Terdengar suara Adzan berkumandang, Icha bergumam dalam selimut.
Dengan malas ia harus duduk, karena harus menunaikan kewajibannya. terlihat Bu Sintya juga Bangun dari tidurnya, karena mereka tidur berdua di kasur yang sama.
“Mama sudah bangun?” ujar Icha melihat mamanya sudah duduk.
“Iya, sayang. Ayo kita Shalat berjamaah,” ajak Bun Sintya kepada anaknya.
Icha tersenyum mengangguk, lalu mereka beranjak dari tempat tidur.
Bu Sintya membangunkan putranya di kamar lain, agar melaksanakan Shalat subuh berjamaah.
Mereka melakukan Shalat berjamaah di ruang tamu, Dika yang menjadi imamnya.
Setelah selesai, Icha dan ibunya berkutat di dapur untuk membuat sarapan pagi.
“Icha sebaiknya mandi saja Nak, biar Mama yang membuatkan sarapan.”
Icha tersenyum lalu mengangguk.
“Terimakasih Ma,” ujarnya memeluk Mamanya dari belakang.
Bu Sintya mengangguk tersenyum, walaupun saat ini ia bersama dengan kedua anaknya. Akan tetapi ia masih memikirkan suami dan putrinya yang ada di rumah.
Ia tidak benar-benar marah, hanya saja kecewa dengan sikap suaminya dan juga Anggun yang ternyata berbohong bahkan tega memfitnah adiknya sendiri.
Mereka sarapan bersama, di ruang tamu. Karena mereka baru pindah ke rumah sewa, hanya memakai peralatan yang seadanya.
Di rumah sewa tersebut, hanya kursi dan tempat tidur di setiap kamar yang di sediakan oleh pemiliknya.
Bu Sintya tampak hanya mengaduk-aduk makanannya, seperti enggan untuk memakannya. Padahal menu sarapan pagi ini nasi goreng kesukaan mereka semua, bahkan rasanya pun tidak terlalu buruk.
“Ma,” panggil Icha menyentuh pundak Bu Sintya.
“Eh iya. Kenapa Nak?” tanyanya sedikit terkejut.
“Mama sedang memikirkan Papa dan kak Anggun ya?” tebak Icha.
Icha sangat mengerti apa yang dipikirkan oleh mamanya saat ini.
“Maafkan Mama nak. Mama sempat meragukanmu, jujur Mama saat ini sangat kecewa,” lirihnya.
“Ma. Kecewa itu manusiawi, tapi jangan sampai berlarut-larut. Tidak baik memendam kekecewaan itu terlalu lama, kak Anggun juga anak Mama.”
Mamanya mengangguk, sedangkan Dika tersenyum mendengar ucapan adiknya yang begitu dewasa.
Bu Sintya memeluk putrinya, begitupun dengan Icha ia membalas pelukan hangat sang ibu.
Seminggu sudah berlalu. Namun, pak Heri belum berani datang menemui istrinya.
Belum ada keberanian menghadapi istri dan kedua anaknya.
Sudah seminggu juga, Anggun mengurung diri di kamar. Setiap hari pembantu di rumah masuk ke kamarnya untuk mengantarkan makanan.
Dino yang berjanji akan bertanggung jawab pun, tidak ada kabar selama seminggu ini. Hingga membuat dirinya semakin terpuruk, apalagi saat ini ia tidak tahu keberadaan Dino.
Sore ini, Icha tidak bisa di jemput oleh Abangnya. Karena baru saja mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan yang cukup ternama.
Karena semenjak kepergiannya dari rumah, Dika memutuskan untuk tidak ingin masuk ke kantor papanya.
Cukup lama Icha menunggu taksi di depan toko tersebut, akan tetapi tidak ada satu pun yang lewat.
“Icha, apa Abang mu tidak menjemput mu?” tanya Fahry yang bersiap ingin pulang.
Namun diurungkannya melihat Icha yang berdiri di pinggir jalan, sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
“Abang banyak pekerjaan,” sahut Icha lembut.
“Oh begitu. Biasa jam sore begini, taksi sudah tidak ada. Jika Icha mengizinkan, aku bisa mengantarmu,” ajak Fahry.
Icha menimang ajakan Fahry yang ingin mengantarnya, bahkan ia masih celingukan melihat taksi.
Akan tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan taksi, ia menghela napas.
“Apa aku tidak merepotkan mu?” tanya Icha dengan hati-hati.
“Insya Allah tidak Ukhti,” tutur Fahry.
Akhirnya Icha mengangguk, karena hari juga sudah mulai gelap. Akan sangat bahaya, jika Icha pulang bersama orang yang tidak ia kenal.
Apalagi di kota tersebut, terkenal dengan kasus kejahatan cukup tinggi khususnya pada kaum hawa.
Icha naik ke motor tersebut, duduk di belakangnya. Icha menyisakan jarak di tengah-tengah mereka, untuk pertama kalinya Icha di bonceng oleh pria yang baru ia kenal.
Fahry mengendarai motor dengan pelan. Karena hari sudah menjelang magrib, bahkan adzan magrib pun sudah berkumandang.
Fahry mengajak Icha Shalat di mesjid yang searah dengan perjalanan mereka.
Icha mengangguk.
Setelah selesai Shalat magrib, Fahry lebih dulu keluar dari masjid ketimbang Icha.
Tidak lama Icha juga keluar dari masjid tersebut.
“Maaf, lama menunggu.”
“Tidak apa-apa. Aku baru saja tiba disini,” sahut Fahry kembali menghidupkan motornya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka, tidak ada percakapan mereka hingga tiba di rumah Icha.
“Terimakasih sudah mengantarku,” ujar Icha memberikan helmnya.
“Sama-sama,” sahut Fahry sambil mengaitkan helmnya di motor miliknya.
Tak lama datang sebuah mobil yang tidak asing baginya, yaitu mobil abangnya Dika.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam...” sahut Icha dan Fahry bersamaan.
Dika keluar dari mobil, melihat Fahry dan Icha juga baru tiba.
“Ada tamu ternyata,” ujar Dika.
“Iya Pak. Maaf saya sudah lancang membonceng adik anda, karena sudah sangat sore tidak ada taksi yang melintas,” ujar Fahry menjelaskan.
Dika tersenyum menepuk pundak Fahry pelan.
“Jangan terlalu formal, panggil aku Dika saja. Terimakasih sudah mengantar adikku ke rumah,” ujar Dika tersenyum.
“Sama-sama,” sahutnya.
“Icha, kenapa tamu tidak di bawa masuk? Ayo kita masuk dulu,” ajak Dika.
Namun, Fahry menolak sebab ia harus segera pulang.
“Maaf, Dika. Saya harus pulang, berhubung malam ini malam Jumat, banyak anak-anak di masjid menunggu saya untuk belajar mengaji bersama,” tolak Fahry dengan sopan.
Dika tersenyum.
“Baiklah. Lain kali kamu harus mampir ke rumah kami,” ujar Dika.
Rumah sederhana yang Dika sewa, walaupun jauh dari kata mewah mereka menempati rumah tersebut dengan sangat nyaman.
“Insya Allah. Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sahut Dika dan adiknya bersamaan.
“Sekali lagi terima kasih banyak ya Fahry,” ujar Icha.
Fahry tersenyum, lalu mengangguk.
Setelah melihat kepergian Fahry, Icha dan Dika mulai melangkah memasuki rumah.
Namun, di ambang pintu. Langkah mereka terhenti tak kala mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah mereka.
Icha dan Dika berbalik badan. Mereka sangat tahu mobil tersebut, tiada lain adalah Papanya sendiri.
“Papa,” lirih Icha.
Melihat papanya keluar dari mobil, ia menggeserkan tubuhnya ke belakang Abangnya Dika.
Dika menahan tangan adiknya agar tidak bersembunyi.
“Jangan takut,” ujar Dika pelan.
Ia tahu jika Icha masih trauma atas kejadian seminggu lalu.
“Kenapa Papa kesini?!” tanya Dika menatap sang papa yang melangkah mendekati mereka.
Sejenak Dika dan papanya saling berpandangan.
“Dika, izinkan Papa berbicara Nak? Sungguh, Papa sangat menyesal!” ujarnya menundukkan kepala.
Adik kakak tersebut saling menatap, lalu kembali menatap Papanya yang masih berdiri di depan mereka.
“Masuk dulu Pa,” ajak Icha lembut.
Dika lebih dulu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Papanya dan Icha di luar. Memang hingga saat ini dirinya masih kesal terhadap papanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Astuty Nuraeni
seneng bacanya...
2022-12-29
1
👑Gre_rr
kata baku salat bukan shalat kak
2022-11-14
0
Hanum Anindya
kalau aku jadi Icha nggak.mau.maafin ayah lah. ayah pilih kasih😡😡
2022-11-09
0