Siang hari nya, Icha keluar dari kamarnya setelah selesai menjalankan Shalat.
Karena pagi tadi Icha tidak sarapan, membuat perutnya saat ini terasa sakit.
ia melangkah ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat di dekat meja makan. Orang tuanya bercanda di meja makan bersama Anggun kakaknya perempuannya, tampak jelas mereka sangat bahagia.
Netra Icha dan ibunya tidak sengaja saling bertemu, akan tetapi ibunya langsung mengalihkan pandangannya.
Icha melanjutkan langkahnya menuju ke dapur, ia hanya melewati meja makan tersebut.
“Icha,” panggil Anggun.
Icha menoleh ke sumber suara.
“Iya, kak.”
“Mau kemana?” tanya Anggun melihat Icha hanya melewati meja makan tersebut.
“Mau ke dapur,” sahutnya.
“Sini bergabung bersama kami,” Ujar Anggun.
Icha tersenyum hendak melangkah mendekati meja tersebut, akan tetapi ibunya beranjak dari kursi tersebut membuat langkah Icha terhenti.
Hatinya kembali sakit, melihat orang tuanya begitu tidak menyukai kehadirannya, sebelum dirinya datang mereka tampak bercanda bersama di meja makan tersebut.
Namun, ketika dirinya datang sikap ibunya langsung dingin.
Icha menggelengkan kepalanya.
“Ma. Mama mau kemana? Jangan pergi, mah. Mama makan saja, biar Icha yang pergi!” ujar Icha lalu melangkah pergi.
Karena Icha melihat ibunya yang hendak pergi namun belum menyelesaikan makan siang.
Icha kembali melangkah menuju ke dapur, melihat kepergian Icha ibunya menghela napas berat.
“Ma,” panggil Anggun pada ibunya.
“Jangan berkata apapun,” imbuhnya.
Di dapur, Icha duduk di kursi, sambil menghapus air matanya.
“Apa Nona Icha butuh sesuatu?” tanya salah satu pekerja rumahnya.
Icha menghela napas, agar sedikit mengurangi rasa sesak di dadanya.
“Tidak ada Bi,” sahutnya masih dengan suara bergetar.
“Astaghfirullah...” ucap Icha beristighfar dalam hati sebanyak tiga kali.
Ia bahkan berulang kali menghela napasnya.
Dirasa dirinya tenang, ia mengambil piring yang ada di dapur, lalu mengambil nasi dan lauk yang masih tersisa.
Ia mendengar suara canda tawa dari kamar yang pembantu, setelah mengambil makanan Icha bergabung dengan mereka dan makan bersama.
“Ikut bergabung dong!” ujar Icha melihat mereka yang sedang asyik makan bersama.
“Tapi, Nona ini tempat pembantu?!”
“Lalu? Memangnya harus ada batasan antara pembantu dan majikan. Aku bukan majikan kalian,” ujar Icha lembut.
Ia mulai memakan makanannya, sebelum itu ia tidak lupa berdoa. Meskipun duduk di lantai dan makan bersama pekerja rumahnya, ia tidak pernah mempermasalahkan itu.
Di saat sela makan mereka, terdengar Anggun memanggil pembantunya.
“Bi,” panggil Anggun melangkah ke dapur.
“Iya, Nona!” sahutnya.
Pembantu tersebut hendak beranjak, akan tetapi terhenti ketika melihat Anggun ada di depan pintu kamarnya.
“Icha!” panggil Anggun sedikit terkejut melihat adiknya berada di dalam kamar pembantu.
“Iya, kak.”
Icha menghentikan aktivitas makannya dan menatap kakak perempuannya tersebut.
“Kamu kenapa disini?” tanyanya.
“Aku makan kak, ini!” memperlihatkan piring yang menyisakan setengah nasinya.
“Iya, aku lihat kamu sedang makan. Tapi, kenapa disini? Bukankah meja makan luas!”
“Memangnya Icha salah jika makan disini?”
“Ya tentu saja salah! Ini kamar pembantu!” ujar Anggun penuh penekanan.
Icha berdiam sejenak.
“Maksudnya?” tanya Icha yang masih kurang mengerti arah pembicaraan kakaknya.
“Kamu itu bodoh atau bagaimana sih!? Ini kamar pembantu! Tidak seharusnya kamu makan disini, bagaimana kalau Mama dan Papa lihat?”
“Memang ada larangan seorang majikan makan di kamar pembantu? Semua manusia sama kak! Kalau Icha makan di meja, Mama dan Papa pasti akan pergi dari tempat itu! Icha lebih nyaman disini,” ujar Icha masih bernada lembut.
“Kamu memang keras kepala. Wajar jika Mama dan Papa bersikap dingin kepadamu! Semua karena keras kepalamu itu!” bentaknya.
“Bi, Papa minta kopi.”
Setelah mengatakan itu, Anggun pergi dari tempat tersebut, dengan perasan yang masih marah.
“Apa salahku, Bi?” ujar Icha dengan suara yang menahan tangis.
“Sabar Nona. Tuhan tidak memberikan ujian kepada hambanya di luar batas kemampuannya, percayalah! Semua itu akan cepat berlalu, jika Nona Icha selalu bersabar.”
“Iya, Bi.”
Icha menghapus air matanya dan kembali melanjutkan makannya.
Begitupun dengan pembantunya, ia segera menyeduhkan kopi untuk majikannya.
Keluar dari dapur, Anggun memasang wajah kesalnya melangkah sambil menghentakkan kakinya.
“Ada apa?” tanya Bu Sintya melihat putrinya cemberut.
“Icha Ma. Masa makan di kamar pembantu!”
“Oh itu, ku kira ada apa? Kamu ini terlalu berlebihan, memangnya kenapa kalau Icha makan disana?”
“Ih Mama, malu tahu!” celetuk Anggun.
“Malu kenapa?” tanya Bu Sintya menatapnya.
“Anakmu itu jangan terlalu di manja! Lihat akibatnya sekarang, dia sering membantah, tidak mau mendengarkan ucapan orang tuanya lagi! Itu semua karena didikkan mu!” celetuk suaminya menyalahkan istrinya.
“Aku tidak memanjakannya. Apa salah jika Icha makan di kamar pembantu?”
“Sama saja!” kesal suaminya dan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
“Pah, tunggu.”
Anggun berlari kecil mengekori belakang papanya.
Bu Sintya menghela napas kasar, apalagi melihat kedekatan antara Anggun dan papanya.
Sejak kecil Icha selalu di bandingkan dengan Anggun, bahkan perhatian suaminya lebih banyak kepada Anggun dan Dika ketimbang pada Icha.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
seharusnya tidak boleh konsen menghalu... wkwkkk..
surat cinta untuk author ♥
salam rindu buat sang sahabat disana. Alon-alon asal kelakon, tetap semangat berkarya 🌹😘
2022-11-30
1
Nurhayati
org tua yg sllu membanding2kan anak secara tdk sengaja dia sendiri yg merusak mental anaknya
2022-11-22
0
Astuty Nuraeni
Kasian Ica
2022-11-18
0