Icha membawa papanya duduk di kursi, pak Heri tertunduk malu di depan putrinya.
“Icha, aku memang tidak pantas di panggil Papa. Tapi, dari hati yang paling dalam, Papa meminta maaf kepadamu Nak. Papa sangat menyesal,” tutur pak Heri tak terasa air matanya menetes.
“Sungguh Papa sangat menyesal. Papa khilaf,” tambah pak Heri lagi.
Masih dengan menunduk tidak berani menatap putrinya.
“Pah...” panggil Icha lembut mengambil tangan Papanya.
Pak Heri mendongakkan kepalanya menghadap sang putri.
“Sebelum Papa meminta maaf, Icha sudah lebih dulu memaafkan Papa. Icha tidak pernah menaruh dendam Pa,” ujar Icha lembut menatap Papanya.
“Maafkan Icha juga, Pa. Karena dulu tidak mendengarkan ucapan Papa,” tambahnya lagi.
Tanpa menunggu lagi, sang Papa memeluk putrinya.
Icha kembali meneteskan air mata, karena sudah beberapa tahun tidak pernah di peluk oleh Papanya sendiri.
“Maafkan Papa nak! Papa sudah banyak dosa kepada Icha,” ujar pak Heri masih memeluk putrinya.
Tanpa mereka sadari Bu Sintya melihat mereka dari dalam kamar, melihat mereka saling berpelukan. Ia juga meneteskan air, melihat suami dan putrinya kembali seperti dulu.
“Sayang... kita pulang ke rumah kita lagi ya,” ajak papanya.
Icha hanya diam.
“Papa mengerti. Papa akan bicara dengan Mama dan juga Abang Dika,” ujarnya lagi.
Pak Heri mengerti, karena Icha tidak mungkin pulang ke rumah tanpa Abang dan Mamanya.
Icha mengangguk tersenyum, pak Heri mengusap air mata yang masih tersisa di pipinya. Namun, netranya tertuju pada sudut bibir yang memerah akan tetapi sudah sedikit memudar.
“Maafkan Papa nak, sudah menamparmu!” lirihnya lagi merasa sangat bersalah.
“Pa, jangan meminta maaf lagi. Icha sudah melupakan semua itu,” sahut Icha.
Pak Heri mengangguk, ia melihat sekeliling rumah yang sederhana. Namun, ia juga mencari seseorang yang tidak terlihat sejak ia masuk ke dalam rumah.
“Papa mencari Mama?” tanya Icha melihat papanya seperti mencari sesuatu.
Pak Heri mengangguk pelan, sedikit malu karena ketahuan oleh putrinya sendiri.
“Mama ada di kamar,” ujar Icha menunjuk pintu kamar yang tertutup.
“Boleh Papa menemuinya?” tanyanya meminta izin terlebih dahulu.
Icha mengangguk tersenyum.
Setelah mendapat izin dari putrinya, pak Heri beranjak dari tempat duduknya melangkah menuju pintu tersebut.
Icha melihat papanya yang sedikit ragu untuk masuk ke dalam kamar.
Ceklek!
Akhirnya memberanikan diri untuk menemui istrinya.
Terlihat istrinya sedang duduk di tepi kasur, sambil bermain dengan ponselnya.
“Ma...” panggilnya.
Bu Sintya hanya melirik sekilas, lalu kembali ke layar ponselnya lagi.
“Mama masih marah?” tanyanya masih berdiri di ambang pintu.
Bu Sintya hanya diam, tanpa berniat menjawab pertanyaan sang suami.
“Mama kok diam saja. Mama masih marah?” tanyanya lagi.
Ia melangkah maju. Tapi, ia lebih dulu menutup pintu kamar tersebut.
Ia memberanikan diri mendekati istrinya, yang sejak tadi bermain ponsel tanpa memedulikan dirinya.
“Ma...” panggilnya lagi menyentuh bahu istrinya.
Bu Sintya menghela napas kasar, meletakkan ponselnya dengan kasar di nakas.
“Untuk apa mas datang kemari?” tanya Bu Sintya menatapnya.
“Aku datang untuk meminta maaf kepada kalian, aku suami yang egois. Aku minta maaf,” ujarnya Kembali menunduk di hadapan istrinya.
“Seharusnya tidak perlu kemari!” ketus istrinya.
“Maaf,” lirih pak Heri.
“Pulanglah, mas sudah meminta maaf, bukan? Sekarang kembalilah pulang,” ujar Bu Sintya.
Pak Heri menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?!” tanya Bu Sintya sedikit ketus melihat suaminya yang menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak akan pulang , jika tidak bersama kalian.”
“Aku tidak mau!” tolak Bu Sintya.
“Sayang. Aku mau berubah, beri aku kesempatan lagi. Aku mohon, jangan seperti ini!”
Bu Sintya masih terdiam.
“Sayang, apa kamu tidak mencintaiku lagi?” tanya pak Heri.
Lagi-lagi Bu Sintya masih betah dengan diamnya, sambil melipat tangannya dan memandang ke arah lain.
“Sayang...” panggilnya lagi.
“Kamu tidak ingin memberiku kesempatan lagi? Aku sungguh ingin berubah,” lirihnya.
Terlihat Bu Sintya menghela napas berat.
“Baiklah. Aku tidak memaksa, jika kamu tidak memberi kesempatan kepadaku. Aku besok akan mendaftar perceraian kita besok,” ujarnya pasrah berbalik badan ingin keluar kamar.
Bu Sintya membulatkan matanya, mendengar tutur suaminya tersebut.
“Tunggu,” ujar Bu Sintya melihat suaminya hendak membuka pintu.
Pak Heri kembali membalikkan badannya menghadap istrinya yang juga menatapnya.
“Aku akan memberi kesempatan untukmu, mas. Ini demi anak-anak kita,” ujarnya.
Mendengar ucapan istrinya, pak Heri langsung bernapas lega.
Ia menghampiri istrinya dan langsung memeluknya.
“Maafkan aku sayang. Terima kasih sudah memberiku kesempatan,” bisiknya.
Bu Sintya membalas pelukannya suaminya, dirinya memang masih mencintai suaminya. Namun, kejadian beberapa hari lalu membuatnya sangat kecewa terhadap suaminya.
“Kita pulang ke rumah ya. Ajak anak kita berkumpul kembali,” ujarnya menatap istrinya.
“Aku bisa membujuk Icha untuk pulang, tapi aku tidak menjamin dengan Abang.”
“Iya. Wajar jika dia marah kepadaku, dia sudah benar. Dika hanya ingin melindungi adiknya dan juga Mama. Aku akan mencoba berbicara dengannya,” Ujar pak Heri.
Bu Sintya mengangguk.
“Aku akan ke kamarnya,” Ujar pak Heri lagi.
Ia melangkah keluar kamar dan masuk ke kamar sebelahnya yang ternyata tidak di kunci.
Terlihat Dika masih sibuk dengan laptopnya, ia mendengar ada yang membuka pintu. Ia hanya melirik sekilas melihat siapa yang membuka pintu lalu kembali dengan laptopnya.
“Abang masih sibuk? Apa boleh Papa masuk ke dalam?” tanya Dika.
Dika tidak menjawab.
Walaupun tanpa persetujuan putranya, ia tetap masuk mendekatinya.
“Ada apa lagi Papa datang kemari?” tanyanya tanpa melihat papanya yang berdiri di sampingnya.
“Dika. Papa ingin meminta maaf, Papa sangat menyesal dengan perbuatan Papa kemarin.”
“Jangan meminta maaf kepadaku, Pa. Seharusnya kepada Icha dan Mama!” serunya.
“Papa sudah meminta maaf kepada mereka. Papa...”
“Kalau begitu, kenapa datang kemari?!” tanya Dika.
“Pulang lah Nak. Papa ingin berkumpul bersama kalian di rumah,” ajak pak Heri lembut.
“Aku tidak bisa, Pa. Dika sudah nyaman di rumah ini,” sahut Dika cepat.
“Apa Abang belum memaafkan Papa?” tanyanya kepada putranya.
Terlihat Dika berkali-kali menghela napasnya.
“Abang sudah katakan, Papa tidak punya salah sama Dika. Jadi, tidak ada yang perlu di maafkan,” pungkas Dika.
Pak Heri terdiam.
“Baiklah, Papa minta maaf sekali lagi sama Abang. Walaupun Papa tidak punya salah kepadamu,” Ujarnya.
“Papa permisi,” pamit pak Heri.
Melihat papanya sudah keluar kamar, Dika menghentikan pekerjaannya lalu bersandar di bahu kursi sambil menghela napas berat.
Saat keluar kamar putranya, istrinya sudah menunggu di ruang tamu.
Melihat istrinya menatapnya, seakan meminta penjelasan.
Pak Heri menggelengkan kepalanya pelan.
“Biar Icha yang akan bicara dengan Abang,” usul Icha.
Icha yang baru saja datang dari dapur, memasak makanan untuk makan malam mereka.
“Icha, Wajar jika Abang marah Nak. Papa sudah membuat Abangnya kecewa, Papa pantas menerima itu semua.”
“Papa jangan bicara seperti itu. Biar Icha mencoba membujuk, Abang.”
Bu Sintya mengangguk, setuju dengan ucapan Icha.
Lalu pak Heri juga mengangguk.
Icha, membuka pintu kamar milik Abangnya. Terlihat Dika masih duduk bersandar di kursi, terhanyut dengan pikirannya saat ini. Bahkan adiknya masuk pun tidak diketahui olehnya.
“Abang, sedang memikirkan apa?” tanya Icha membuyarkan lamunan abangnya.
“Hah, Icha. Kamu mengagetkanku saja, kapan kamu masuk?”
“Hm... baru saja. Wah, wah, Abang memikirkan apa sih? Sehingga tidak mendengar Icha masuk!” serunya.
Dika tersenyum.
“Tidak ada.”
“Bohong. Abang pasti memikirkan siapa bidadari yang akan menjadi jodoh Abang nanti. Iya kan?” goda Icha.
“Hahaha... kamu bisa saja, dek!”
“Ada apa ke kamar Abang?” tanyanya lembut.
Icha mendekatinya dan duduk di kursi sebelah Dika.
“Papa sudah meminta maaf kepadaku dan juga Mama,” ujarnya.
“Papa sangat menyesal dan ingin berubah,” tambahnya lagi.
“Bagus dong. Lalu?” tanya Dika.
“Bang. Icha ingin kita berkumpul kembali di rumah kita lagi, Icha rindu yang dulu Bang.”
Menatap Abangnya dengan mimik wajah yang terlihat sedih.
“Bagaimana kalau kita kembali pulang Bang?” tanyanya.
Dika hanya diam.
“Demi Icha Bang,” ujarnya menangkup kedua tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Astuty Nuraeni
nyesel kan pak? rasain makannya jangan jahat
2022-12-29
1
👑Gre_rr
terlalu baik km Bu
2022-11-14
0
👑Gre_rr
baru sadar
2022-11-14
0