[OBTD] BAB 4 : Another Cogan

Jasmine membuka jendela balkon kamarnya. Pagi ini benar-benar terlalu cerah dengan langit berwarna kebiruan. Udara juga terasa sejuk dan membuat Jasmine merasa nyaman.

Bahkan dia sudah melupakan kekesalannya pada cowok yang hampir membuatnya muak dengan tingkah random cowok itu semalam.

Jasmine berjalan ke arah kaca untuk melihat penampilannya pagi ini. Rambut lurusnya dia catok agar sedikit bergelombang. Dia menyemprotkan parfum dengan aroma yang menyegarkan ke area tubuhnya terutama bagian leher dan pergelangan tangan. Setelah itu dia menyambar tas lalu turun ke lantai bawah untuk sarapan.

"Pagi Pa, Bun," sapa Jasmine yang baru saja memasuki ruang makan pada papa dan bundanya yang tengah sarapan.

"Pagi juga, Kakak," jawab Papa Abram dan Bunda Rosalin.

Jasmine duduk di kursi dan mengambil sepiring nasi goreng yang sudah di siapkan bundanya. "Alta mana? Nggak ikut sarapan?"

"Sebentar, Bunda panggil adik kamu dulu." Bunda mengelus pucuk kepala Jasmine. "Kamu makan duluan aja, Kak."

Jasmine mengangguk seraya mendudukkan di kursi.

"Kamu nyaman kan, Nak, di sekolah baru kamu?" tanya Papa Abram. Pria paruh baya itu melipat koran yang sedari tadi dibacanya dan menaruhnya di samping kanan segelas kopi hitam dengan sepiring nasi goreng di sisi kirinya.

"Nyaman kok, Pa." Jasmine menyungingkan senyum manis. "Makasih Pa. Kalau nggak ada Papa, Jasmine nggak tahu lagi harus gimana."

Papa Abram ikut mengulas senyum. Tangan kirinya mengusap kepala Jasmine dengan lembut. "Papa akan usahakan apa pun untuk kebahagiaan keluarga kecil Papa."

Jasmine mengangguk. Kemudian pandangannya teralih ke Altair yang baru saja memasuki ruang makan bersamaan dengan bundanya yang terdengar sedang mengomel.

"Pagi Kak Je, Pa." Altair berjalan malas ke arah meja makan. Dia terlihat masih menahan kantuk akibat begadang semalaman. Bahkan kancing seragamnya belum terkancing dengan benar.

"Alta, tuh, Pa. Susah banget dibilangin buat nggak begadang! Kalo nggak bunda bangunin, pasti dia masih tidur di kasur!" Bunda Rosalin mengomel. Tapi tak urung dia mengambilkan secentong nasi goreng dan segelas susu untuk Altair.

"Altair. Kalau besok Papa lihat kamu masih sering begadang buat hal yang nggak penting. Papa sita ponsel kamu," tegas Papa Abram. "Atau kamu mau uang bulanan kamu Papa potong setengah?"

"Iya, Pa. Ampun. Nggak lagi-lagi, deh," jawab  Altair. Anak laki-laki yang baru menduduki kelas 3 SMP itu memberengut masam. Mata yang tadinya sayu langsung terlihat segar.

Jasmine sudah selesai memakan nasi goreng buatan bundanya. Dia bangkit dari duduknya kemudian menyalami kedua orang tuanya. "Jasmine berangkat dulu, ya, Bun, Yah, Al."

"Oh iya, Papa lupa bilang. Hari ini kamu pakai motor punya Abang kamu, ya?" kata Papa Abram. Abang yang dimaksud adalah kakak tiri Jasmineㅡanak pertama Abram dengan mantan istrinya.

Jasmine mengerutkan alisnya. "Bang Rey emang pulang ke rumah? Kapan?"

"Subuh pagi tadi dia pulang. Mobil kamu dibawa. Terus kata abang, kamu bebas mau naik motor Abang yang mana aja boleh," jelas Bunda Rosalin.

Eh? Gimana, gimana?

"Mau pakai si Putih, si Merah, si Imel, si Amel, si Tosca, atau si-siapalah itu. Papa aja sampe nggak hafal nama motor abang kamu," kata Papa Abram sambil berdecak heran.

Jasmine berdecak dalam hati. Dia mengerjapkan kelopak matanya sambil berpikir. Dia sedikit merasa khawatir. Sebenarnya dia bisa naik motor. Dia juga sudah mempunyai SIM untuk itu.

Tapi masalahnya adalah, pertama, motor milik abangnya itu Vespa klasik semua. Terdapat tujuh buah Vespa dari berbagai model dan merk di garasi dan itu semua milik abangnya.

Kedua ... harga. Harga satu motor milik abangnya itu bisa bikin Jasmine sampai geleng-geleng kepala. Jadi, Jasmine sedikit merasa takut kalau dia tidak sengaja merusak anak-anak abangnya.

Bunda Rosalin menatap Jasmine yang masih memasang wajah bimbang. "Nggak apa-apa kan, Kak?"

"Kakak nggak usah khawatir. Kalau kenapa-napa sama motor kesayangan abang, ya, biarin aja. Abang mana berani marah-marah sama Kakak." Altair ikut menimpali sambil terkekeh geli.

Altair tahu, Abangnya itu paling tidak bisa kalau disuruh marah pada Jasmine. Mungkin karena dia anak perempuan satu-satunya di keluarga Nabastala.

Akhirnya Jasmine mengangguk pasrah. "Oke."

Lagipula, jika dia ikut nebeng mobil bersama papanya dan Altair, pasti akan lebih tidak mungkin lagi untuknya atau untuk Altair karena pasti salah satunya akan terlambat datang ke sekolah. Sekolah Altair dan kantor papanya berlawan arah dengan SMA Duaja Wijaya.

Jadi apa boleh buat.

Jasmine mengambil salah kunci dengan bandul bertuliskan si Merah  yang tergantung berjejer di dalam lemari. Agar nyaman mengendarai, tidak lupa dia mengganti roknya dengan celana panjang berbahan jin berwarna hitam agar pahanya aman dan tidak terekspos akibat rok lipit yang panjangnya hanya sebatas lutut.

Sesudah itu dia pergi menuju garasi, memakai masker di wajahnya agar terhindar debu jalanan kemudian memakai  helm yang tergeletak di atas jok kemudian melajukan Vespa berwarna merah kesayangan abangnya menuju ke sekolah.

Tapi di tengah perjalanan, dia melihat seorang remaja laki-laki tiba-tiba merentangkan kedua tangannya dan berjalan menuju jalan untuk mencegat dirinya. Terlihat sebuah helm menggantung di pergelangan tangan kirinya dan sebuah motor yang terparkir sembarangan tidak jauh dari tempat lelaki itu berdiri.

Apa-apaan! Tidakkah remaja laki-laki itu menyadari bahwa baru saja dia melakukan tindakan berbahaya?

Jasmine berdecak kesal. Mau tidak mau dia menghentikan motornya di pinggir jalan beraspal yang untungnya sedang sepi, karena letaknya masih di tengah kawasan perumahan.

Jasmine masih diam di atas motor Vespa milik abangnya. Matanya menatap lekat remaja laki-laki yang tengah berjalan menghampirinya. Dia baru menyadari bahwa remaja lelaki itu mengenakan seragam yang sama seperti dirinya.

"Lo dari SMA DW, kan?" tanya remaja laki-laki itu saat tiba di depannya. Dia meneliti seragam yang Jasmine kenakan. Tidak salah lagi. Remaja laki-laki itu bersorak dalam hati.

Jasmine mengangguk cuek. "Iya. Kenapa?"

Remaja laki-laki itu menggaruk rambutnya. "Eng, gue boleh nebeng gak? Motor gue mogok."

Jasmine melihat tanda nama yang terbordir di bagian kiri seragam remaja laki-laki itu.

Arcello Pradana.

Arcello.

Cello?

Oh. Mantan ketua OSIS SMA Duaja Wijaya.

Jasmine mengembuskan napasnya pelan. "Gak bisa. Motor gue gak muat dua orang."

Cello melirik jam tangan berwarna hitam yang melingkar di tangan kirinya. "Bolehin, please. 20 menit lagi masuk, nih."

"Order Goojek, kan, bisa?"

"Gue nggak punya aplikasinya." Cello menggaruk pelipisnya. Tiba-tiba mata Cello menatap si Merah yang dikendarai Jasmine. Maniknya jadi berkilat kagum. "Omong-omong, motor lo keren juga, hehe." kata Cello sambil tertawa garing.

Kenapa Cello jadi salfok sama motornya? Jasmine menggerutu dalam hati. Kenapa di pagi hari yang cerah ini dia dihadapkan pada situasi yang menyebalkan seperti ini. Benar-benar merusak suasana hatinya.

"Motor lo mau ditinggal gitu aja?"

"Gampang! Nanti ada orang rumah yang ambil."

"Jok belakang gue sempit." Jasmine masih mencoba mencari alasan untuk menolak.

"Gak masalah. Lagian, itu masih bisa buat bonceng, kok." Cello masih membujuk. "Atau, mau gue aja yang boncengin elo?"

Cello mengukir senyum tipis melihat wajah kaku Jasmine.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!