Reka tentang hubungan Raffa dan Nina.

Kedekatan mereka berdua mengingatkan dirinya di masa lalu. Terbesit rasa takut di hatinya. Tidak mau masa itu terulang lagi.

"Ayah, kok malah melamun di sini?" Luna duduk di samping suaminya sambil membawa secangkir teh hangat.

Niko menghela napas panjang. "Tadi Reka cerita sama Ayah kalau Raffa dan Nina saling mencintai."

"Iya aku juga tahu. Mereka sudah terlanjur dekat sejak kecil, ya mau bagaimana lagi. Aku juga bilang sama Reka agar tidak terlalu melarang mereka. Aku takut mereka malah berhubungan sembunyi-sembunyi dan berbuat nekat."

Niko mengambil cangkir tehnya dan meneguk pelan. "Tapi melihat mereka berdua tadi, kenapa aku rasanya takut mereka seperti aku di masa lalu. Seharian ini aku merasa tidak tenang. Entahlah, apa karena Nina sudah mulai beranjak dewasa dan pasti akan menentukan hidupnya sendiri jadi aku merasa takut posisi aku terganti oleh Raffa."

Luna mengusap bahu Niko sambil tersenyum. "Sama seperti yang aku rasakan. Aku selalu mewanti-wanti Nina agar tahu batasannya dekat dengan Raffa. Ya semoga saja mereka mengerti."

Niko meletakkan kembali cangkir itu. Dia kini menggenggam tangan Luna. "Maafkan aku ya. Ini terjadi karena masa lalu aku yang buruk, hingga membuat hubungan Nina dan Raffa seperti tidak lazim karena mereka sama-sama adiknya Reka."

"Sudah, jangan membahas lagi masa lalu. Mas Niko sudah memperbaiki semuanya. Buktinya sekarang Reka menjadi orang sukses berkat support dari Mas Niko."

Niko tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Dan seorang Bunda yang hebat."

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!