Di tempat lain, Anggun baru saja keluar dari kamar mandi karena mengeluarkan semua isi perutnya.
Dengan nafas yang naik turun, ia duduk di sofa yang ada di ruangannya.
“Ada apa? Apa kamu sakit?” tanya Papanya melihat wajah putrinya sedikit pucat.
Anggun menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Pa. Mungkin masuk angin, karena Anggun belum sarapan tadi pagi,” sahut Anggun terlihat gugup.
“Oh begitu. Sekarang apa Anggun sudah makan siang, Nak?” tanyanya lagi penuh perhatian kepada putri keduanya tersebut.
“Sudah, Pa.”
“Baiklah, sekarang Anggun pulang saja! Istirahat dirumah,” ujar Papanya lagi.
Anggun mengangguk.
Ceklek!
Pintu terbuka, Dika mengernyit keningnya heran melihat wajah Anggun sedikit pucat.
“Ada apa, Pa? Anggun sakit?” tanya Dika yang membawa tumpukan berkas di tangannya.
“Iya, masuk angin. Karena Anggun tidak sarapan tadi pagi,” sahut papanya memberi pijatan sedikit di putrinya.
“Oh,” sahut Dika singkat.
Dika duduk di kursi kembali fokus membaca berkas yang ada di hadapannya.
“Hanya segitu perhatianmu? Dia adikmu juga, Dika!” imbuhnya.
Dika menghela napas, meletakkan kembali berkas tersebut.
“Ayo, Abang antar pulang. Abang akan memanggil Dokter, untuk memeriksamu!” ujar Dika.
“Hah! Tidak Bang, aku baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat, tidak perlu memanggil Dokter!” ujar Anggun sedikit panik, hingga Dika mengernyit keningnya heran.
“Kenapa? Bukankah kamu sakit?”
“Iya. Tapi sudah merasa baikkan,” sahut Anggun lagi.
“Papa dengar sendirikan. Dika sudah memberi perhatian kepada Anggun, tapi Papa juga bisa kan? Jangan pilih kasih, Icha juga anak perempuan Papa,” ujar Dika karena menyayangkan sikap papanya yang pilih kasih antara Anggun dan Icha.
“Kamu jangan mengajariku? Tahu apa kamu! Icha pantas menerima itu, karena tidak menuruti perintahku!” ujarnya penuh penekanan.
“Baiklah. Jangan menyesal saja nanti, suatu hari nanti Pa! Pungkas Dika berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Papanya menghela nafas kasar.
“Anggun sebaiknya pulang sekarang, ada sopir yang mengantarmu.”
Anggun mengangguk, ia mengambil tas kecilnya dan berlalu pergi meninggalkan papanya sendiri dalam ruangan tersebut.
Didalam lift, tampak Anggun berulang kali menghubungi seseorang. Namun, tak kunjung di angkat.
“Arrghh... sialan! Kenapa sekarang tidak aktif,” kesalnya.
Saat pintu lift terbuka, ia melangkah menuju mobil karena sang sopir juga sudah menunggu di dalam mobil.
“Apa aku ke rumahnya saja,” gumam Anggun dalam hati.
“Pak, biar saya saja yang bawa mobil. Saya mau ke tempat teman saya,” ujar Anggun kepada sopirnya yang sudah duduk di kursi mobilnya.
“Tapi, Nona. Bapak sudah menghubungi saya, saya harus mengantar Nona ke rumah.”
“Astaga, Bagaimana ini?” ujar Anggun dalam hati menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya sudah, kita pulang sekarang.”
Anggun langsung masuk ke dalam mobil.
Di dalam perjalanan, Anggun sibuk dengan pikirannya. Ia merogoh kembali ponsel miliknya yang ada di dalam tas kecilnya.
Ia berusaha kembali menghubungi seseorang, nomor tersebut sudah aktif. Namun, tidak di angkat.
“Angkat dong, please!” gumamnya.
Dan benar saja, tak lama diangkat oleh seseorang. Namun ia mengernyitkan keningnya terdengar suara perempuan dari dalam ponsel tersebut.
“Halo...” sapa seseorang.
“Ha-halo,” ujar Anggun tampak ragu untuk berbicara.
“Ini siapa?” tanya suara perempuan dari dalam ponsel.
“Seharusnya aku yang bertanya, kamu siapa? Kenapa ponsel milik Dino ada bersamamu?”
“Oh ini. Pak Dino sedang meeting, saya sekretarisnya. Beliau menitipkan ponsel miliknya kepada saya,” sahutnya.
Anggun menghela nafas lega.
“Oh sekretaris. Selesai meeting, katakan padanya harus menghubungiku kembali. Ada yang ingin ku katakan, ini sangat penting!” ujar Anggun.
“Iya, Nona.”
Anggun langsung menutup panggilannya, dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tasnya.
Ia bersandar sambil memijat pelipis kepalanya yang terasa pusing.
Tak lama, mereka tiba di halaman rumah besar mereka. Dengan tergesa-gesa Anggun turun dari mobil, karena merasakan guncangan dari dalam perutnya hendak mengeluarkannya lagi.
Ia setengah berlari menutup mulutnya, masuk ke kamarnya.
Bu Sintya baru saja membuka pintu kamar miliknya, karena bersebelahan dengan kamar Anggun.
“Anggun sudah pulang?” tanyanya dalam hati melihat jam dinding masih pukul dua siang.
Bu Sintya masuk ke dalam kamar milik Anggun, mendengar putrinya tersebut mengeluarkan isi perutnya di kamar mandi.
Huweek!
Huweek!
“Kamu sakit sayang?” tanya sang ibu langsung masuk dan memijat pelan belakang Anggun.
“Enggak Ma. Anggun masuk angin,” Ujar Anggun mencuci mulutnya.
“Sekarang kamu istirahat, Mama akan membuatkan teh jahe untukmu,” ujarnya menggandeng bahu putrinya membawanya ke kasur milinya.
“Ma, sekalian bikin kan Anggun roti selai kacangnya Ma,” pinta Anggun.
Bu Sintya mengernyit heran, karena tidak seperti biasanya Anggun minta Roti apalagi selai kacang. Karena Anggun tidak menyukai selai kacang.
Bu Sintya tersenyum, masih berpikir positif.
“Baiklah. Tunggu sebentar,” ujar sang ibu meninggalkan Anggun.
Bu Sintya berjalan ke arah dapur, namun pikirannya entah kemana.
Ia bahkan menabrak pembantu yang sedang menyapu.
Bruuk!
“Aw...” pekik sang pembantu.
Karena Bu Sintya menabraknya, hingga dirinya terjatuh.
“Aduh, maaf Bi. Saya tidak sengaja.”
“Tidak apa-apa Nyonya. Apa perlu saya bantu, Nyonya?” tanyanya melihat majikannya ke dapur.
“Buatkan Anggun teh jahe,” sahut Bu Sintya.
Pembantu tersebut mengangguk.
Sambil menunggu teh jahe tersebut, Bu Sintya mengoleskan roti dengan selai kacang.
Setelah semua selesai, ia membawa roti dan teh jahe tersebut ke dalam kamar. Ia melihat Anggun yang tertidur dalam keadaan meringkuk.
“Sayang, Bangun. Mama sudah membawa rotinya,” ujarnya menggoyang pelan bahu putrinya.
“Hmm! Iya Ma,” sahut Anggun membuka pelan kelopak matanya.
Perlahan Anggun duduk dan bersandar di bahu dipan.
“Ini minumlah jahenya agar perutmu hangat dan ini roti selai kacangnya,” ujar Bu Sintya menyerahkan gelas yang berisi teh jahe tersebut.
Anggun meminumnya beberapa teguk, lalu beralih ke roti yang sangat menggiurkan.
Ia mengambil roti tersebut, yang tergeletak di piring. Lalu menggigit pinggirannya, di luar dugaan, Anggun malah ingin memuntahkannya lagi.
Ia kembali berlari masuk ke kamar mandi dan kembali mengeluarkan isi perutnya. Bu Sintya hanya menatap sang putri yang kembali mengeluarkan isi perutnya.
Huweek!
Huweek!
Cukup lama di kamar mandi, ia kembali dan duduk di tempatnya semula.
“Anggun, jujur sama Mama. Apa kamu hamil?” tanyanya merasa curiga terhadap anaknya tersebut.
“Enggak Ma,” sahut cepat Anggun sambil menggelengkan kepalanya.
“Apa kamu yakin?” tanya Bu Sintya lagi.
Karena menangkap kebohongan dari wajah Anggun.
“I-iya Ma. Sekarang Anggun sedang menstruasi Kok,” sahut berbohong.
Tampak sang ibu menghela nafas lega.
“Baiklah, sekarang kamu istirahat!” ujarnya meninggalkan Anggun yang menatap kepergian ibunya.
Anggun bernafas lega melihat kepergian sang ibu.
🌹🌹🌹
Di tempat lain.
“Kamu...” ujar mereka bersamaan.
“Icha...”
“Diana...”
Ucap mereka bersamaan, mereka saling berpelukan satu sama lain.
“Ekhem...” deham seorang pria yang duduk di kursi memperhatikan mereka.
Mereka melepaskan pelukan satu sama lain.
“Sayang, perkenalkan dia Icha sahabat aku,” ujarnya memperkenalkan Icha pada suaminya.
Pemilik toko tersebut adalah suami dari sahabatnya Icha.
Persahabatan mereka sejak masuk sekolah menengah pertama hingga menengah atas.
Putus komunikasi setelah Icha masuk pesantren. Icha menyatukan kedua tangan sedikit membungkuk.
“Icha, jangan bilang kalau kamu yang melamar pekerjaan disini?” Tanyanya.
Icha mengangguk.
“Iya,” sahutnya Icha tersenyum.
“Wah...” ucapnya antusias.
“Silahkan duduk dulu, kamu harus di interview dulu oleh pak bos,” Ujar Diana menarik kursi untuk sahabatnya.
“Nama kamu siapa?” tanya suaminya Diana.
“Nama saya Marissa,” sahutnya.
“Apa anda pernah bekerja sebelumnya?” tanyanya lagi.
“Belum, Pak.”
“Oke baiklah. Disini tidak banyak peraturan dalam bekerja, cukup rapi, disiplin dan jujur. Karena anda belum pernah bekerja, jadi anda harus training selama dua Minggu. Jika kamu gagal dalam dua Minggu itu, itu tidak di gajih sama sekali. Tapi, jika anda berhasil setelah dua Minggu anda langsung tanda tangan kontrak,” ucap suami dari sahabatnya menjelaskan.
“Bagaimana?” tanyanya.
Icha menatap sahabatnya sejenak, lalu tersenyum melihat Diana mengangguk pelan.
“Insya Allah saya siap,” sahutnya.
“Baiklah, anda bisa mulai bekerja besok.”
“Alhamdullilah. Terima kasih pak,” ujar Icha kembali menyatukan kedua tangannya.
“Iya, sama-sama. Kalian lanjutlah, berbicara. Saya ada urusan sebentar keluar,” ujar pemilik toko tersebut.
“Iya, Pak.”
Setelah melihat kepergian suaminya, Diana kembali memeluk sahabatnya.
“Icha, aku kangen. Setelah kelulusan kita, kamu hilang tanpa kabar.”
“Iya. Aku masuk pesantren, disana ketat! Tidak boleh bermain ponsel, fokus dengan penghafalan. Aku sangat merindukanmu, kemarin aku berusaha menghubungi nomormu, tapi tidak bisa di hubungi.”
“Maaf, Icha. Setelah menikah, aku menggantikan nomor ponselku,” ujar Diana.
“Hhmm. Baiklah, aku bahagia sekarang kamu sudah berkeluarga,” tutur Icha.
“Iya, alhamdullilah. Sebenarnya, kami di jodohkan. Setelah lulus, aku langsung menikah dengannya. Awalnya sangat sulit, seiring berjalannya waktu kami saling jatuh cinta dan sekarang kami sudah mempunyai seorang putra,” tutur Diana.
“Alhamdullilah. Dimana dia?” tanya Icha melihat sekelilingnya.
“Siapa? Suamiku?” tanya Diana bingung.
“Bukan! Putramu?” sahut Icha.
“Oh, sekarang bersama ibu mertuaku. Mereka mengajaknya jalan-jalan,” ujarnya.
“Oh,” Icha mengangguk.
“Padahal aku ingin melihat putramu.”
“Besok aku akan membawanya,” ujar Diana lagi sambil memegang tangan Icha.
“Benarkah?”
“Iya. Insya Allah, jika suamiku mengizinkan.”
Icha tersenyum sambil mengangguk.
Cukup lama mereka berbincang, Diana dan Icha bertukar nomor ponsel. Karena sebelumnya mereka putus komunikasi beberapa tahun lamanya dan di pertemukan kembali di toko buku itu.
Sebelum berpamitan pulang, mereka saling berpelukan bahkan cukup lama dari sebelumnya, karena melepas rindu satu sama lain.
“Besok kita akan bertemu lagi,” ujar Icha berusaha melepaskan pelukan sahabatnya tersebut.
Karena dirinya berjanji kepada ibunya harus kembali ke rumah, sebelum papanya pulang bekerja.
“Iya,” sahut Diana yang tanpa di duga ia meneteskan air matanya.
“Kenapa menangis?” tanya Icha menghapus air mata sahabatnya tersebut.
“Ini air mata kebahagiaan, Karena kita di pertemukan kembali. Aku sempat berpikir jika kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ujar Diana dengan suara paraunya.
“Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku,” ujar Icha sambil menghapus air mata Diana.
Selesai berpelukan melepaskan kerinduan dua sahabat yang beberapa tahun tidak bertemu, tidak kecanggungan di antara dua sahabat ini. Mereka sama seperti sebelumnya, walaupun sudah lama tidak bertemu.
Diana mengantar Icha keluar, sebelum itu Icha berpamitan kepada suami sahabatnya dan berterima kasih sudah menerimanya bekerja. Namun, ia tidak melihat pria yang bernama Fahry, di dalam toko tersebut.
Diana mengantarnya ke depan, tempat dimana motornya terparkir.
“Hati-hati Icha di jalan, jangan ngebut ya.”
Icha mengangguk.
“Assalamualaikum,” ujar Icha memberi salam.
“Waalaikumsalam,” sahut Diana.
Ia melambaikan tangannya kepada sahabatnya tersebut, ia masuk kembali setelah Icha tak terlihat lagi.
Saat masuk ke dalam ruangan tersebut, ia terkejut melihat suaminya yang berdiri sambil menatapnya.
“Ada apa sayang? Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Diana menutup pintu ruangan.
Tanpa di duga, sang suami malah menariknya masuk ke dalam pelukannya.
“Kamu mengabaikanku sejak tadi, kamu lupa jika sekarang kamu sudah bersuami?”
Diana tersenyum, ternyata suaminya cemburu dengan sebahatnya sendiri.
“Iya maaf,” sahut Diana membalas pelukan suaminya.
Terima kasih atas dukungan kalian.🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Astuty Nuraeni
jangan jangan hamidun yak
2022-12-09
0
Inru
Cemburu tanda cinta 😁😁
2022-11-19
0
TK
aku kasih 3 bunga untuk semangat ✍️
2022-11-07
1