Tidak lama mereka tiba di depan toko dimana tempat Icha bekerja, sebelum keluar mobil, Icha mencium punggung tangan Abangnya.
“Icha tunggu.”
Menahan lengan adiknya.
“Ada apa Bang?” tanya Icha.
Dika memperhatikan wajah adiknya tersebut, tepatnya di sudut bibirnya.
“Apa masih sakit?” tanya Dika.
“Sedikit,” sahut Icha.
“Apa sebaiknya tidak masuk bekerja dulu hari ini?” usul Dika.
“Tidak Bang. Icha tidak apa-apa kok, hari ini hari pertama Icha bekerja,” tolak Icha.
“Hm. Baiklah, sore nanti Abang jemput ya. Sekarang, Abang mencari rumah untuk kita tempati,” ujar Dika.
“Iya Bang,” sahut Icha tersenyum.
“Assalamualaikum,” Ujar Icha memberi salam.
“Waalaikumsalam.”
Icha keluar dari mobil, setengah berlari masuk ke toko karena sudah terlambat.
“Jam berapa ini?” tanya bosnya yang melihatnya baru datang.
“Maaf Pak, saya terlambat. Saya...” Ucapannya terhenti.
“Ada apa dengan wajahmu?” sela bosnya melihat sudut bibir Icha yang sedikit membiru.
“Ini, saya jatuh di kamar mandi,” sahutnya terpaksa berbohong.
Karena tidak mungkin baginya, menceritakan aib keluarganya kepada orang yang baru ia kenal. Bahkan kepada Diana sahabatnya sekalipun, Icha sedikit tertutup tentang masalah keluarganya.
“Baiklah, lain kali jangan terlambat lagi. Untuk hari ini saya maafkan,” ujarnya berlalu pergi meninggalkan Icha yang mematung.
“Terima kasih Pak,” ujar.
Ia melangkah ke kamar belakang dan meletakan tas kecil miliknya.
“Icha,” panggil Diana sambil membawa putra kecilnya yang berumur satu tahun.
“Iya, Diana. Maaf aku terlambat,” ujarnya.
Namun, netranya langsung beralih kepada anak kecil yang di gendong oleh Diana.
“Diana ini...”
“Iya, dia putra ku.”
“Wajahnya sangat mirip denganmu dan juga putramu tampan sekali,” ujar Icha mengelus pipi gembul bocah tersebut.
“Iya dong. Siapa dulu Mamanya,” sahut Diana terkekeh.
Netra Diana beralih ke sudut bibir Icha yang membiru.
“Icha, ini kenapa?” tanyanya sedikit cemas.
“Oh ini. Ak-aku... Aku terjatuh di kamar mandi,” sahutnya terpaksa kembali berbohong.
“Serius?” Tanya Diana karena menangkap Icha seperti berbohong.
Icha mengangguk.
“Nanti kita bicara lagi ya. Maaf aku terlambat bekerja,” ujar Icha mengalihkan pembicaraannya.
“Iya. Semangat bekerja, aku juga harus pulang.”
“Hati-hati sayang,” ujar Icha mencium tangan putra Diana.
“Iya, Aunty.” Sahut Diana menirukan suara anak kecil.
Mereka tertawa bersama.
Diana berpamitan untuk pulang karena suaminya sudah menunggu di mobil, sedangkan Icha kembali menemui karyawati lainnya yang akan mengajarinya.
Toko buku tersebut buka cabang di beberapa kota dan tempat Icha bekerja adalah pusatnya.
Ia mulai bekerja, membantu menyusun buku. Juga ikut memilih buku yang akan di kirim ke perpustakaan dan juga toko-toko lainnya.
Fahry juga baru datang setelah mengantar ke tempat lain, sejak masuk yang pertama ia lihat adalah Icha yang sedang membersihkan buku-buku yang tersusun rapi agar tidak berdebu.
Fahry kembali melanjutkan pekerjaannya, ia mengambil kardus yang berisi buku yang siap diantarkan lagi.
Sebenarnya ada mobil khusus untuknya mengantar buku, akan tetapi ia lebih memilih motor bututnya untuk mengantar sebab Fahry tidak bisa menyetir mobil.
🌹🌹🌹
Di Cafe.
Anggun duduk termenung sambil menunggu Dino yang tidak kunjung datang.
Hampir satu jam menunggu, hingga membuatnya berdecap kesal.
“Ck... aku sudah sangat bosan! Lama sekali dia datang,” gerutu Anggun dalam hati.
Ia mengambil ponsel miliknya dari dalam tas dan menekan nomor Dino.
Tut! Tut!
Panggilan terhubung.
“Halo, ada apa?” tanya Dino sedikit ketus.
“Kamu dimana? Sudah satu jam aku menunggu disini!” protes Anggun.
“Aku ada di parkiran. Pergilah sekarang ke parkiran, aku menunggumu,” Ujar Dino datar.
“Huftt... baiklah, tunggu.”
Anggun menutup panggilannya dan bergegas membayar minuman yang ia pesan.
Setelah membayar, ia melangkah dengan setengah berlari menuju parkiran. Akan tetapi ia tidak melihat mobil Dino di tempat itu.
Tin! Tin!
Klakson berbunyi, terlihat Dino melambaikan tangannya.
“Oh, ternyata dia memakai mobil baru,” gumam Anggun.
Lalu melangkah menuju mobil tersebut.
“Lama sekali!” gerutu Anggun langsung membuka pintu mobilnya.
“Kita akan ke rumah sakit sekarang,” ujar Dino datar.
“Hah? Kenapa harus ke Dokter?”
“Tentu saja akan memeriksamu, apakah kamu benar hamil atau tidak? Aku tahu wanita sepertimu!” seru Dino.
Anggun termangu mendengar ucapan Dino. Sang kekasih masih berpikir jika Anggun pernah tidur dengan pria lain selain dirinya.
“Aku benaran hamil, Dino! Dan ini adalah anak kamu!” ujarnya penuh penekanan.
“Aku akan percaya jika kamu sudah ke Dokter,” ujar Dino menatapnya tajam.
“Kalau begitu, tidak perlu ke Dokter jika kamu masih meragukan ku. Aku akan menggugurkan bayi ini!” ancam Anggun.
“Berani sekali dirimu!” menggapit kedua pipi Anggun dengan jarinya, hingga Anggun mengaduh kesakitan.
“Aku hanya memastikan!” ujarnya menatap Anggun tajam, lalu melepaskan tangannya.
Dino melaju dengan kecepatan sedang, menuju rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, Anggun mendaftar lebih dulu dan duduk menunggu giliran di panggil.
Tidak ada percakapan diantara mereka sejak tadi, Anggun hanya duduk termenung menunggu namanya di panggil.
Drrttt!
Suara getar ponselnya, melihat di layar ponselnya bertuliskan Papa.
“Papa,” lirihnya.
Ia melihat kiri dan kanan, memastikan jika Papanya tidak ada dirumah sakit itu.
Dino mengerutkan keningnya melihat Anggun, seperti sedang mencari seseorang.
“Ada apa?” tanyanya.
“Tidak,” sahut Anggun singkat.
Lalu beranjak dari duduknya sedikit menjauh dari Dino.
“Halo, Pa.”
Setelah meletakkan benda pipih tersebut di daun telinganya.
“Halo, Anggun. Kamu dimana? Papa tidak melihatmu di kamar,” tanya pak Heri.
“A-aku. Aku sedang di luar, Pa. Di tempat temanku,” sahutnya berbohong.
“Oh begitu. Papa baru pulang dari kantor, cepat lah pulang! Ada yang ingin Papa bicarakan,” ujarnya.
“Mm... sebentar lagi Pa. Anggun baru saja bertemu dengan temanku, aku akan pulang nanti jika kamu sudah bicara. Sebab, temanku baru saja pulang dari luar negeri,” imbuhnya kembali berbohong.
“Baiklah. Kalau sudah selesai cepat kembali.”
“Iya, Pa.”
Anggun menghela napas lega, setelah mengakhiri panggilannya dan kembali duduk di tempat semula.
“Ada apa? Apa itu Papamu yang menghubungimu?” tanyanya.
“Kamu tahu dari mana?” masih bicara ketus dengan Dino.
“Semua orang juga dengar disini, kalau bicara di telepon pelankan suaramu!” ejek Dino.
Anggun hanya melirik sekilas.
“Apa yang kalian bicarakan? Sehingga kamu menjauh!” tanya Dino lagi.
“Papa meminta ku pulang,” sahut Anggun.
“Lalu?”
Belum sempat menjawab ucapan Dino, namanya di panggil oleh petugas untuk masuk ke dalam ruangan.
Anggun dan Dino bersamaan masuk, langsung berbaring di bangsal rumah sakit.
Lalu mengoleskan jell di perut Anggun untuk pelumas, petugas meletakkan alat tersebut di perutnya dan menggerakkannya.
Terlihat dari layar monitor yang ada di depan mereka, terlihat janin yang masih kecil berukuran seperti biji kacang.
“Nah, ini Bapak, ibu. Yang terlihat kecil ini adalah calon bayi kalian, memang belum begitu terlihat karena usia kandungannya masih beberapa Minggu.”
Dino menatap layar monitor itu tanpa berkedip, tanpa ia sadari jika Anggun menatapnya.
Setelah selesai, perawat tersebut membersihkan perut Anggun kembali dengan menggunakan tisu dan menyusul Dino yang lebih dulu duduk di kursi berbicara dengan Dokter.
Langkahnya terhenti ketika mendengar perkataan Dino kepada Dokter.
“Apakah bisa tes DNA saat masih di dalam perut?” tanya Dino kepada Dokter.
Deg!
Anggun kembali terdiam, menatap Dino dengan kemarahan namun ia masih menahan amarahnya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Astuty Nuraeni
kasian dedek bayinya
2022-12-24
0
Hanum Anindya
wow si Dino masih belum percaya kalau itu anaknya
2022-11-06
0