Di kantor, Aurora benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, ucapan Alfian tadi pagi terus terngiang-ngiang dibenaknya.
"Aurora," panggil Dona, selaku kepala divisi di ruangannya. Meja beliau berada tepat di depan meja Aurora. Di dalam ruangan tersebut, hanya diisi dengan 4 pegawai saja.
"Eh iya, kenapa Bu?" Aurora langsung tersadar dari lamunannya.
"Kamu kenapa nak, kok melamun? Kamu lagi nggak enak badan?" tanya Dona pada Aurora.
Ucapan dari Dona membuat Sam dan Rian pun mengalihkan pandangannya ke arah Aurora. Mereka berdua juga merupakan rekan kerja Aurora di ruangan yang sama.
"Saya nggak kenapa-napa kok, Bu," jawab Aurora sopan.
"Beneran? Kalau kamu sakit biar ibu izinin pulang." Wanita paruh baya itu sudah menganggap Aurora seperti anak kandungnya sendiri. Perhatian kecil itu membuat hati Aurora menghangat, karena ada yang memperhatikan dan menyayangi dia selain kedua orang tuanya.
"Astaga nggak usah, Bu. Beneran deh saya nggak apa-apa."
"Ya sudah, kalau gitu lanjutin pekerjaan kamu. Nanti kalau sudah selesai langsung kasi ke ibu," ucap Dona.
"Siap, Bu."
"Ibu mau ke ruangan Pak sekretaris dulu."
"Ya, Bu."
Dona beranjak dari kursi kerjanya, setelah itu melangkah kan kakinya keluar dari ruangan seraya membawa sebuah berkas.
Kini di dalam ruangan itu hanya ada Aurora, Sam dan Rian.
"Kamu beneran nggak apa-apa, Rora?" tanya Rian sedikit khawatir.
Laki-laki tampan keturunan Arab berusia 28 tahun itu memang memiliki perasaan terhadap Aurora. Walaupun ia tau jika Aurora sudah memiliki kekasih, tetapi ia tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati Aurora.
Seperti kata orang, sebelum janur kuning melengkung siapapun boleh menikung. Heh, perkataan macam apaan itu? Itu tidak patut untuk di tiru dan di contoh!
"Iya mas Rian, saya nggak kenapa-napa. Sana deh lanjutin pekerjaan Mas lagi." Rian hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
"Gue harus omongin masalah itu sama mas Rivan secepatnya."
Aurora juga sebenarnya sudah ada keinginan untuk menikah, namun Rivan pasti selalu membuat alasan jika Aurora sudah berbicara tentang pernikahan. Entah itu mentalnya belum siap, finansial yang belum mumpuni lah atau mungkin memang ada hal lain yang membuat Rivan belum siap untuk melamar Aurora sebagai istrinya.
Aurora beranjak dari kursinya, lalu melangkah kan kakinya ke keluar dari ruangan untuk menelpon Rivan, sang pujaan hati.
"Assalamualaikum sayang."
"Waalaikumsalam, Mas lagi sibuk nggak?"
"Nggak terlalu sih memangnya kenapa, sayang?"
"Hem, aku mau ngomongin sesuatu ke, Mas."
"Mau ngomong apaan, Rora? Ngomong aja, jangan bikin Mas penasaran."
"Nanti malam aja aku ngomongnya Mas, sekalian kita makan malam. Mau kan? Udah jarang loh kita keluar."
Memang 4 bulan belakangan ini, Rivan sudah jarang mengajak Aurora untuk keluar sekedar untuk jalan-jalan, makan atau menonton film di bioskop, dengan alasan jika dirinya sangat sibuk.
Barang kali Rivan sibuk karena banyak pekerjaan atau memang ada hal lain yang dia lakukan diluar sana tanpa sepengetahuan Aurora.
"Maaf sayang. Mas nggak bisa nanti malam soalnya ada acara sama temen-temen, Mas. Gimana kalau besok malam aja?"
"Terserah Mas aja," kesal Aurora. Perasaannya langsung memburuk mendengar ucapan kekasihnya tadi, mungkin ini juga efek dari datang bulannya. Terdengar helaan napas dari Rivan.
"Jangan ngambek gitu dong sayang, besok malam aja ya kita perginya? Soalnya Mas kemarin sudah janji sama temen-temen mau ikut kumpul sama mereka."
"Iya terserah," jawab Aurora malas.
"Ya sudah besok Mas jemput jam 8 malam, oke?"
"Mas Ferdi," panggil seorang perempuan di ujung telpon sana.
"Siapa itu, Mas?" tanya Aurora penasaran karena mendengar suara perempuan disana.
"Em i-itu temen kerja aku," jawab Rivan sedikit gugup.
"Kalau gitu Mas tutup ya telponnya? Soalnya Mas mau ketemu sama customer yang mau beli rumah," sambungnya dengan tempo terburu-buru.
"Oh gitu ya sudah, Mas hati-hati dijalan"
"Iya assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tut, Tut, Tut.
Aurora membuang napas kasar, sangat susah untuk berbicara lebih lama dengan kekasihnya yang sekarang sangat sibuk itu. Ia malah lebih menyukai Rivan yang dulu, yang memiliki banyak waktu dengannya. Tetapi dirinya tidak boleh egois, karena dia bukan orang tua atau istrinya yang boleh mengekang kehidupan Rivan.
Setelah selesai berbicara di telpon dengan Rivan, Aurora kembali masuk ke dalam ruangannya dan duduk di kursinya.
"Aurora," panggil Sam yang kini berada di depan meja kerja Aurora.
"Ya, Pak?" tanya Aurora menatap Sam.
"Apa pekerjaan mu yang tadi sudah selesai, nak?"
"Sudah, ini baru selesai. Memangnya kenapa, Pak?"
"Tadi ibu Dona chat bapak bilang berkas yang tadi kamu kerjakan itu segera di antar kan ke ruangan Pak sekretaris," jelas Sam.
"Oh astaga, kalau gitu saya antar dulu berkasnya, Pak."
"Nggak usah, biar Bapak saja yang antar. Sekalian Bapak mau pergi ke ruangan Sarana."
"Gapapa nih Bapak yang antar?" tanya Aurora sedikit tak enak, karena itu adalah pekerjaannya.
"Gapapa, Nak. Mana sini berkasnya?"
"Ini Pak, makasih sebelumnya. Aduh jadi nggak enak sama pak Sam," ucap Aurora seraya menyodorkan sebuah berkas pada Sam.
"Sama-sama, nak. Kamu ini kayak sama siapa aja," ucap Sam tersenyum. Aurora pun ikut mengembangkan senyumannya.
Tepat pukul 5 sore, waktu untuk Aurora pulang kerja. Setelah meja kerjanya rapi ia pun bergegas untuk pulang.
Aurora melangkah kan kakinya menuju ke arah parkiran yang kini sudah terlihat sedikit kendaraan disana, karena sudah di bawa oleh para pemiliknya.
"Aurora," panggil seseorang. Aurora pun menoleh ke belakang melihat orang yang memanggilnya.
"Ya, mas Rian?" Ternyata yang memanggil Aurora itu adalah Rian.
"Mau pulang?" tanya Rian.
Aurora mengangguk, "Iya Mas."
"Mau pulang bareng?" tawar Rian.
Setiap pulang kerja pasti Rian selalu menawarkan Aurora untuk pulang bersama, walaupun dia tau jika Aurora membawa kendaraannya sendiri. Mungkin itu salah satu cara Rian untuk mendekati dan mendapatkan hati gadis cantik yang ada di depannya saat ini.
"Eh nggak usah, Mas. Jugaan saya bawa motor kok."
Rian manggut-manggut, "Ya sudah kalau gitu saya duluan ya?"
"Iya, Mas hati-hati di jalan," ucap Aurora tersenyum.
"Kamu juga hati-hati dijalan. Jangan sampai nyalain lampu sein ke kanan, eh tapi belok nya malah ke kiri," goda Rian seraya terkekeh, Aurora pun ikut terkekeh mendengarnya.
"Ya nggak lah, Mas."
"Saya cuma bercanda kok. Ya sudah kalau gitu sampai bertemu besok pagi, Ra." Aurora hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan Rian.
Setelah kepergian Rian, Aurora pun menaiki dan menyalakan mesin motornya, lalu melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Ditengah perjalanan, tiba-tiba Aurora menepikan motornya karena melihat seorang nenek yang akan menyebrang dan dia berniat untuk membantu nenek tersebut.
"Nek," panggil Aurora Nenek yang di panggil pun menoleh ke arah Aurora.
"Ya, nak?"
"Nenek mau nyebrang ya?" tanya Aurora. Nenek itu mengangguk.
"Iya nak, tapi dari tadi kendaraan ramai terus yang berlalu-lalang, jadi susah untuk nyebrang nya," ucap Nenek itu lesu.
"Ya sudah, sini biar saya bantu Nenek nyebrang."
"Boleh nak," ucap Nenek itu senang.
Aurora pun membantu Nenek itu untuk menyebrang ke seberang jalan sana.
"Makasih ya cah ayu, sudah bantuin Nenek nyebrang," ucap Nenek itu tersenyum.
"Iya sama-sama, Nek. Kalau begitu saya pergi dulu Nek," pamit Aurora seraya menyalami tangan Nenek itu.
"Iya cah ayu, kamu hati-hati di jalan."
"Iya Nek." Aurora pun kembali menyebrang ke arah tadi, dimana tempat motornya berada.
Ternyata di ujung jalan sana ada seseorang yang memperhatikan Aurora sedari tadi.
"Good girl, sudah sangat jarang ada perempuan yang seperti itu di dunia ini."
...----------------...
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 261 Episodes
Comments
vheindie19
kayak Valentino rossi aja maen tikung nih orang 😂
2023-04-19
0
SENJA ROMANCE
setia itu mahal, karena setia itu stock nya terbatas, hargai pasangan mu jika sudah setia apalagi mengajak mu ke pernikahan menjalin cinta, asa dan pahala untuk bekal di surga kelak😊
2022-10-31
1
Annah
jgn bilang rian itu terobsesi sma aurora
2022-10-16
2