Seminggu sudah berlalu, seminggu juga Icha mulai merasa bosan di rumah.
Bosan dengan keadaan di selalu dihindari oleh orang tuanya sendiri, bahkan saat ini kakaknya Anggun pun sudah jarang berbicara dengannya, semenjak kejadian di dapur beberapa hari yang lalu.
Ia bahkan belum mengerti, kenapa keluarga seperti sangat membencinya.
Icha sempat berpikir, orang tuanya marah bukan karena masalah ia masuk pesantren saja, bahwa ada masalah lain hingga membuat orang tuanya marah kepadanya. Namun, ia segera menepisnya karena tidak ingin berpikir negatif tentang keluarganya.
Icha mengambil buku yang ia beli waktu di depan mesjid beberapa hari yang lalu, itu pun sudah berulang kali ia baca.
Entah kenapa ia teringat tatapan pria itu kepadanya.
“Astagfirullah...” seketika Icha langsung tersadar.
“Aku sangat bosan! Apa aku keluar saja? Aku ingin mencari pekerjaan,” Gumamnya berbicara sendiri.
Ia mencoba menghubungi abangnya, untuk meminta izin. Namun, sudah berapa kali menghubunginya tak kunjung di angkat.
“Mungkin Abang masih sibuk,” gumamnya dalam hati.
“Aku mencoba berbicara dengan Mama saja.”
“Tapi, bagaimana jika Mama dan Papa marah lagi?” tampak ragu untuk meminta izin kepada ibunya.
Icha berpikir sejenak, lalu membulatkan tekadnya untuk meminta izin terlebih dahulu kepada ibunya, apapun risikonya akan ia tanggung.
“Iya, sebaiknya aku akan bicara kepada Mama dulu. Apapun risikonya, ” Ucapnya.
Icha mengambil tas kecil miliknya, lalu membawa berkas lamaran miliknya.
Ia perlahan melangkah ke kamar ibunya, terlihat pintu tersebut terbuka sedikit.
Icha menarik nafas terlebih dahulu, sebelum mengetuk pintu kamar tersebut.
Tok! Tok!
“Masuk,” sahut Bu Sintya.
Icha perlahan membuka pintu kamar tersebut, netra ibu dan dirinya saling bertemu.
“Ada apa?” tanya ibunya datar.
“Ma. Icha pamit keluar, ingin mencari pekerjaan,” lirih Icha.
“Kenapa harus meminta izin? Bukankah Icha selalu mengambil keputusan sendiri, tanpa melibatkan orang tua!” imbuhnya.
“Maafkan Icha, Ma!” lirih Icha.
Bu Sintya sebenarnya sangat ingin memeluk putrinya tersebut, akan tetapi ego nya terlalu besar. Bahkan hingga saat ini ia merasa sangat kesal, karena Icha mendaftar ke pesantren tanpa memberitahu dirinya.
Padahal saat itu dirinya sudah mencari tempat kuliah yang terbaik untuknya dan bahkan sudah mendaftar untuk Icha.
Namun Icha tetap pendiriannya ingin masuk pesantren dan kabur dari rumah.
“Kamu sekarang sudah merasa paling hebat ya. Kau lupa masih punya orang tua?” pekik Bu Sintya masih menatap putrinya yang masih menunduk.
“Sudah jadi apa kamu sekarang? Hah!”
Icha hanya menggelengkan kepalanya.
“Sekali lagi Icha minta maaf Ma. Tapi, Icha dari dulu...”
“Sudah Icha. Mama tidak ingin mendengar penjelasanmu lagi sekarang!” sela ibunya.
Icha terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia perlahan melangkah keluar, dengan perasaan yang tidak karuan.
Melihat putrinya melangkah keluar, ia menghela nafas berat.
“Icha,” panggilnya lagi.
“Apa kamu tidak merindukan Mama?” ujar Bu Sintya akhirnya melemah.
Icha menghentikan langkahnya mendengar tutur sang ibu, ia berbalik badan lalu mengangguk bersamaan dengan air matanya yang mengalir.
Bu Sintya merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum, kali ini ia menurunkan rasa ego demi ingin memeluk putrinya.
“Ma...” lirih Icha langsung berlari menghampiri ibunya dan langsung memeluknya.
Grep!
Pelukan hangat sang ibu yang sangat Icha rindukan setelah lima tahun lamanya.
Bahkan Icha terisak didalam dekapan sang ibu, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya tangisan yang sudah jadi saksi jika ia sangat merindukan ibunya.
“Maafkan Icha, Ma!” ujar Icha masih dengan suara terisak.
“Mama juga minta maaf, sayang.”
Masih memeluk putrinya dengan erat, berulang kali mencium pucuk kepalanya yang tertutup dengan kerudung tersebut.
Cukup lama mereka berpelukan, akhirnya melepas dekapan mereka satu sama lain.
Bu Sintya mengusap air mata yang mengalir di pipi mulus putrinya.
Bu Sintya menarik tangan putrinya menuju ke balkon dan mengajak putrinya duduk di kursi tersebut.
“Bagaimana dengan pesantren Icha? Apa saja yang kamu pelajari di sana?” tanya ibunya lembut.
“Baik Ma. Icha sudah lulus, bahkan setiap bulan Abang menjenguk Icha. Disana kita semua belajar tentang agama, menghafal Al-Qur’an beserta hadistnya.”
“Maafkan Mama yang tidak pernah menjenguk mu, sayang. Mama egois!”
“Tidak Ma. Justru Icha yang egois, tidak mendengarkan apa kata Mama dan Papa,” imbuhnya.
Mereka bercerita cukup lama di balkon, lima tahun lamanya Icha tidak pernah mendengar cerita sang ibu.
“Ma, Icha mau mencari pekerjaan. Apa boleh Icha keluar?” tanya Icha pada ibunya.
“Kenapa tidak ke kantor sama Abang? Abang bisa mengajarimu, bukan?”
Icha menggelengkan kepalanya.
“Icha ingin mandiri Ma. Izinkan Icha mencari pekerjaan sesuai dengan kemampuan Icha,” sahut Icha.
“Baiklah, Mama izinkan. Tapi, Icha harus pulang tepat waktu! Mama tidak Ingin Papa tahu hal ini,” ujarnya memperingati putrinya tersebut.
“Kenapa Ma?” tanya Icha lembut.
“Jangan banyak bertanya! Turuti apa kata Mama, kembali sebelum Papa pulang ke rumah.”
“Iya, Ma!” lirih Icha.
Icha berpamitan kepada ibunya, setelah cukup lama berbincang di balkon.
Tiada lagi hari bahagia baginya selain hari ini, ia bisa memeluk kembali ibunya setelah lima tahun lamanya.
“Assalamualaikum, Ma.”
Icha mencium tangan ibunya, Bu Sintya sempat tercengang karena Icha mencium tangan ketika hendak pergi.
Sangat berbeda dengan Anggun, ia bahkan tidak pernah mencium tangannya.
Saat Icha hendak melangkah keluar, ibunya kembali memanggilnya.
“Icha,” panggilnya.
Icha kembali membalikkan badannya.
“Iya Ma,” sahut Icha.
“Mmm... itu. Apa Icha mau mengajarkan Mama untuk membaca Al-Qur’an?” tanya Bu Sintya tampak ragu.
Icha terdiam sejenak, lalu mengangguk senang.
“Dengan senang hati Icha mengajari, Mama.”
Menghampiri ibunya, kemudian memeluknya kembali.
“Nanti malam, Icha akan mengajari Mama.” Antusias Icha karena sangat bahagia mendengar jika ibunya ingin belajar membaca Al-Qur’an.
Bu Sintya mengangguk sambil tersenyum simpul.
“Baiklah, Icha berangkat dulu ya.”
“Tunggu dulu. Apa kamu yakin? Pergi dengan pakaian seperti ini,” tanya Bu Sintya melihat pakaian Icha yang terlihat memakai pakaian gamis kebesaran dengan jilbab senada.
“Kalau rezeki itu tidak akan tertukar, Ma. Asal kita mau berusaha dan berdoa. Jika usaha tanpa berdoa juga akan sia-sia Ma,” sahut Icha lembut.
Bu Sintya mengangguk mengerti, ia sedikit malu karena Icha lebih tahu tentang agama ketimbang dirinya.
Bahkan pakaian kedua putrinya sungguh berbeda, Icha lebih suka dengan pakaian yang tertutup, sedangkan Anggun lebih suka dengan pakaian yang seksi bahkan terlihat jelas lekuk tubuhnya.
Setelah melihat kepergian putrinya, Bu Sintya menghela napas lega.
Sudah seminggu ia mendengar bahkan mengintip tanpa sepengetahuan orang rumah bahkan Icha sendiri, jika Icha setiap sepertiga malam mengaji. Suara Icha begitu merdu, membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang mendengarkannya pun ikut tersentuh.
Dengan langkah yang penuh semangat, bahkan senyum simpulnya belum sirna dari bibir ranumnya tersebut.
Icha mengeluarkan motornya dari garasi, yang sudah lama ia rindukan. Setelah lima tahun lamanya, ia kembali mengendarai motor itu kembali.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Astuty Nuraeni
Alhamdllh ya Ca mama udah sadar
2022-12-09
0
Astuty Nuraeni
nah gitu dong bu
2022-12-09
0
Astuty Nuraeni
jleb... sakitnyaa
2022-12-09
0