“Apa ini!” bentak papanya memperlihatkan kertas yang sudah kusut akibat cengkeramannya.
“Papa, I-itu...”
“Itu apa? Bicara yang jelas!” bentaknya lagi.
“Pa, Anggun bisa jelas in ini Pa!” ujar Anggun yang tampak gugup.
Kakinya gemetar melangkah mendekati sofa.
“Duduk dulu Pa,” ajak Anggun pelan.
Papanya mendesah kesal, karena sudah merasa di bohongi oleh putrinya sendiri.
Pak Heri duduk di sofa yang berhadapan dengan Anggun, memijit pelipis kepalanya yang terasa pusing.
“Ada apa Mas? Kenapa teriak-teriak?” tanya istrinya yang langsung ke kamar Anggun.
Karena mendengar suara suaminya yang begitu nyaring, hingga terdengar ke rumah tamu.
Suaminya tidak menjawab, masih menatap tajam Anggun sedang yang menunduk tidak berani melihat Papanya.
Bu Sintya melihat kertas di meja yang sudah kusut.
Ia mengambilnya lalu membacanya.
Bu Sintya membulatkan matanya melihat isi kertas putih tersebut.
“Apa ini Anggun?” pertanyaan sang sama seperti suaminya.
“Apa ini?” teriak Bu Sintya melihat wajah putrinya dengan air mata yang mengalir.
Bu Sintya menggoyang kan bahu putrinya.
“Katakan Anggun!” bentaknya lagi.
“Hiks... iya Ma, hiks... hiks... maafkan Anggun Ma.”
Dengan suara bergetar sambil menangis, Anggun meremas ujung bajunya.
Plak!
Suara tamparan keras mengenai pipi kirinya, hingga membuat pipi mulus sedikit Anggun memerah.
“Tega kamu Anggun! Tega kamu memfitnah adik kamu sendiri! Kamu bahkan lantang mengatakan jika Icha yang sedang mengandung, tega kamu!!” teriak Bu Sintya.
“Ma. Hiks... maafkan Anggun Ma.”
“Tega kamu!” ujar Bu Sintya menatap putrinya dengan kemarahan.
“Mulai sekarang aku bukan Ibu mu lagi!” imbuh Bu Sintya hendak melangkah keluar.
Dengan cepat Anggun memegang kaki Mamanya memeluk kakinya.
“Ma, maafkan Anggun Ma. Jangan bicara seperti itu Ma. Hiks... Ma!” masih memeluk kaki ibunya.
“Lepas!” pekik Bu Sintya mencoba melepaskan tangan putrinya.
“Ma, maafkan Anggun Ma.”
Masih memeluk erat kaki Mamanya.
“Lepas!”
Akhirnya Anggun melemah, perlahan melonggarkan tangannya dan membiarkan Mamanya keluar dari kamar tersebut.
Anggun kembali menatap Papanya.
“Pa. Maafkan Anggun Pa,” lirih Anggun.
Pak Heri membuang wajahnya, tak ingin melihat wajah putrinya.
“Anggun menyesal Pa,” Lirih Anggun.
“Papa kecewa. Kamu sudah mencoreng nama baik Papa, kamu sudah mencoreng nama baik keluarga ini!” ujar pak Heri meninggalkan anaknya yang menangis terduduk di lantai masih terisak isak.
“Semua ini karena kamu!” bentaknya.
Anggun memukul perutnya yang masih rata.
Pak Heriyanto melangkah menuju kamarnya, menatap istrinya yang sedang mengemas pakaian ke dalam koper, sesekali ia menghapus air matanya.
“Mama mau kemana?” tanya suaminya menatap istrinya lesu.
Ia merasa sangat bersalah, sudah mengusir putri dan putranya dari rumah. Bahkan ia belum mencari kebenaran dan malah menyalahkan istrinya.
Pak Heri terduduk di lantai, sambil menunduk.
“Aku tidak ingin tinggal lagi di rumah ini!” dengan suara seraknya akibat menangis.
Tanpa peduli dengan suaminya yang duduk di lantai.
“Sayang, aku minta maaf. Aku salah,” ujarnya merasa sangat bersalah.
“Puas kamu mas! Puas kamu sudah menghancurkan putrimu sendiri, ini juga akibat ulahmu!” pekik Bu Sintya.
“Aku minta cerai. Aku tidak ingin hidup denganmu lagi!” bentaknya.
Pak Heri hanya duduk diam, tanpa menjawab perkataan istrinya yang meminta cerai.
Pak Heri tercengang melihat istrinya yang memakai hijab, sama seperti yang di kenakan oleh putrinya Icha.
Sebelumnya, Bu Sintya setiap malam ke kamar Icha untuk belajar mengaji setelah memastikan suaminya tidur. Bahkan saat keluar rumah ia kerap memakai hijab, ketika suaminya tidak ada di rumah ia juga mengulangi membaca ayat Al-Qur’an seperti yang di ajari oleh Icha sebelumnya.
Bu Sintya menggeret koper miliknya, tak peduli dengan suaminya yang masih terduduk karena merasa bersalah.
🌹🌹🌹
Sore harinya, Icha sudah bersiap untuk pulang bekerja.
Sebelumnya ia menghubungi abangnya untuk menjemputnya, saat ini ia menunggu di kursi yang ada di depan toko.
“Assalamualaikum, Icha.”
“Waalaikumsalam,” sahut Icha.
“Apa kamu sedang menunggu seseorang?” tanya Fahry yang memakai helm.
“Iya,” sahut Icha lembut.
“Apa perlu aku mengantar mu?” usul Fahry.
“Terimakasih sebelumnya. Tapi, Abang sudah dalam perjalanan menjemputku” tolak Icha lembut.
Fahry mengangguk.
Tidak lama mobil yang sangat ia kenal berhenti di depan tokonya.
“Maaf, Fahry. Saya pergi duluan, karena Abang sudah menjemput,” pamit Icha.
Fahry mengangguk tersenyum.
Sebelum ia pergi, Fahry membiarkan mobil Icha pergi terlebih dahulu.
Setelah itu dia melajukan motornya, menuju ke kosnya.
Di dalam mobil.
“Siapa?” tanya Dika.
Icha menoleh menghadap Abangnya.
“Maksud Abang?” tanya Icha balik.
“Pria yang bersamamu tadi. Siapa dia?”
“Oh, itu Fahry Bang. Bekerja di tempat yang sama dengan Icha,” sahut Icha.
“Hm... namanya bagus. Sepertinya Fahry menyukaimu,” ujar Dika langsung.
Karena sebelumnya, Dika melihat pria yang berbicara dengan adiknya penuh perhatian, terlihat dari sikap pria tersebut.
Icha hanya tersenyum dan tidak menjawab ucapan Abangnya tersebut.
Saat di tengah perjalanan, ponsel Dika bergetar di saku bajunya.
Ia menepikan mobilnya terlebih dahulu, lalu merogoh ponselnya dari dalam sakunya.
“Mama,” lirihnya.
Melihat Mamanya menghubunginya.
Melihat Abangnya tidak mengangkat panggilan tersebut, Icha melirik ponsel milik Abangnya.
“Mama. Kenapa tidak di angkat Bang?”
Dika menggelengkan kepalanya dan membiarkan ponselnya berkali-kali berdering.
“Bang. Tidak baik menaruh dendam, apalagi Mama adalah orang tua yang mengandung kita selama sembilan bulan. Kita harus menurunkan ego kita, walau sekalipun kita benar.”
Terlihat Dika berkali-kali menghela napas, mendengar ucapan adiknya ia kembali mengambil ponselnya dan menggeser layarnya.
“Halo. Assalamualaikum, Ma.”
Semenjak adiknya pulang dari pesantren, Dika selalu mengucapkan salam menerima telepon ataupun menghubungi seseorang. Bahkan sekarang Dika tidak pernah ketinggalan untuk mengerjakan Shalat lima waktu.
“Waalaikumsalam. Hiks... Abang. Maafkan Mama nak, Mama sempat meragukan Icha. Mama sudah tahu sebenarnya sekarang Nak, hiks...!”
“Mama,” lirih Dika.
Begitu tidak tega mendengar Mamanya menangis.
“Mama sekarang sudah keluar dari rumah. Apa Dika bisa menjemput Mama?” tanya Mamanya masih dengan suara seraknya.
“Mama dimana sekarang?” tanya Dika.
“Mama ada di halte bus,” sahutnya.
“Tunggu disana. Abang akan menjemput Mama,” ujar Dika lalu menutup teleponnya setelah mengucapkan salam.
“Kenapa Bang?” tanya Icha terlihat khawatir.
“Mama sudah mengetahui semuanya dan sekarang Mama pergi dari rumah,” sahutnya kembali mengendarai mobilnya.
“Astagfirullah... ini yang Icha takutkan,” Ujar Icha bersandar di bahu kursi.
“Bagaimana dengan Papa dan kak Anggun? Pasti saat ini kak Anggun tertekan, Bang.”
“Kita akan tanya Mama nanti. Sekarang kita harus menjemput Mama sekarang,” ujar Dika.
Icha mengangguk.
Tak butuh waktu lama, mobil mereka tiba di halte bus tempat Mamanya menunggu.
Terlihat Bu Sintya menghapus air matanya, setelah melihat mobil putranya mendekat.
Icha tersenyum melihat sang Mama memakai hijab, bahkan Dika pun sempat tercengang tidak percaya yang duduk di halte bus itu adalah Mamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Inru
Semangat, Kak.
2022-12-11
1
APIQ
hajar
2022-11-08
0
Gibran
emosi lihat heri ini
2022-11-07
0