Just 6

Semenjak since bertemu meet, sad sedih karena because bersama together, bukan not.

...•••...

Ayi kembali melupakan surat tersebut saat sudah pulang sekolah. Bahkan setelah dua hari kemudian, barulah ia benar-benar membacanya. Surat itu memang ditunjukkan untuk Io. Namun, ia menemukan beberapa keanehan. Sepertinya surat tersebut ditujukan untuknya.

Malam itu, meskipun Ayi sudah ngantuk, tapi ia memutuskan untuk membacanya.

Di sana tertulis bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu yang berakibat fatal. Awalnya, Ayi tidak mengerti sama sekali. Selain itu, Ayi sedikit merasa familiar dengan tulisan yang ada pada surat tersebut.

Setelah membaca dua lembar, Ayi menemukan tulisan ‘jangan biarkan dia bunuh diri’ dengan huruf kapital. Siapa yang bunuh diri? Di sana juga tertulis beberapa tanggal dan apa-apa saja yang dilakukan oleh seseorang. Melihat dari tempatnya, itu adalah tempat yang sering ia dan Io datangi.

Semakin ia baca, semakin banyak hal konyol yang Ayi temukan. Ia meyakini bahwa itu adalah kerjaan orang lain atau mungkin Io sendiri. Apalagi matanya yang sudah terasa berat.

Tidak menemukan sesuatu yang menurutnya penting, Ayi membungkus kembali lembaran-lembaran itu sambil kembali menguap, lalu ia memasukkannya pada amplop semula. Hanya tiga lembar awal saja sudah membuatnya bertambah semakin mengantuk.

“Io benar-benar membosankan saat membuat lelucon,” gumamnya. Ayi memutuskan bahwa itu adalah kerjaan Io yang sedang kurang kerjaan. Ia menduga bahwa itu adalah rencana yang akan Io lakukan dan mengirimnya pada dirinya sendiri untuk mengingatkan.

Tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada surata tersebut, Ayi akhirnya jatuh tidur dengan nyenyak.

***

Suara dering telepon terdengar di kamar dengan dinding berwarna abu-abu. Ruangan dengan sebuah poster wanita cantik yang terpampang jelas di sebelah pintu masuk dekat jendela. Di sudut bawahnya, bertuliskan sebuah nama, Taylor Swift.

Alarm yang juga berdering beberapa saat yang lalu, sudah si pemilik kamar matikan.

Ayi mengerjap, membiasakan cahaya menerpa matanya yang setengah terbuka. Ia masih terusik dengan dering teleponnya. Sebuah panggilan. Dengan malas, gadis itu meraih benda yang terus berbunyi itu, lalu mengangkatnya.

“Yi, gue udah depan rumah, nih. Lo udah bangun?” Suara Io terdengar di seberang telepon. Kantuk Ayi hilang tiba-tiba. Dengan sigap ia bangun dan meraih handuknya. Ia tidak ingin diledek Io kali ini. Sebelum ia sampai ke kamarnya, Ayi sepertinya masih sempat mandi kilat.

Di depan sana, Io menunggu. [Udah kok, ini gue baru aja selesai pakai seragam,] sahut Ayi yang terlihat buru-buru.

“Loe ngapain berisik gitu?” tanya Io lagi. Ia kini sudah berjalan menuju pintu depan rumah Ayi.

[Tunggu aja, gue bentar lagi siap, kok. Udah makai seragam juga,[ seru Ayi, lalu memutus panggilan sepihak dan melempar telepon pada tumpukan bajunya. Ia mandi dengan cepat, sebelum Io memanggilnya lagi, atau mungkin tiba-tiba saja mengetuk pintunya. Atau yang lebih parah lagi menarik kakinya dari tempat tidur menuju kamar mandi.

Mengingat itu, kecepatan gerakan Ayi menjadi berlipat ganda.

Di saat yang sama di depan rumah Ayi, Io berdecak saat panggilannya diputus.

“Pasti baru bangun, tuh anak,” decaknya, yang hal itu adalah benar adanya. Io sudah hafal dengan kebiasaan Ayi. Kalau ia ingat-ingat lagi, sudah berapa lama, ya mereka berteman? Walaupun Ayi adalah murid pindahan saat SD dulu, tapi pertemanan mereka bukan hanya berumur seujung jari saja.

Setelah mengetuk, Io membuka pintu rumah Ayi tanpa canggung. “Pagi Om, Tante,” sapanya pada orang tua Ayi yang ada di meja makan. Masuk ke rumah Ayi tanpa disuruh lagi, sudah terbiasa karena Ayi adalah teman bermainnya dari kecil. Io kecil sering dititip ayahnya tinggal rumah Ayi saat bekerja. Ia sudah menganggap rumah Ayi sebagai rumah keduanya. Salah satu tempat ternyamannya.

“Eh, ada Io. Duduk sini, sarapan sama Om,” sapa Mama Ayi, ramah dan mengingatkannya pada ibunya. Apa tadi pagi ia sudah berpamitan, ya?

“Wah, wah. Kebetulan ini tante masak sup jagung muda,” ajak mama Ayi juga. Io sudah mereka anggap seperti anak sendiri semenjak ibunya meninggal sepuluh tahun lalu.

“Wah, pasti Ayi, nih,” seru Io pada Mama Ayi yang sudah memberikannya semangkuk sup yang masih mengepulkan asap. Itu adalah salah satu masakan kesukaan Ayi. Tanpa segan, Io memakannya dengan lahap. Masakan dari ibu sahabatnya juga merupakan salah satu makanan kesukaannya karena sering makan di sana. Io dan Ayi tumbuh dengan memakan masakan yang sama dari orang yang sama.

Wanita itu tersenyum. “Iya, kebetulan kemarin dikasih bahannya sama tetangga sebelah,” jelas Mama Ayi.

“Bukan karena Ayi yang minta kan, Tante?” Tidak aneh jika Io bertanya seperti itu. Mengingat bagaimana sifat Ayi. Anak satu-satunya dari keluarga itu tidak akan segan-segan jika melakukan hal seperti itu.

Dengan tanpa tersinggung, Mama Ayi tertawa. Io tahu tanpa harus diberitahu.

“Ayi selalu begitu. Kemarin dia pulang bawa banyak kelereng. Katanya abis main sama anak tetangga. Setahu tante anak yang dia ajak main itu anaknya cengeng.” Ruang yang tadi sepi, kini sudah dipenuhi dengan tawa dan obrolan.

“Mungkin diancam sama Ayi, Tante.” Io tertawa, masih seperti biasa. Ia hampir saja melupakan niatnya ke rumah itu.

Mereka bertiga mulai mengobrol ringan sambil menunggu Ayi yang sedang berjuang di dalam kamarnya mengejar waktu. Membuat keadaan dan situasi yang tidak akan menyalahkannya karena terlambat bangun. Ia hanya tidak ingin kehilangan muka saat jika nanti Io mengejeknya.

“Kok?” Ayi terlihat berdiri di belakang Io. Ia sudah mengenakan seragam dan membawa tasnya. Wajahnya juga sudah segar tanda bahwa siapa saja yang melihatnya mengira bahwa gadis itu mandi dengan benar.

Kata ‘kok’ yang baru saja ia ucapkan dan dengan menunjukkan ekspresi seperti dicurangi itu sudah bisa Io tahu maksudnya. Ayi tak terima karena ditinggalkan sarapan oleh tiga orang yang dengan riangnya melempar candaan di meja makan.

“Siapa suruh telat bangun, sok-sokan bilang udah pakai seragam segala,” cibir Io, mengejek. Dari awal, ia sudah tahu. Ayi langsung memukul kepala laki-laki itu karena ketahuan berbohong. Ia selalu dibangunkan Io ketika ia datang ke rumah Ayi. Karena itulah, Io selalu meledeknya dengan ....

“Gimana mau dapet pacar, coba.” Seperti itulah yang akan dikatakannya pada Ayi. Ayah dan mamanya hanya terkekeh melihat mereka berdua. Sudah tidak heran lagi dengan perdebatan kecil di pagi hari.

“Hari ini gue yang bawa motor!” tegas Ayi, keputusan sepihak. Wajah Io seketika berubah. Ia tak secerah tadi saat mendengar perkataan Ayi tersebut.

“Nggak!”

“Pokonya gue yang bawa!” balas Ayi, tak mau mengalah.

“Ayi.” Mamanya menegur karena mereka saat ini tengah makan. Ayahnya terlihat menikmati secangkir teh. Ia sudah menghabiskan sarapannya. Ayi hanya mendengus ke arah Io yang menjulurkan lidahnya, kemudian ikut sarapan dengan semangkuk besar sup jagung. Makanan kesukaannya selain es krim.

Setelah selesai sarapan, mereka pergi ke sekolah dengan Ayi yang benar-benar membawa motor Io. Awalnya, mereka sempat berdebat, tapi akhirnya dimenangkan oleh Ayi. Io hanya pasrah saja.

Saat di depan rumah, Ayi membawa pelan. Namun, ketika sudah jauh ia ngebut. Io terpaksa harus berpegangan pada sisi belakang motornya karena Ayi akan mengancam menabrak pohon jika Io ia berani memeluknya. Jiwa laki-lakinya dipertaruhkan dengan ancaman seperti itu.

Ayi gila!

“Lain kali, gue aja yang bonceng lo, Yo,” seloroh Ayi saat mereka sudah sampai di parkiran sekolah. Ia mengendarai motor dengan penuh khidmat. Sangat menikmatinya … sendiri.

“Semoga nggak ada lain kali,” gumam Io pelan, berharap dengan sangat agar tidak ada hari yang seperti ini lagi. Ia akan berumur pendek jika terus menjadi penumpang Ayi.

“Dih! Jadi laki, kok cemen banget, sih!” Ayi yang mendengar langsung mencibir. Io turun dan berlalu tanpa menjawab Ayi. Ada hal yang harus ia lakukan pagi ini.

“Tunggu woi!” seru Ayi, memanggil Io yang sudah beranjak. Apa jangan-jangan sahabatnya itu merajuk? Lalu, nanti dengan siapa ia akan pulang? Ayi lebih takut pulang sendirian dari pada Io yang merajuk.

“Io!” Ayi memanggilnya lagi. Jika memang benar Io merajuk, maka ia dengan terpaksa meminta bantuan Sheila untuk membujuknya.

Sheila? Ya, seorang perempuan yang memiliki hubungan bertema romantis dengan seorang Helio saat ini. Seorang pacar.

“Gue hari ini piket!” kelakar Io, ia mulai menjauh. Ayi akhirnya tersenyum puas. Ia senang saat mengerjai sahabatnya itu. Ayi merapikan rambutnya setelah melepas helm. Ada aroma Io di sana. Bau dari seorang yang selalu ia dapati hampir setiap hari.

Saat Ayi hendak beranjak, ia mendengar sayup-sayup suara di balik pagar yang ada di pinggir lapangan basket yang bersebelahan dengan parkiran. Penasaran, Ayi melangkah menuju suara tersebut, ingin tahu apa yang terjadi.

Selain keinginan, rasa penasaran juga akan membuat seseorang bertekad untuk melakukan suatu hal.

Ketika sampai di sana, ia melihat seorang laki-laki sedang dikerumuni oleh empat orang yang sepertinya berlagak kuasa. Ayi menyimpulkan bahwa ini adalah pembuly-an. Ia harus segera terlibat.

Membantu? Ya, seperti membantu membully mungkin.

Sebuah suara terdengar saat Ayi semakin mendekat. “Kalian yang duluan ngelempar aku pakai bola.” Laki-laki yang tersudutkan itu terlihat membela diri.

“Lo nggak usah nyolot!” Mereka mulai menekan dengan mendorong-dorong tubuh laki-laki itu. Ayi masih memperhatikan mereka dari tempatnya sekarang. Ia menunggu saat yang tepat untuk keluar dari sana. Kali ini, sepertinya ia sudah memutuskan untuk tidak jadi membantu membully.

“Mentang-mentang lo ganteng, terus lo ngerasa bener, gitu?” suara salah satu dari mereka yang menatap remeh. Ayi yang mendengar hal itu menahan tawanya dari balik tembok, sedangkan laki-laki itu terlihat bingung. Apa hubungannya ganteng dan siapa yang salah?

Siapa yang waras di sini?

“Mentang-mentang jelek, terus kalian bisa ngebully yang lebih ganteng dari kalian, gitu?” Ayi tiba-tiba muncul dari balik tembok. Ia sudah berjalan ke arah orang-orang tadi dengan senyum mengejek. Wajah mereka yang menyudutkan laki-laki itu terlihat memerah karena marah. Kata-kata Ayi membuat mereka berang. Dari penampilannya, mereka sepertinya bukan anak dari sekolah Ayi.

“Apa lo bilang?” Laki-laki yang terlihat lebih garang itu menatap Ayi nyalang. Ayi ingin menyahut, tapi ia urungkan.

“Lo ngapain di situ?” tanya Ayi, pada lelaki yang terpojok tadi. Ia tak menghiraukan pertanyaan orang yang melangkah mendekatinya. Di dalam hati, Ayi sebenarnya sudah takut. Namun, ia harus berlagak dulu, kabur kemudian.

“Woi!! Gue ngomong sama lo!” teriak laki-laki yang sempat Ayi acuhkan tadi. Kali ini, ia terlihat semakin murka pada Ayi. Gadis itu takut, tapi masih ia tahan.

“Ka-kamu ... ngapain di sini?” Laki-laki yang ditanya malah balik bertanya. Ia berjalan cepat mendekati Ayi kemudian menarik tangannya, ingin mengajaknya menjauh dari sana.

“Gue tadi lewat, terus nggak sengaja denger ada yang teriak ganteng. Ya ... gue mampir, lah,” ungkap Ayi, dengan senyum mengejek ke arah empat orang yang tampangnya dipenuhi amarah. Salah satu dari mereka terlihat ingin memukulnya. Namun, sebelum ia bisa meraih Ayi, gadis itu berlari dengan menggenggam balik pergelangan tangan lelaki yang ia bela tadi. Suara teriakan mereka masih bisa ia dengar. Mereka berdua sudah menjauh dari sana, dari berandalan tersebut.

“Kalau ada yang ganggu, dilawan dong. Jangan diam aja,” pesan Ayi pada laki-laki itu. Ia melepaskan genggamannya.

“Aku udah ngelawan tadi. Lagian, ‘kan aku juga sendirian,” belanya, ikut melepas genggamannya pada lengan Ayi.

Ayi tidak terlalu memerhatikan siapa lelaki itu. “Terus, kenapa lo bisa terlibat sama mereka?” tanya Ayi, ingin tahu. Ia belum menatap wajah orang yang ditolongnya itu dengan benar.

“Aku tadi lewat ngambil air buat nyiram tanaman, terus mereka minta ambilin bola basket yang padahal nggak jauh dari mereka. Aku nolak, terus mereka marah dan ngelempar bolanya,” terang laki-laki itu lagi. Ayi bisa melihat bajunya yang sedikit kotor. Ia manggut-manggut, tapi matanya berubah arah menatap wajah laki-laki itu. Ia seperti ....

“Eh, tunggu, tunggu.” Ayi memperjelas pandangannya pada wajah laki-laki yang ia pernah merasa lihat di suatu tempat.

“Lo … Yandra, ‘kan?” tanyanya setelah yakin. Ia baru sadar jika laki-laki itu adalah teman sekelasnya yang baru. Hari pertama pertemuan mereka adalah saat hari ia di kelas baru di kelas dua.

“Iya. Kenapa?” sahut Yandra, terlihat bingung. Apa sudah Ayi melupakannya?

Ayi merasa bersalah. “Sorry, gue nggak kenal tadi,” katanya sambil tersenyum canggung.

“Nggak pa-pa,” Yandra memaklumi. Ia sendiri juga tak menyangka jika bertemu dengan gadis itu di sana. Entah mengapa, kali ini ia justru bersyukur.

Mereka berdua terus mengobrol ringan seraya menuju kelas, tanpa menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dari jendela kelas di lantai dua. Seorang yang terlihat mengawasi dengan tatapan yang hanya dirinyalah yang tahu.

To be Continued

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!