Keyakinan yang Sama

Melangkah keluar dari kamar putranya, bibir Kana membelah sempurna. Ide yang selama ini hanya sebatas wacana, sebentar lagi akan menjadi nyata. Mengedar pandangan sesaat melewati ruang tengah, tak terlihat keberadaan Erlang yang biasanya sudah rapi dengan setelan kerja. Usia boleh bertambah, fisik mungkin menua. Akan tetapi, jiwa dan semangat hidup harus tetap membara.

“Ke mana laki-laki tua itu?” Gurat halus samar-samar muncul di dahi, wanita dengan kecantikan sederhana itu terlihat bingung.

Kalau sang suami memilih melampiaskan kesal dengan amarah, Kana sedikit lebih tenang. Pengalaman hidup mengajarkan banyak hal. Bagaimana dulu menaklukkan Erlang yang berandal, suka mabuk-mabukan, dan memacu mobil menaklukkan jalan. Bahkan, pria lanjut usia itu pernah mendekam di penjara karena kelalaian berkendara.

“Mbok.”

Kana memanggil asisten rumah sembari mengitari kediaman mewahnya. Seutas senyuman muncul ketika mendapati para pekerja tengah berkumpul di dapur kotor sembari mengobrol.

“Mbok, lihat Mas Erlang?” tanyanya pada perempuan tua mengenakan daster biru yang tengah menikmati sarapan bubur ayam.

“Di halaman belakang, Bu.”

Mengucapkan terima kasih ala kadarnya, wanita sederhana dengan dua lesung pipi itu bergegas menuju ke tempat Erlang berada. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur, dia masih sempat mendengar suara berbisik para pekerja rumah menggosipkan ulah sang putra.

“Benar, ‘kan? Anak itu harus bertemu dengan wanita yang tepat baru bisa kembali ke jalan yang benar.”

...🍒🍒🍒...

“Kang, apa kabar?”

Tak ingat waktu dan tempat, Kana benar-benar menghubungi teman sekampung sewaktu tinggal di Bandung. Diiringi tatapan tajam Erlang, wanita itu tidak peduli sama sekali.

“Baik, Na. Ada apa pagi-pagi menghubungiku?” Kang Sandi—mantan kepala desa di salah satu perkampungan di kota Kembang itu menyapa ramah.

“Kang, minggu ini ada waktu? Kebetulan kami sekeluarga mau ke sana.” Kana menciut saat tak sengaja beradu tatap dengan pria tua di seberang.

Menikmati pagi di halaman belakang, keduanya duduk di bangku taman dengan meja kecil menjadi penghalang. Tersaji aneka jajanan pasar menemani dua cangkir teh hambar. Usia tak muda lagi, dokter menyarankan keduanya mengurangi konsumsi gula.

“Apa-apaan, Na?” Pria tua yang tampak rapi dengan kemeja putih dan celana kain hitam jelaga itu berbisik. Mata membola, garis wajah mengetat. Ada protes yang disampaikan melalui tekanan di setiap kata. “Kalau sampai Wise tidak setuju, kita yang malu, Na.” Tatapan elangnya menumbuk, Erlang menegakkan duduk.

Kana menempelkan telunjuk di bibir, meminta suaminya diam.

“Ya, Kang. Nanti aku ke sana dengan Wise. Ingat, ‘kan?”

“Yang kembar, Na?” Kang Sandi mulai larut dalam pembicaraan. Sejak pertemuan kembali puluhan tahun silam, hubungan mereka terangkai ulang. Sudah seperti keluarga, walau jarang bersua. Silahturahmi terjaga melalui telepon dan obrolan di WA.

“Ya, anakku hanya si kembar. Wise yang sulung, laki-laki. Kalau Grace sekarang sudah punya anak dua. Di Jakarta juga. Nanti kapan-kapan kalau ada waktu luang aku ajak mudik ke Bandung.”

Erlang tak sanggup berkata-kata. Kana terlalu lancang tanpa banyak pertimbangan. Rencana yang sempat dibahas beberapa waktu lalu, dieksekusi tanpa meminta pendapat ulang. Membuang pandangan ke pekarangan belakang, kesalnya sedikit reda ketika disuguhi tanaman hias menghijau dan gemercik air kolam ikan.

“Ya, Kang. Kenanga apa kabarnya?” Kana mulai ke inti pembicaraan. Sesekali menatap suami yang terus menggeleng.

“Anga ada. Dia mulai kerja. Kalau Uni sementara masih sibuk kuliah.” Kang Sandi menjelaskan.

“Pasti cantik-cantik keduanya. Bisa kirimkan fotonya, Kang. Kebetulan ....” Suara Kana lenyap bersama sentakan kencang di pergelangan. Pandangan dan fokusnya beralih pada suami yang tengah menunjukkan ketidaksukaan.

“Na, jangan gila. Bagaimana kalau ....”

Kana menurunkan ponsel dari telinga dan menggenggam erat agar percakapannya dan suami tak bocor keluar.

“Ingat perjodohan kita dulu, Mas?”

Erlang mencelang.

“Kamu masih dipenjara saat Mama memintaku menikah denganmu. Jujur, tak ada alasan yang kuat untukku menerima mantan napi yang ... maaf kalau boleh terus terang ... tak ada satu pun nilai lebihnya. Tapi, aku yakin. Dan keyakinan yang sama juga membuatku memutuskan menjodohkan Wise dengan putrinya Kang Sandi.” Kana menegaskan.

Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Kana terdengar meyakinkan. Sorot mata tegas itu menyiratkan pengharapan. “Aku berharap kita bisa mendapatkan menantu yang sepadan dari segi kemapanan. Keluarga terpandang dengan harta kurang lebih berimbang dengan kita. Sayangnya, Wise kita tidak memiliki kepribadian yang baik, setidaknya saat ini. Suatu saat aku yakin dia akan lebih hebat darimu, Mas. Karena itu, aku memilih wanita biasa, wanita yang bisa menuntunnya menggapai dunia.”

Erlang tertampar.

“Kesuksesan laki-laki itu juga tergantung pendampingnya. Memang, kamu pikir akan seperti sekarang kalau tidak menikah denganku?” Kana tersenyum penuh kemenangan saat membuat suaminya bungkam.

“Terserah padamu saja, Na. Yang jelas, nanti malam aku mau sate Madura. Aku ke kantor dulu.” Erlang menyeruput habis teh di dalam cangkir dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Terpopuler

Comments

Andi Nurul

Andi Nurul

😍😍😍😍😍😍😍

2023-12-17

0

🍁ɴᷠɪͥʟͤᴜᷝᴅͣ❣️💋🅚🅙🅢👻ᴸᴷ

🍁ɴᷠɪͥʟͤᴜᷝᴅͣ❣️💋🅚🅙🅢👻ᴸᴷ

wah si papa di skakmat si mama langsung auto kicep😄😄

2023-10-17

0

Rahma Hayati

Rahma Hayati

❤😍

2023-09-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!