Bab 10

Fajar yang menggelitik membuat Hanna menggeliat. Setelah tersadar, ia meringkuk memeluk kedua kakinya.

Mengingat bahwa dirinya telah dipecat dari kafe membuatnya merasa begitu buruk. Entah nasib sial darimana yang tengah menimpa Hanna.

Akan tetapi, bukan Hanna namanya jika langsung menyerah begitu saja.

"Baiklah Hanna! Jadwalmu hari ini adalah mencari pekerjaan baru. Semangat!" seru Hanna kepada dirinya sendiri.

Hanna pun pergi bersiap-siap. Ia tak mau menyia-nyiakan waktu lagi.

"Sebentar, bukankah ini hari sabtu?" tanya Hanna kepada diri sendiri.

"Astaga! Aku kan harus bekerja di taman bermain anak-anak!"

Hanna lari terburu-buru dan langsung menyambar tasnya yang masih tergeletak di atas kasur.

"Sial! Kenapa aku bisa lupa sih," gerutu Hanna sambil berlari.

Dengan napas terengah-engah, Hanna memasuki gerbang taman bermain.

"Kak Anna!" seru seorang gadis cilik sambil berlari merentangkan kedua tangannya.

Hanna dengan senyum lebar langsung berjongkok menyambut pelukan gadis cilik itu. Mata bersinar gadis cilik itu menjadi penghibur bagi Hanna.

"Sini, biar kakak gendong Ara. Kita masuk yuk!"

"Ayooo!" sahut Ara dengan dengan penuh semangat sambil mengepalkan tangan mungilnya.

Rasa penat dan frustasi Hanna lenyap seketika setelah bertemu Ara. Gadis cilik yang gembul seperti buntalan kapas itu seperti memiliki kekuatan ajaib yang bisa menghilangkan beban pikiran Hanna.

Ketika Hanna memasuki ruang bermain semua anak-anak kompak menghampiri Hanna, "Kak Anna! Ayo ain!".

Hanna langsung menurunkan Ara dan bermain bersama anak-anak yang lain. Hari ini tak begitu banyak anak yang datang, tapi tetap terasa ramai dan menyenangkan.

Di taman bermain, Hanna bisa melupakan sejenak yang menjadi beban pikirannya.

Pekerjaan seperti ini memang lebih melelahkan dari pekerjaan lain, tapi ada hal yang tak bisa didapatkan selain dalam pekerjaan ini. Seperti bermain bersama anak-anak yang begitu menggemaskan.

"Kak Anna, Ezra merebut mainan Ara," ucap Ara sambil sesenggukan menghampiri Hanna.

Melihat Ara yang sesenggukan Hanna sebenarnya ingin tertawa karena ekspresinya sangat menggemaskan. Namun, ia harus profesional. Apalagi ia menghadapi anak kecil yang pastinya lebih sensitif perasaannya dari orang dewasa.

"Ezra! Ayo pulang," ucap seseorang dengan suara maskulin yang begitu kental.

Hanna sontak menoleh dan mendapati seorang pria yang begitu maskulin. Namun, ia terlihat begitu menyebalkan di mata Hanna. Sama persis seperti Nicholas.

'Wait! Apa-apaan ini? Kenapa aku malah memikirkan Nicholas!' batin Hanna.

"Uncle!"

"Ini! Mainan jelekmu aku kembalikan," ucap Ezra sambil menyodorkan mainan kepada Ara dengan kasar.

Melihat Ezra berlaku kasar begitu, pria itu langsung memelototi Ezra.

"Ma-maaf Ara. A-aku bersalah padamu karena sudah merebut mainanmu dan bersikap kasar," ucap Ezra terbata-bata karena takut dengan unclenya.

Ara mengangguk pelan sambil mengusap air matanya.

"Permisi, tolong maafkan sikap Ezra barusan."

Hanna hanya menatap pria itu dengan bingung.

"Ah, saya Zicho Alexander Hamilton. Uclenya Ezra. Salam kenal," ucap Zicho memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

Untuk beberapa saat Hanna melamun mendapati pria di depannya itu tak semenyebalkan yang ia kira.

Zicho beberapa kali melambaikan tangannya di depan wajah Hanna yang tengah melamun.

"Ah, iya. Salam kenal. Saya Hanna Maureen," sahut Hanna dengan cepat setelah sadar.

"Senang berkenalan dengan anda," sahut Zicho.

"Uncle! Ayo pulang," ucap Ezra sambil menarik-narik celana Zicho.

Zicho pun akhirnya pamit dengan Hanna untuk membawa Ezra pulang. Ezra juga berpamitan dengan Hanna dengan memeluknya.

"Anak baik, kedepannya izin dulu ya kalau mau meminjam mainan orang lain," ucap Hanna lembut sambil mengelus punggung Ezra.

Zicho yang melihat Hanna begitu perhatian dan menyayangi keponakannya itu pun menjadi penasaran. Jarang sekali ada wanita seperti itu.

'Wanita ini lain sekali. Selain matanya yang indah, wajahnya yang cantik rupanya ada hati yang begitu baik juga,' batin Zicho.

Ezra pun begitu patuh dengan Hanna. Berbeda ketika dengan Zicho. Ia selalu berontak dan melawan. Zicho benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ezra si pemberontak itu begitu penurut dengan Hanna.

Ezra pun melambaikan tangan dan berlalu menuju mobil bersama Zicho.

"Anak kecil, kau penurut sekali tadi. Kerasukan apa?" tanya Zicho pada Ezra.

"Uncle tidak tahu apa-apa diam saja," sahut Ezra acuh.

Zicho dibuat tak percaya dengan perubahan sikap Ezra sekarang. Ia begitu dingin dan cuek kepada Zicho. Tak seperti tadi ketika di depan Hanna.

Zicho pun melajukan mobil meninggalkan taman bermain. Sedang Hanna masih bermain dengan beberapa anak di ruang bermain.

Satu persatu anak dijemput dan Hanna kembali sendirian. Hanya lembayung senja yang menemani langkahnya.

"Baiklah Hanna, tak apa! Semuanya akan baik-baik saja! Kau hanya perlu berusaha semampumu," gumam Hanna menyemangati diri sendiri.

Sambil menikmati udara sore yang menyenangkan, Hanna membuka ponselnya yang sudah seharian ia diamkan.

Betapa terkejutnya Hanna melihat ada lebih dari 10 kali panggilan tak terjawab juga beberapa chat dari Zahra.

[Hanna, bukankah kau berjanji bermain bersamaku malam ini?]

[Kau di mana?]

[Mau aku jemput?]

[Kenapa tidak membalas?]

[Hanna!]

Hanna langsung berusaha menghubungi Zahra untuk meminta maaf jika ia akan terlambat sekitar 20 menit.

Hanna bergegas menuju halte terdekat. Ia harus cepat sampai di tempat janjian bersama Zahra. Hanna cukup lama menunggu bus datang.

Karena takut Zahra lama menunggu dirinya, Hanna memutuskan untuk naik taksi.

"Akhirnya, sampai juga," lenguh Hanna merasa lega.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!