"A-anu. I-itu," ucap Zahra terbata karena belum menemukan jawaban yang cukup bagus.
Hanna mengerutkan kening menanti jawaban Zahra.
"Ah! Itu, pihak rumah sakit yang meneleponku," ucap Zahra tiba-tiba.
Hanna sedikit terkejut karena nada bicara Zahra yang lebih keras dari biasanya. Meski terkejut, Hanna tetap mengangguk memercayai jawaban Zahra.
Melihat Hanna percaya kepadanya membuat Zahra lega.
Akan tetapi, Zahra yang melihat raut lesu Hanna menjadi khawatir.
"Apa ada yang masih sakit? Mau kupanggilkan dokter?" tanya Zahra khawatir.
Hanna hanya menggeleng tak bertenaga.
"Baiklah, aku mengerti. Kamu istirahat saja. Aku keluar dulu menemui dokter," pamit Zahra.
Lagi-lagi Hanna hanya mengangguk tak bersemangat.
"Rico! Mana informasinya? Kenapa belum masuk ke emailku?" bentak Zahra di telepon.
"Sabar bos, ini... Salahkan sinyalnya. Jelas-jelas aku sudah mengirimnya 30 menit yang lalu," sahut Rico berusaha menyelamatkan diri padahal file itu baru mau ia kirim.
Zahra pun memutus telepon dan menemui dokter yang tadi memeriksa Hanna. Ia ingin tau kondisi Hanna lebih detail dari dokter.
Ia tak akan membiarkan sahabatnya terluka. Terlebih lagi oleh kakaknya sendiri.
"Awas saja kau kak, jika ketahuan melukai Hanna dibelakangku," gerutu Zahra kesal.
Setelah menyusuri lorong rumah sakit yang membosankan akhirnya Zahra menemukan ruangan dokter yang menangani Hanna. Tanpa basa-basi Zahra langsung masuk.
"Dok, saya ingin tau kondisi detail pasien di ruang VVIP nomor 3," ucap Zahra to the point.
Zahra memang tak pandai basa-basi. Jadi, ia selalu berkata to the point. Memang, tak semua bisa nyaman dengan gaya bicara Zahra yang seperti itu. Tapi, Hanna sangat menyukainya karena pembicaraan menjadi lebih efektif dan tidak perlu bertele-tele.
"Ah, pasien atas nama Hanna, betul?"
Zahra hanya mengangguk.
"Tolong jaga agar ia tidak tertekan secara psikologis lagi. Dia memang tak cedera serius, tapi ia sepertinya memiliki trauma psikis yang cukup berat. Jadi tolong jaga dia baik-baik kedepannya," ucap dokter.
"Baik dok, terima kasih. Saya pamit."
Setelah mendengar ucapan dokter, perasaan Zahra membuncah. Ia sangat kesal dan langsung memeriksa email dari Rico. Ia bersumpah dalam hati tak akan memaafkan siapapun yang sudah mencelakai Hanna hingga seperti itu.
[Bos Zahra, pak bos sudah tau tentang informasi ini.]
Satu pesan dari Rico membuat Zahra langsung membaca file yang sudah ada di emailnya.
"Santoso bedebah," ucap Zahra mengepalkan tangan marah.
"Berani-beraninya dia menindas Hanna-ku," lanjut Zahra.
Dengan emosi memuncak, Zahra melangkahkan kaki kembali ke kamar rawat Hanna.
Ia tidak menyangka hidup Hanna begitu sulit sebelumnya. Membuat Zahra merasa bersalah sebagai sahabatnya. Dimana ketika Hanna membutuhkan bantuan malah ia tidak ada di sisi Hanna.
"Hanna, ini aku bawakan makanan untukmu. Kamu pasti kelaparan bukan?" ucap Zahra dengan nada riang.
Zahra tak bisa menanyakan tentang kejadian yang sebenarnya dari Hanna, jadi ia hanya akan merawat Hanna dan berpura-pura tak tahu apapun.
"Wahhh, Zahra memang sangat tau pikiranku," sahut Hanna dengan air liur yang hampir menetes ketika melihat banyak makanan enak tersaji di depan matanya.
Karena makanan yang dibawa Zahra terlalu banyak, ia pun mengajak Zahra makan bersama dengan sebuah senyum lebar yang terpatri di wajahnya, "Ayo, makan bersamaku."
Melihat mata memelas Hanna, Zahra luluh, "Baiklah, baiklah."
Hanna tersenyum bahagia dan melahap makanan seperti vacum cleaner. Zahra yang melihat saja sampai terheran-heran melihat cara Hanna makan.
"Aku berteman dengan manusia atau vacum cleaner sih sebenarnya," gumam Zahra yang masih heran.
"Oh iya Hanna, dokter bilang kau baru bisa pulang besok pagi. Tapi, aku tak bisa menemanimu malam ini. Aku akan mengirim orang untuk berjaga di depan pintu, jika kau butuh sesuatu panggil saja dia ya," ucap Zahra sedekit tak tega meninggalkan Hanna sendirian.
Tak apa, asal ada banyak makanan di sini," sahut Hanna yang hanya peduli tentang makanan saja.
Zahra tersenyum lega mendengar jawaban Hanna.
"Baiklah, aku akan ada urusan sebentar lagi. Aku telepon seseorang dulu untuk menjagamu," ucap Zahra menggenggam sebelah tangan Hanna.
Hanna mengangguk membiarkan Zahra pergi. Meski sebenarnya Hanna masih ingin Zahra menemaninya, tapi ia tak boleh egois meminta orang lain mementingkan dirinya.
Sepeninggal Zahra, suasana menjadi begitu sepi dan sunyi. Hanna pun memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman rumah sakit.
"Ah, udara di taman ini sejuk sekali," gumam Hanna sembari menikmati teduhnya duduk di bawah pohon yang begitu rindang.
Bunga-bunga bermekaran menyebalkan aroma harumnya ke seluruh penjuru taman. Sedang pepohonan hijau nan rindang begitu menyejukkan mata dan pikiran.
Taman rumah sakit yang amat jauh kesannya dengan rumah sakit. Benar-benar bisa membuat pasien merasa lebih baik.
"Nona Hanna, nona harus kembali ke kamar sekarang. Nona bisa sakit juka terlalu lama di luar," ucap salah seorang pria berseragam hitam.
Hanna tentulah sangat terkejut, "Ka-kalian siapa?"
"Kami bodyguard yang diminta untuk menjaga Nona Hanna selama di rumah sakit."
Mendengar jawaban itu, Hanna menjadi lega. Karena postur tubuh mereka yang kekar dan tinggi membuat Hanna sedikit takut tadinya.
"Nona, silahkan duduk. Kami akan mengantar nona ke kamar," ucap salah seorang bodyguard yang sudah siap dengan sebuah kursi roda di tangannya.
Hanna tak menyangka mereka akan berlebihan seperti itu. Tapi, Hanna tak bisa menolak sedikitpun karena mereka mengancam Hanna bahwa bos mereka akan sangat marah nantinya.
Hanna kembali ke kamar membosankan yang sepi.
"Mm, kalian. Boleh tolong belikan aku cemilan?" tanya Hanna kepada bodyguard yang masih di dalam ruangan.
Kedua bodyguard itu saling pandang, "Nona, bos kami sudah menyiapkan semuanya. Cemilan kesukaan nona ada di dalam lemari sebelah kiri nona. Apa nona memerlukan hal lain?"
Hanna menggeleng dan kedua bodyguard itu keluar berjaga di depan pintu ruang rawat Hanna.
Sesekali Hanna melamun mengingat kejadian pagi tadi. Perasaan tertekan karena dipojokkan di depan umum membuat kepala Hanna terasa begitu sakit.
Sekali lagi telinga Hanna berdenging begitu hebat. Namun, Hanna hanya bisa berusaha menahannya.
Dan lagi-lagi Hanna kehilangan kesadaran. Ia terkapar di lantai ruangan yang dingin dan sepi. Kedua bodyguard yang berjaga pun tak menyadari bahwa Hanna pingsan di lantai.
Untunglah, seorang suster yang hendak mengantarkan makan sing untuk Hanna masuk dan melihat Hanna masih pingsan di lantai langsung memanggil bodyguard di depan pintu.
"Nona Hanna!" teriak kedua bodyguard tersebut.
Setelah mereka membaringkan Hanna kembali ke ranjang, mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Zahra dan Nicholas.
Nicholas yang menerima laporan tersebut langsung menelpon salah satu diantara mereka berdua.
"Kalian ini bagaimana sih! Menjaga seorang gadis saja tidak becus! Kalau sudah bosan bekerja bilang," omel Nicholas tanpa ampun.
Bodyguard yang bertugas atas perintah Nicholas tampak sedikit lesu karena diomeli dan gajinya pun terancam melayang.
Namun apalah daya, itu juga kesalahan mereka yang lalai tak memeriksa kedalam ruangan sesekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments