Bab 19

Seminggu bekerja, Hanna merasakan betapa beratnya.

"Ah... akhirnya weekend juga," lenguh Hanna sembari membaringkan tubuhnya di kasur.

Perlahan-lahan kesadaran Hanna terkikis dan terlelap begitu saja. Setelah ia mondar-mandir seharian menuruti perintah Nicholas yang dengan kejamnya menindas dirinya.

Satu hari panjang lainnya berhasil Hanna lewati lagi.

"Nggak mau...! Menjauhlah dariku..."

Gubrakkkkk

"Aduhhh, sakit..." keluh Hanna yang terjatuh dari tempat tidur.

Sambil memegang pinggangnya yang sakit, Hanna berusaha bangun dari lantai. Dengan mata setengah terpejam, ia mencari keberadaan ponselnya.

Setelah ketemu, ia hanya mengecek jam dan kembali bergumul dibawah selimut. Badannya masih merasa lelah dan pegal.

Baru memejamkan mata beberapa detik, ia kembali bangun karena mengingat hari ini akhir pekan. Hanna harus ke taman bermain menjaga anak-anak.

Membayangkan dirinya akan bertemu dengan Ara dan Ezra saja sudah berhasil membuat Hanna lebih bersemangat meski sedang lelah.

"Baiklah! Ayo Hanna, semangat!" ucapnya pada diri sendiri.

"Kak Anna! Ara kangen Kak Anna," teriak gadis kecil yang menyambut kedatangannya.

Dengan senyum lebar Hanna menyambut Ara yang berlari kearahnya. Kebahagiaan seperti ini memiliki tempat tersendiri di hati Hanna yang besar di panti asuhan.

Mengingat masa kecilnya, Hanna jadi rindu dengan pengasuhnya di panti asuhan dulu. Namun, Hanna belum menemukan waktu yang tepat untuk berkunjung. Terlebih, sekarang Hanna sedang magang di ZN Group menjadi asisten CEO yang sangat menyebalkan.

"Ezra kemana? Biasanya main sama Ara kan?" tanya Hanna dengan lembut.

Hanna yang berjongkok menyetarakan tubuh dengan Ara menatap manik mata cerah yang terlihat begitu bahagia. Melihat hal tersebut, Hanna pun ikut bahagia. Kehidupan Hanna yang sulit membuatnya mudah merasa bahagia hanya dengan hal-hal kecil dan sederhana seperti melihat anak-anak yang begitu riang ketika bermain.

"Ezra ada dialam Kak Anna, tadi Ezra beltengkal dengan Iko. Kepalanya beldalah," celoteh Ara sangat lucu.

Hanna yang mendengarkan cerita Ara sudah sangat gemas dengan anak perempuan yang ada di depannya itu.

"Ooh, begitu. Ayo kita lihat Ezra," ajak Hanna langsung menggendong Ara.

Ara pun menunjukkan jalan menuju ruang kesehatan. Karena Ezra tak kunjung mau diobati. Bahkan ada 3 orang yang membujuk Ezra agar mau diobati.

Hanna menurunkan Ara di ambang pintu, sedang dia hanya diam melihat 3 orang yang sedang kewalahan membujuk Ezra.

"Ezra," panggil Hanna lembut.

Ezra menoleh ke arah Hanna dan langsung berlari meminta pelukan kepadanya. Matanya berkaca-kaca ketika melihat Hanna yang ada di ambang pintu.

Hanna pun berlutut sembari membuka lengannya untuk memeluk Ezra.

"Kak Anna, sakit," rengek Ezra sangat manja.

Hanna belum sempat merespon malah Ezra menangis dengan keras. Hal tersebut membuat hati Hanna menghangat. Seolah ada sesuatu yang masuk kedalam hatinya.

"Iya, baiklah. Kak Anna tau. Jadi, sekarang Ezra mau diobati biar cepet sembuh atau dibiarkan sakit?" tanya Hanna yang masih dipeluk Ezra.

"Au ulang," ucap Ezra sesenggukan.

"Iya, nanti Kak Anna antar Ezra pulang. Tapi, Ezra diobati dulu ya yang sakit?"

"Au ulang, Eja au ulang."

Hanna menghela napas dan berdiri dengan menggendong Ezra. Kepala pengurus taman bermain pun datang.

Melihat Ezra yang menangis digendongan Hanna ia bertanya-tanya apa yang terjadi. Sedang Hanna masih berusaha membujuk Ezra agar mau diobati.

Setelah beberapa lama Hanna membujuk Ezra, akhirnya Ezra mau diobati meski ia tak mau turun dari gendongan Hanna. Sembari menggendong Ezra, Hanna meminta tolong agar kepala pengurus menghubungi wali Ezra.

Hanna juga menanyakan alamat rumah Ezra karena Hanna sudah berjanji untuk mengantar Ezra pulang.

"Hanna, katanya Ezra tolong kau antarkan saja."

Hanna mengangguk mengerti dan meminta izin untuk mengantar Ezra pulang.

Hanna langsung memanggil taksi sambil menggendong Ezra. Ezra tampak begitu manja dalam dekapan Hanna.

"Ezra masih sakit?" Tanya Hanna lembut.

Ezra menggeleng pelan, " Eja ngantuk Kak Anna."

Dengan manjanya Ezra tidur dipangkuan Hanna. Taksi pun terus melaju menuju sebuah perumahan elite di tengah kota.

Hanna membelai lembut rambut Ezra. Tak lama kemudian taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah mewah yang sangat luas.

"Terima kasih pak," ucap Hanna.

"Wah... lingkungan orang kaya memang berbeda," gumam Hanna yang terkagum-kagum melihat semua yang ada di depan matanya.

Hanna dengan hati-hati menggendong Ezra. Ia beberapa kali menekan bel dan dibukakan oleh seorang pelayan wanita. Hanna pun dipersilahkan masuk.

"Kau tak pandai mengurus anak-anak ya?"

Hanna langsung mendongak mendapati Karin yang menuruni anak tangga.

"A-anu, tadi Ezra bertengkar dengan temannya."

"Bagaimana ini? Kau harus bertanggung jawab," ucap Karin dengan tatapan meremehkan.

Hanna hanya menunduk diam. Dia harus menahan emosi ya yang hampir meledak karena harus menghargai si empunya rumah.

"Bawa dia ke kamarnya," perintah Karin pada pelayan wanita yang tadi membukakan pintu untuk Hanna.

"Kau akan bertanggung jawab bagaimana? Kau bahkan tak punya uang," ucap Karin semakin merendahkan Hanna.

"Nona, Tuan besar sedang mencari Nona," bisik seorang pelayan kepada Karin.

Karin menghela napas, " Baiklah, hari ini sampai sini saja. Pergilah, aku tak qkan memintamu bertanggung jawab lagi."

Hanna pun membungkuk pamit dan bergegas pergi.

Hanna berjalan kaki keluar dari perumahan itu menuju jalan raya. Ia menunduk lesu mengingat sesuatu yang terasa janggal baginya.

Dibawah teriknya matahari, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di sampingnya.

"Masuklah, kau tak akan dapat taksi di sini. Halte bus juga tak ada," perintah seseorang dari dalam mobil.

Hanna terkejut melihat siapa yang ada di Mobil itu ketika kaca mobil diturunkan.

"Ni-Nicholas?"

Dengan wajah datar Nicholas memalingkan wajah ketika Hanna tahu bahwa itu dirinya.

"Masuklah, aku tak akan mengulang penawaranku dua kali."

Dengan secepat kilat Hanna membuka pintu belakang.

"Apa yang kau lakukan? Kau pikir aku sopirmu?"

"Hah?"

"Kau tuli? Duduk di sampingku," sahut Nicholas geram.

Mungkin dalam hatinya menggerutu karena mempunyai asisten seperti Hanna.

Dengan berat hati Hanna duduk di bangku samping Nicholas. Hanna merasa canggung karena ia berada di mobil bosnya yang pernah ia rusak.

"Ba-bapak juga tinggal di sini?" Tanya Hanna hati-hati.

Nicholas hanya melirik Hanna sekilas. Ia yang tampak datar dan enggan menjawab membuat Hanna tak berharap lebih.

"Apa itu penting untukmu?"

Namun, diluar dugaan. Nicholas pun menjawab dengan balik bertanya.

"Hah?"

"Apa kau tuli? Semua pertanyaanku hanya kau jawab 'hah?'," gerutu Nicholas frustasi.

"Dan satu lagi, aku ini bukan bapakmu. Jadi, berhentilah memanggilku bapak ketika tak di kantor," sambung Nicholas penuh penekanan.

"A-anu, bukankah itu tidak sopan dengan atasan?"

Nicholas menghela napas, sepertinya ia benar-benar tak habis pikir kenapa ia mau merekrut asisten seperti Hanna.

"Ah, sudahlah. Panggil saya Nicholas atau Kak iel saja ketika di luar kantor. Saya tidak suka dibantah," sahut Nicholas.

Hanna hanya mengangguk tak berani bersuara. Meski Nicholas menyebalkan, Hanna merasa senang karena bisa membuat seorang Nicholas frustasi.

"Pa-. Ah, Kak iel. Tolong turunkan aku di taman bermain harapan bunda saja. Aku masih harus bekerja di sana," ucap Hanna masih agak kaku.

"Bekerja? Akhir pekan?"

"Tentu saja, aku masih perlu bertahan hidup dan melunasi hutangku padamu bukan," sahut Hanna.

Nicholas tak bertanya lagi dan hanya mengangguk pelan. Nicholas melajukan mobilnya lebih cepat agar Hanna bisa cepat sampai dan ia tidak kena komplain dari mamanya.

"Terima kasih pak. Eh, Kak iel."

Nicholas hanya mengangguk dan menutup kembali kaca mobilnya. Ia langsung pergi meninggalkan Hanna di depan gerbang taman bermain seorang diri.

Dengan santainya Nicholas menyetir sambil menelepon seseorang.

"Awasi Hanna, aku tidak ingin terjadi sesuatu lagi padanya," perintah Nicholas pada orang di ujung telepon.

Tak lama kemudian ia mendapat panggilan dan menjawabnya sembari menyetir.

"Iya, iya. Iel hampir sampai ma. 30 menit lagi," sahut Nicholas santai.

Mendengar jawaban putranya, ia langsung mengomel, "Apa! 30 menit? Kau dari mana bocah nakal? Jarak rumahmu ke rumah hanya 10 menit."

"Aku habis mengantar seseorang ma, tak usah berpikir aneh-aneh. Aku tutup dulu. Aku harus putar balik," sahut Nicholas langsung mematikan panggilan seenaknya.

Tepat ketika Nicholas melewati taman bermain, ia menurunkan kaca mobil sambil memandangi taman bermain.

"Kucing kecil, kau tak akan kulepaskan," gumam Nicholas.

Ketika Nicholas sedang fokus menyetir ia dikagetkan dengan getaran sebuah ponsel. Ia pun memilih menepi dan mencari sumber bunyi getaran tersebut.

"Halo,"

"Halo? Hei! Kau siapa? Apa kau pencuri? Mana sahabatku? Kau mengganggunya? Jawab aku pria brengsek!" Rentet Zahra yang sudah overthinking mendengar suara laki-laki yang menjawab ponsel Hanna.

Nicholas langsung menjuhkan ponsel dari telinganya sambil melihat siapa yang menelepon. Suara Zahra memang sangat cempreng bahkan bisa membuat orang tuli jika mendengarnya.

"Apa kau bodoh? Kau tak mengenali suara kakakmu sendiri?"

"Eh? Hanna mana? Kenapa kakak yang menjawab panggilanku?"

"Aku habis mengantar sahabat kesayanganmu itu dan ponselnya tertinggal di mobilku. Nanti kau antarkan saja ke rumahnya. Aku sudah terlalu jauh. Nanti singa betina mengomel," ucap Nicholas langsung mematikan panggilan sepihak.

"Di-, ah menyebalkan sekali. Mematikan panggilan seenaknya saja," gerutu Zahra.

"Sudahlah, apa peduliku. Kakak tidak berguna sepertinya tak harus aku pedulikan," sambung Zahra.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!