Minggu pagi yang cerah kembali menyapa seperti biasa. Hanna pun keluar dengan pakaian olahraga dan sepatu kets putih kesayangannya.
Ia lari pagi dengan senang hati. Pikirannya terasa begitu segar melihat pemandangan pagi dan merasakan udara sejuk yang menyegrkan.
"Ah, andai saja setiap hari hanya ada hari minggu. Aku pasti bisa hidup hingga umur ratusan tahun," gumam Hanna.
Setelah merasa cukup, Hanna memutuskan untuk pulang. Namun, langkah ya terhenti ketika melihat Zicho berdiri di depan rumahnya.
"Oh?"
Zicho menoleh sambil tersenyum kepada Hanna. Hanna pun membalas tersenyum.
"Bisa ngobrol sebentar?"
Hanna menimbang-nimbang ajakan Zicho. Zicho pun terlihat begitu mengharapkan Hanna setuju untuk berbicara dengannya.
Hanna mengangguk, "Baiklah."
Zicho langsung tersenyum gembira dan mengajak Hanna menuju sebuah kafe terdekat. Zicho menyuruh Hanna untuk langsung duduk sedang ia pergi memesan minuman.
"Ah, belikan aku milkshake cokelat saja," pinta Hanna yang diangguki Zicho dengan senyuman.
Tak berapa lama, Zicho kembali dengan membawa sebuah nampan. Zicho yang selalu rapi dengan setelan jadinya membuat Hanna kurang nyaman. Zicho yang menyadari hal itu pun langsung melepas jasnya dan meletakkannya pada sandaran kursi.
"Apa begini lebih baik?"
Hanna mengangguk sambil meminum milkshakenya.
"Ada apa anda ingin bertemu dengan saya?" Tanya Hanna membuka pembicaraan.
"Kalau soal tanggung jawab atas Ezra, saya pastikan akan bertanggung jawab penuh," sambung Hanna.
"Bukan soal itu, aku mau minta maaf atas kejadian di restoran waktu itu. Karin sudah kelewatan padamu," sahut Zicho menyanggah.
"Ah, itu. Tak apa, dia hanya salah paham. Jadi, sebaiknya kita menjaga jarak bukan?" Tanya Hanna santai.
Obrolan Hanna dan Zicho pun terus berlanjut hingga sebuah panggilan mengganggu mereka.
"Tuan muda, Tuan Ezra mengamuk. Katanya ingin bermain bersama tuan muda," ucap seorang pelayan yang sudah kewalahan menghadapi Ezra.
Wajah Zicho langsung berubah dan langsung mematik panggilan.
"Hanna, lain kali aku akan traktir makan siang. Sekarang aku ada urusan dan harus pergi," pamit Zicho dengan terburu-buru.
Hanna hanya mengangguk acuh sambil menikmati milkshakenya yang belum habis. Hanna menikmati hari minggunya sejenak di kafe itu. Namun, Hanna yang merasa gerah ingin segera mandi pun memutuskan untuk pulang. Ketika meletakkan milkshakenya di meja, matanya tertuju pada sebuah dompet yang tergeletak begitu saja di depannya.
Mata Hanna membulat dan langsung meraihnya. Ia berlari berharap bisa mengejar Zicho yang mungkin belum jauh. Sialnya, Zicho sudah pergi dari 10 menit yang lalu. Hanna pun dengan terpaksa membawa dompet itu pulang.
"Ck, merepotkan," gerutu Hanna.
Ia membuang dompet itu kesembarang arah di kamarnya dan langsung pergi mandi.
"Ah, segarnya."
"Tumben jam segini Zahra tidak berisik membangunkanku," ucap Hanna merasa sedikit heran.
Hanna membuka laptop dan mulai mengecek email. Karena tak ada sesuatu yang penting, Hanna pun berselancar menelusuri media sosialnya. Ia mencari apa yang sedang trending di dunia dan juga film apa yang sedang populer.
Ketika sedang asik menjelajah, ia dikagetkan oleh ketukan pintu.
"Hanna! Buka pintunya, kau di rumah bukan?" Teriak Zahra dengan tak sabaran.
"Iya, iya. Sebentar!" Sahut Hanna berteriak tak kalah keras.
"Zahra? Ada apa?" Tanya Hanna ketika melihat Zahra yang dibalik pintu.
"Nih," ucap Zahra menyodorkan sebuah ponsel.
Hanna pun bingung, " Ponsel siapa? Kau memberiku ponsel curian?"
"Oon sekali kau, ini ponselmu. Lihat dengan benar," gerutu Zahra sambil nyelonong masuk ke dalam rumah.
Hanna masih mematung di depan pintu. Kebingungan bagaimana bisa ponselnya ada pada Zahra. Padahal ia tak pergi bersama Zahra kemarin dan kemarin pun ia masih menggunakan ponselnya.
Zahra acuh dan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa milik Hanna.
Setelah tersadar, Hanna langsung menutup pintu dan menyusul Zahra.
"Minggir," ucap Hanna sambil menyuruh Zahra memindahkan kakinya dari sofa.
"Kau dapat ponselku dari mana?" Tanya Hanna memastikan.
Zahra hanya menatap Hanna.
"Tak mungkin, tak mungkin bukan?"
Zahra hanya diam dan terus menatap Hanna.
Mendapati ekspresi Zahra yang begitu Hanna langsung paham dan berteriak frustasi. Dia pasti melihat wallpaper ponselnya.
Foto mobil merah milik Nicholas yang di rusak olehnya itu ia jadikan sebagai wallpaper ponsel. Betapa malunya ia jika Nicholas melihat hal itu.
Zahra tak memedulikan Hanna yang frustasi dan pergi mengambil snack dari dalam kulkas Hanna.
"Kau sudah makan?" Tanya Zahra setelah melihat kulkas Hanna kosong.
"Be-lum," sahut Hanna lemas.
Tanpa aba-aba Zahra langsung mengambil tas Hanna di kamar dan menyeretnya pergi berbelanja.
Hanna tak bertanya apapun, ia masih saja meratapi nasibnya. Entah ia bisa berhadapan dengan bosnya besok pagi atau tidak. Sedang Zahra yang sedang senang tak peduli Hanna sedang frustasi karena ia berencana menghabiskan uang kakaknya untuk berbelanja bersama Hanna.
Meskipun Nicholas bodoh dalam hal cinta, tapi ia adalah pria yang sangat royal dan bertanggungjawab. Ia tak akan membiarkan orang yang ia sayang kelaparan dan kekurangan apapun.
Zahra menyeret Hanna penuh semangat. Sedang Hanna yang diseret hanya menurut tanpa bertanya apa-apa.
"Ayo beli ini. Nanti kita buat sup," ucap Zahra sangat bersemangat.
"Mas, tolong yang ini, ini, ini, ini, ini dan itu."
Zahra tersenyum puas sepanjang berbelanja.
"Hanna, ka suka yang mana? Kau suka buah apa?" Tanya Zahra sambil memilih-milih buah yang masih segar.
"Aku akan makan apapun yang kau belikan," sahut Hanna tak bersemangat.
Setelah berkeliling supermarket selama hampir 2 jam, mereka pun pergi ke kasir. Hanna sangat terkejut karena ternyata mereka belanja sangat banyak barang. Hampir 3 troli penuh.
"Hei! Kau ambil banyak sekali. Kulkasku tak akan muat menampung semua itu," bisik Hanna kepada Zahra.
"Tenang saja, aku sudah membeli kulkas baru untukmu. Sudah kusuruh orang untuk memgirimnya ke rumahmu," sahut Zahra santai.
Hanna melongo melihat Zahra dengan mudahnya menghamburkan uang.
Setelah kasir selesai menghitung belanjaan, Zahra langsung menyodorkan sebuah kartu hitam. Zahra juga memanggil beberapa security untuk membantu membawa semua belanjaan ke mobil.
"Terima kasih pak," ucap Zahra sambil memberi beberapa lembar uang.
"Hanna, apa ada yang kau butuhkan lagi?" Tanya Zahra yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Hanna.
"Oke, ayo kita pulang," sahut Zahra langsung masuk ke mobil.
Sepanjang perjalanan Zahra hanya fokus menyetir.
"Ra, apa nggak apa-apa kamu habisin uang sebanyak itu? Itu tanggung jawab dan kebutuhanku loh Ra," ucap Hanna membuka obrolan.
"Kenapa emangnya?" Tanya Zahra sambil tetap fokus menyetir.
"Nggak, aku nggak enak aja sama kamu Ra. Masa kamu habisin uang sebanyak itu buat aku," sahut Hanna merasa sangat tak enak.
"Udah, gapapa loh. Aku marah kalau kamu begitu terus," jawab Zahra sambil membuat ekspresi marah.
Hanna pun bungkam melihat ekspresi marah Zahra. Hanna menghela napas berat. Hanna masih merasa berat hati menerima semua belanjaan yang dibelikan Zahra.
Setibanya di rumah, mereka langsung memasukkan belanjaan ke dalam rumah. Ketika mereka hendak menyusun belanjaan itu ke dalam kulkas, mama Zahra menelepon dan meminta Zahra untuk segera pulang.
Dengan berat hati, Zahra meninggalkan Hanna untuk beres-beres sendirian.
"Tak apa, pulanglah. Aku bisa mengurusnya sendiri," ucap Hanna dengan senyuman.
Zahra pun meninggalkan Hanna sendirian.
"Hati-hati di jalan!" Teriak Hanna.
"Iya, masuklah! Di luar dingin!" Sahut Zahra berteriak juga.
Energi Hanna benar-benar sudah terkuras habis dan ia langsung membaringkan tubuhnya di ranjang.
"Aw! Apa ini?" Pekik Hanna merasa ada yang mengganjal di punggungnya.
"Ah, iya. Dompet laki-laki itu. Baiklah, akan aku kembalikan besok," gumam Hanna.
"Oh iya, aku kan tak punya nomornya. Apa aku buka saja? Siapa tau ada kartu nama miliknya," ucap Hanna bimbang.
"Ah, sudahlah aku buka saja. Nanti tinggal minta maaf karena aku lancang membuka dompetnya."
Hanna pun membuka dompet itu dan yang pertama yang ia lihat ada foto seorang bayi yang mengenakan pakaian perempuan yang begitu menggemaskan. Lalu, pandangan Hanna beralih pada kartu nama yang nangkring cantik di salah satu slot kartu.
"Ah, ini dia yang aku cari-cari. Tapi, kenapa bayi perempuan ini terlihat tak asing bagiku?" Ucap Hanna sambil terus memandangi foto bayi itu.
Hanna yang kian penasaran pun mengeluarkan foto tersebut dan ternyata tertulis sebuah nama dibaliknya. "Alexandria Hamilton," gumam Hanna.
Iya, nama bayi perempuan itu Alexandria Hamilton. Adik kandung Zicho Alexander Hamilton yang tak diketahui siapapun kecuali keluarga inti dan para pelayan di keluarga Hamilton.
Hanna menjadi bingung dan bertanya-tanya siapa bayi itu. Ia begitu menarik perhatiannya. Hanna sempat mengira bahwa itu adalah adik Zicho yaitu Karin. Akan tetapi, hal tersebut dipatahkan oleh nama yang tertulis di baliknya.
"Atau ini memang Karin? Mungkin itu nama Karin ketika bayi?" Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Hanna.
"Ah, entahlah. Apa peduliku," gerutu Hanna mulai frustasi.
Hanna yang sudah mengantuk berat pun lupa tujuannya untuk menghubungi Zicho dan terlelap sambil memegang foto bayi perempuan itu. Tidur Hanna yang tadinya nyaman dan nyenyak tampak mulai terganggu. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia juga bergerak gelisah.
Hingga akhirnya, ia terbangun dan langsung menyambar jaket juga kunci motornya. Ia bergegas pergi ke suatu tempat. Malam sunyi yang gelap dibelahnya dengan kecepatan tinggi.
Pikirannya hanya tertuju pada satu tempat di mana ia bisa menemukan jawaban tentang apa yang sedang mengganggunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments