Karena Kana

Setelah mengemudi dari Jakarta menuju Bandung di pagi harinya, Erlang menyerahkan kemudi pada Wisely yang mulai pulih dari efek mabuk saat perjalanan kembali ke ibu kota. Sebelumnya, mereka memutuskan mengiringi Sandi dan istrinya yang menumpang taksi online.

“Pa, jangan mampir, ya. Tidak perlu berbasa-basi. Kita harus kembali, nanti terjebak macet.”

Wisely duduk angkuh di balik kemudi sesaat mobil menepi. Pandangan terarah pada Avanza putih yang berhenti di sebuah hunian sederhana.

“Wise, jangan begitu. Nanti dikira memandang sebelah mata. Ingat, semakin kita di atas, makin pula harus merangkul yang di bawah, Nak. Jangan sampai kita sombong. Di hadapan Tuhan itu kita sama saja. Satu-satunya pembeda cuma perhiasan dunia yang jelas tidak dibawa mati.” Kana mengingatkan sembari melangkah turun dari mobil mewahnya.

Tadinya ingin semobil. Akan tetapi, sedannya tak sanggup menampung Sandi dan keluarganya. Jadilah mereka mengikuti taksi online yang ditumpang keluarga sederhana itu.

“Turun saja, Wise. Berpamitan. Jangan begitu.” Erlang ikut bersuara sebelum menyusul turun. Tak mau sampai dicap angkuh.

Wisely menurut. Percuma berdebat dengan kedua orang tuanya kalau sudah bersikeras. Hidup masih bergantung dengan fasilitas mewah keluarga. Dia tak mau sampai kartu kredit dan mobilnya dicabut. Melangkah gontai, pria muda itu berpamitan dengan setengah hati. Disalaminya asal Sandi dan Lasmi, kemudian menatap Seruni yang sejak tadi sibuk sendiri.

Apa ponsel itu lebih menarik dibandingkan ketampananku? Jarang-jarang ada perempuan yang menolak seorang Wisely.

Rasa penasaran memancing keingintahuan Wisely. Diamatinya gadis berkepang dua yang tengah serius mengetik di layar ponsel.

Dia manis. Dipoles sedikit saja pasti terlihat cantik.

Sentuhan di pundak, Wisely tersentak. Dia tersadar telah memandang terlalu lama. Menoleh ke arah pria tua yang tersenyum simpul, dia malu hati saat tertangkap basah tengah mengamati Seruni.

“Pamit, setelah itu kita kembali. Ini sudah siang, takutnya malah terjebak macet.”

Sesama laki-laki, Erlang paham arti tatapan sang putra. Dia pernah muda, tentu tahu rasanya ada di usia Wisely.

“Aku sudah katakan, jangan menolak kesempatan. Mamamu dulu saat dijodohkan denganku, lebih parah dari ini. Kepangnya bahkan lebih dari dua. Sederhana melebihi Siti Nurbaya. Ini masih jauh lebih baik. Aku yakin kalau kamu melihat mamamu dulu, pasti menolak tanpa banyak pertimbangan.”

Erlang berbisik, tak mau sampai suaranya terdengar Kana. Urusan akan panjang kalau wanita itu berang. Bukan hanya menabuh genderang perang, ranjangnya pun urung bergoyang.

“Benarkah?” Wisely terbelalak. Keduanya berdiri sedikit menjauh, memberi kesempatan Kana berbasa-basi.

“Sejak kapan Papa pernah berbohong?”

Wisely memainkan alisnya, menatap Erlang sembari menahan tawa. “Yang kemarin, sewaktu pulang dari jalan pagi. Jangan katakan kalau itu jujur. Papa berpapasan dengan janda seberang rumah, ‘kan?”

“Hush! Jangan kencang-kencang. Panjang urusannya. Kami sesama kolektor batu akik. Jadi saat bertemu … obrolannya menyatu. Tidak ada maksud apa-apa.” Kedua telunjuk Erlang menempel, tersenyum simpul.

“Tapi, Papa bohong, ‘kan? Mengaku saja.”

“Masalahnya cinta mamamu itu terlampau besar. Kalau cemburu sudah tidak menggunakan logika. Gara-gara kucing tetangga dipakaikan rok saja, mamamu uring-uringan seminggu.”

Tawa Wisely pecah. “Itu bukan cemburu pada kucingnya, Pa. Tapi, pemilik kucingnya. Bahenol begitu, meresahkan warga kompleks.”

Kana kembali, menyela obrolan ayah dan anak yang tampak akur setelah berhari-hari berdebat dan perang urat.

“Pamit dengan Om Sandi dan Tante Lasmi. Sayangnya Kenanga sedang tidak ada di rumah.” Kana menunjuk pintu rumah yang tertutup rapat.”

Wisely menurut. Berjalan menghampiri Sandi dan Lasmi, pria muda itu menyalami keduanya dan tersenyum. Berbeda saat awal perkenalan, mabuk masih menguasai. Kali ini, putra tunggal Erlang dan Kana tampak jauh lebih menawan.

“Aku pamit.” Pandangan Wisely terarah pada Seruni.

Mengulurkan tangan, Wisely tersentak ketika gadis berkepang tersebut menyambut malu-malu sembari bersuara. “Kali ini tidak masalah. Tapi, saat bertemu Kak Anga, tolong jangan gunakan parfum yang sama. Kakakku itu seleranya tinggi.” Jantung Seruni berdegup kencang, berbalik dan setengah berlari menuju ke rumah.

Wisely tercengang, mencium aroma tubuhnya sendiri dan mencelang. Semua ulah mamanya. Bukan hanya bau kapur barus, pakaian yang dikenakannya juga ketinggalan zaman.

“Ya Tuhan, pantas saja semua orang memandang ke arahku terus menerus. Kukira mereka mengagumiku, ternyata ….” Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Wisely kembali menunduk.

Terpopuler

Comments

ferdi ferdi

ferdi ferdi

masih jadi misteri siapakah jodohnya wise

2024-11-27

0

Andi Nurul

Andi Nurul

🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣😄

2023-12-18

0

Afternoon Honey

Afternoon Honey

parfum kamper kapur barus 🤣🤣🤣

2023-12-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!