Pria tua mencengkeram kemudi, pandangan sesekali terarah pada spion untuk mengintai penghuni kursi belakang. Anak muda berkemeja batik dengan motif burung merak perak yang berlatar biru tua dipadankan dengan celana hitam pekat mengkilap.
“Dia tampan. Seperti melihat diriku di kala muda.” Erlang menyembunyikan senyumannya sesaat melontarkan kekaguman. Mata terus mengamati pria muda yang sedang terlelap tak sadarkan diri.
“Ketampanan dan kenakalannya persis sepertimu dulu, Mas.” Kana ikut menoleh ke belakang. Mengulum senyuman, teringat drama panjang saat Wisely yang setengah sadar saat diminta mengenakan pakaian yang telah disiapkan.
Pakaian yang sudah disimpan bertahun-tahun itu masih tampak baru walau menebarkan aroma kapur barus begitu menyengat. Sudah disemprot dengan parfum mahal hampir separuh botol, tetap saja tak bisa menghilangkan bau khasnya.
“Anak itu tidak berontak?” Erlang kembali membuka obrolan.
Tol Jakarta-Bandung di akhir pekan lumayan ramai lancar. Beberapa titik tersendat, selebihnya bergerak walau hanya merayap. Gumpalan kapas kelabu menggantung rendah di cakrawala, gerimis lokal turun tak menentu.
“Berontak kalau sadar. Sayangnya, dia terlalu lelah. Tak ada tenaga berdebat denganku. Tapi, dia gagah. Aku akui, persis dirimu dua puluh tahun lalu, Mas.” Kana kembali ke posisi semula, mengarahkan pandangan pada pria tua di balik kemudi.
“Tentu saja. Keturunan Hutomo Putra sudah terbukti, Na. Jangan diragukan lagi.” Erlang terkekeh. “Kamu sudah menghubungi Sandy? Katakan kita sedikit terlambat. Jangan membuat mereka menunggu.”
“Sudah, Mas. Di Bandung cuaca tidak bersahabat. Sejak subuh hujan.” Kana berbasa-basi.
“Oh ya?” Erlang kembali mengintip ke arah belakang. Memandang putra semata wayang, digumamkan doa dalam hati. Berharap, doa dan ikhtiar mereka kali ini membuahkan hasil.
Jujur, dia sudah terlampau tua untuk mengejar banyak mimpi yang belum terwujud. Butuh penerus, yang akan mengganti kepemimpinannya. Menggapai berbagai cita-cita yang selama ini masih sebatas wacana.
“Percaya, Mas.” Seakan memahami keresahan sang suami, Kana mengusap tangan yang sedang mencengkeram kemudi. “Selalu berpikir positif, berucap yang baik-baik saja. Ucapan itu doa. Entah hari ini atau lusa, percaya ... pasti dikabulkan.” Senyuman manis wanita tua itu menghempas awan hitam yang sedang menyelubungi mereka.
Anggukan pelan disertai senyuman turut meyakinkan. Sejumput asa hadir bersama mimpi yang selama ini dirangkai dalam diam.
...🍒🍒🍒...
Tiga jam perjalanan, kendaraan yang dikemudi Erlang berbelok ke pelataran sebuah restoran dengan konsep saung terapung. Perasaan pasangan tua itu melega ketika tujuan mereka sudah di depan mata. Bukan sekadar silaturahmi, ada mimpi besar diharapkan dari pertemuan dua keluarga ini.
“Bangunkan anak itu, jangan sampai dia mempermalukanku. Walau keluarga Kang Sandi jauh di bawah kita, tetap saja tak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kekayaan tak lebih baik dari akhlak, harta tak sebanding dengan etika. Mau sehebat apa pun, kalau tidak tahu adat dan sopan santun, tetap saja tak ada yang menaruh hormat.” Erlang melangkah turun setelah berpesan pada istrinya. Andai rencana berjalan lancar, bukan tak mungkin mereka akan berbesan dengan keluarga yang akan ditemui sebentar lagi.
Kana mengangguk. Perasaan membuncah seperti akan bertemu dengan pujaan hati seperti saat remaja. Menyusul turun, dia membangunkan putranya yang mulai terusik dari mimpi.
“Wise, kita sudah sampai.”
“Ini di mana, Ma?” Wisely mengendus ketika kesadaran muncul. Ada aroma tak bersahabat tertangkap indra penciumannya.
“Kita sudah tiba di Bandung.” Berdiri di samping pintu mobil yang terbuka lebar, seringai tak lepas dari wajah Kana.
“Loh? Kapan berangkatnya. Kenapa aku tidak ingat?” Wisely meremas rambut dan membuat penampilannya berantakan.
“Wise, penampilanmu sudah rapi, jadi berantakan lagi. Ke toilet, cuci muka dulu. Nanti susul kami ke dalam,” titah Kana, bergegas masuk menyusul suaminya setelah memastikan keadaan sang putra. Sebelum melangkah pergi, dia masih memastikan Wisely sudah benar-benar terjaga dari mabuk dan kantuk.
Hawa kota Bandung yang dingin menyapa kulit saat Wisely keluar dari mobil. Perasaannya jauh lebih baik setelah tertidur panjang tanpa gangguan. Pusing karena mabuk semalam sudah tak berjejak, kondisinya kembali membaik.
“Pertemuan apa ini?” Kembali mengendus di udara, mencari aroma menyengat di sekitarnya. Dia belum menemukan sumber bau yang mengusik ketenangan sejak tadi. “Bau apa ini? Kenapa strong sekali?” Wisely masih belum menyadari penampilan yang berbeda dari biasa.
Menutup pintu mobil dan berbalik, Wisely tersentak ketika di langkah pertamanya tak sengaja hampir menabrak seseorang. Makhluk feminin yang sedang sibuk dengan ponsel di tangan itu tampak berjalan sembari menunduk.
“Apa-apaan ini?” Ada nada ketidaksukaan dari cara penyampaian Wisely. Tanya terdengar tegas dan tak bersahabat.
“Ma ... af.” Wanita dengan rambut kepang dua itu mengangkat pandangan sekilas. Tertegun dan kagum saat beradu tatap dengan Wisely. Pesan yang hendak dikirimkan pada sang kekasih jadi tertunda. Tertahan di papan ketik, tak sempat dikirim.
“Aa, aku ikut Ayah dan Ibu. Mungkin setelah itu kita baru bertemu, ya, Aa.”
Dia tampan sekali. Penampilan pun rapi, gagah, dan mewah. Tapi, kenapa ada aroma mayat? Jangan-jangan ... dia malaikat pencabut nyawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Ayu galih wulandari
😂😂😂😂🤣
2024-02-09
0
Andi Nurul
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-12-17
0
Afternoon Honey
bau kamper alias kapur barus 🤣🤣🤣
2023-12-06
0