Satu Minggu berlalu, semua terasa hampa bagi Renata. Keluar dari perkerjaannya dan berencana untuk pindah ke kota lain. Itu yang Renata pikirkan selama seminggu ini tapi semua itu hanya ucapan, Renata tidak sanggup meninggalkan rumah yang begitu ia sayangi di sini. Emily yang terus bertanya tentang Fabian itu membuat Renata semakin ragu dengan keputusannya. Renata ingin bertahan namun semuanya terasa terlambat dan tidak mungkin Renata memaksakan keadaan yang tidak mendukung.
Amelia yang menolak untuk menerima kebenaran yang Renata kasih tahu, entah bagaimana lagi Renata meyakini Amelia bahwa Nathan bukanlah pria baik-baik. Amelia juga meminta Renata untuk tidak berhubungan lagi dengan Fabian, Amelia meminta Renata untuk menghargai cintanya dengan Nathan. Menghargai semua keputusan Amelia, Renata sudah lelah dengan hal itu. Mengapa harus selalu Renata yang menghargai Amelia, kapan Amelia bisa menghargai Renata. Setidaknya menerima Emily sebagai bagian hidup Renata, mengapa Amelia tidak bisa menghargai hal seperti itu. Semua terasa lelah dan berat, seakan Renata menerima hukuman akan apa yang Amelia lakukan.
“Renata, istirahat dulu pikirkan kamu,” ucap Anastasia yang membuyarkan pikiran negatif Renata. Anastasia pun duduk di samping Renata yang sedang berada di teras rumah memandang langit yang berawan. Anastasia memberikan coklat hangat untuk Renata, agar Renata bisa menenangkan pikirannya.
“Aku tahu semua ini berat untuk kamu, tapi ingat kamu punya aku dan Emily. Jadi jangan terus bersedih pasti ada jalan keluarnya,” ucap Anastasia yang berusaha menyemangati Renata.
“Entah apa yang akan aku lakukan sekarang. Biasanya aku memikirkan apakah aku akan membuat kesalahan saat mengambil keputusan, tapi kali ini aku rasa semua itu sudah seharusnya. Walaupun terasa sakit tapi ini semua demi kebaikan bersama. Bahkan saat aku meminta maaf kepada mamanya Fabian dia terlihat syok, aku rasa memang kita bukan takdir.” Renata menghela nafas panjang lalu meneteskan air mata.
“Kamu merasakannya atau kamu memaksakannya?” tanya Anastasia.
“Maksud kamu?” tanya Renata balik kepada Anastasia.
“Renata, kamu seperti tidak ingin merusak barang yang sudah rusak. Kamu tidak ingin pihak yang bersangkutan sakit hati, tapi kamu tidak menyadari jika mereka sudah sakit hati sejak awal. Lihat saja mamanya Fabian masuk rumah sakit jiwa karena ayahnya, mama kamu tidak pernah mencintai ayah kamu karena terus memikirkan masa lalu. Semua sudah terlambat jika ingin mencegah ada yang tersakiti. Jadi apa yang sebenarnya kamu lakukan Renata?” Ucap Anastasia, seketika Renata menyadari semuanya, memang terkesan terlambat tapi semua itu terasa benar untuk Renata.
“Tapi aku bersama Fabian sudah menjelaskan jika itu membuat mereka tambah terluka, apalagi mamanya Fabian. Aku tidak tega melihat itu semua,” balas Renata.
“ Kamu bahkan belum mendengar apa tanggapan mamanya Fabian.”
“Aku rasa pembicaraan kita cukup sampai sini saja, aku akan masuk ke dalam,” ucap Renata yang berusaha menghindari pembicaraan dengan Anastasia.
“Baiklah semua terserah kamu, tapi ingat Renata mungkin kamu bisa menyesal.”
***
Emily yang sedang menunggu Renata sendiri di depan gerbang sekolah, merasa begitu bosan karena Ben sedang tidak masuk. Tidak ada satu pun yang mengajak Emily bermain, maka dari itu Emily begitu bosan. Biasanya Emily bermain Ben, tapi belakangan ini Ben sering bermain dengan temannya lain. Tiba-tiba dari kejauhan ada seseorang yang melambaikan tangan kepada Emily, itu adalah Fabian. Emily pun langsung berlari ke arah Fabian dan memeluknya.
“Om Fabian aku kangen tahu!” ucap Emily.
“Om juga kangen sama Emily yang imut,” balas Fabian sambil mencubit pipi Emily.
“Ih jangan di cubit sakit tahu,” ucap Emily yang langsung menyingkirkan tangan Fabian dari pipinya. Emily pun menarik tangan Fabian agar Fabian ikut dengannya. Emily mengajak Fabian untuk duduk di kursi taman sekolah. Sudah hampir seminggu Emily tidak bertemu dengan Fabian, tapi untuk Emily itu terasa seperti 1 tahun lebih. Maka dari itu Emily begitu antusias melihat Fabian yang datang.
“Om Fabian, kenapa mata om merah seperti habis nangis?” tanya Emily yang melihat mata Fabian sebam dan merah.
“Ah ini, om habis kelilipan jadi matanya merah.” Dusta Fabian, padahal ia terus memikirkan Renata. Bahkan semalam Fabian tidak tidur sama sekali karena memikirkan seorang Renata. Namun Fabian tidak bisa mengatakan itu kepada Emily, Fabian tidak mau membuat Emily bersedih jika mengetahui ia dan Renata sudah memutuskan hubungan.
“Om Fabian tahu enggak, kalau Rena dan Emily ingin pindah. Katanya Rena ingin mencari suasana,” ucap Emily, sontak Fabian terkejut mendengar itu.
“Terus Emily senang tidak?” tanya Fabian yang berusaha tenang.
“Tentu saja senang, tapi Emily pasti akan merindukan om Fabian dan juga Ben. Padahal Emily baru saja memiliki teman tapi sudah harus berpisah.”
“Nanti pasti ada teman baru di sana.”
“Tidak mungkin, karena Emily tidak memiliki seorang ayah jadi jarang yang ingin berteman dengan Emily. Bahkan teman-teman di sini sering mengatakan Emily anak adopsi.”
“Apa Emily sedih mendengar itu?”
“Tentu saja tidak, Emily sudah memiliki Rena yang selalu menyayangi Emily. Jadi Emily tidak sedih lagi.”
“Kalau seperti itu, Emily boleh menganggap om seperti keluarga Emily.”
“Apa itu boleh? Kalau seperti itu Emily harus memikirkan panggilan sayang untuk om Fabian.”
“Panggil saja Bian.” Panggilan kesayangan dari ayahnya, yang selama ini Fabian benci. Namun Fabian ingin mengubah panggilan itu, menjadi panggilan dari orang yang Fabian sayang bukan orang yang Fabian benci. Lagi pula Emily pasti akan menyukai panggilan itu, bukankah Emily suka memanggil orang dengan panggilan sayangnya.
“Baiklah, Bian janji ya kalau Emily sudah pindah akan terus berkunjung dan bermain terus bersama Emily,” ucap Emily menyodorkan jari kelingkingnya dan Fabian langsung menyatukannya dengan jari kelingkingnya. Itu artinya Fabian berjanji untuk selalu menemui Emily, walaupun pasti Renata akan tidak menyukai itu.
Tak lama kemudian akhirnya Renata datang, Renata terkejut melihat Emily yang sedang berbicara bersama Fabian. Mereka terlihat begitu seru, itu membuat Renata sedikit tidak enak jika mengganggu mereka. Melihat mereka berdua membuat Renata melupakan sejenak masalahnya yang begitu berat, rasanya Renata ingin terus melihat pemandangan itu. Itu membuat Renata ragu untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan Fabian yang sudah seperti bagian dari hidupnya.
“Rena sudah datang!” ucap Emily sambil menunjuk Renata yang berada di depan gerbang sekolah. Seketika Fabian langsung melihat kepada Renata, rasanya Fabian ingin menghampiri Renata dan memeluknya dengan begitu erat lalu menangis di pelukannya. Tapi semua itu mustahil di lakukan sekarang. Semua itu hanya ada di angan Fabian dan Fabian tidak bisa mewujudkannya.
Emily langsung menghampiri Renata, sedangkan Fabian hanya terdiam. Renata saja seperti tidak sanggup untuk melihat Fabian. Emily langsung melambaikan tangannya kepada Fabian dan pergi bersama Renata. Fabian segara kembali ke mobilnya dan pergi. Kali ini Fabian bisa bertemu dengan Renata tapi ia hanya bisa melihat dari kejauhan. Bahkan Renata tidak berbicara satu kata pun kepada Fabian, menyedihkan. Tapi apa boleh buat, tidak ada yang Fabian bisa perbuat saat ini.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments