Di rumah berdesain elegan dengan furniture mewah dan juga ruangan yang luas, seorang wanita paruh baya sedang berada di dapur untuk memasak menu makan malam.
Rambutnya ia ikat asal, wajahnya masih sangat cantik dan terlihat segar meskipun umurnya sudah di atas 40 tahun. Ia terlihat lihai menumis masakannya.
"Halo Bunda!!! Anak bunda yang paling ganteng datang ni!!!" Muncul seorang laki-laki remaja yang baru datang dengan senyuman dan wajah cerianya. Di ikuti teman-temannya dari belakang.
"Assalamualaikum Bund." Salam dari mereka semua.
"Waalaikumsalam... Kalian ini, dari kemarin kemana si? Kenapa baru datang?" tanya wanita yang sedari tadi dipanggil 'Bunda' tersebut.
"Hehe biasa Bunda, kita kan remaja sibuk," jawab Danial dengan percaya diri. Mereka langsung duduk di kursi meja makan.
"Kalian ini ada-ada saja," ujarnya tersenyum dengan tangan yang masih memegang spatula masak. Wanita tersebut ialah Nadhira, dia adalah ibu dari Barra.
"Bunda apa kabar?" tanya Raka yang menatap wanita itu lekat.
Nadhira tersenyum dan balik menatap remaja itu. "Bunda baik, kalian gimana?"
"Kita juga baik kok, Bund. Btw anak kandung bunda yang seumuran sama kita gak bikin Bunda darah tinggi kan?" tanya Fabian yang sedang menyindir sahabatnya itu.
Barra pun berdecak dan memalingkan wajahnya. "Yang sering bikin darah tinggi itu lo."
Nadhira terkekeh pelan. "Dia mah ngomong aja jarang, gimana bikin Bunda darah tinggi."
"Emang ya Bund, susah banget kalo es batunya belum mencair," sinis Fabian mencibir.
Barra hanya membalasnya dengan gerakan bibir, 'Bacot'.
Melihat itu Fabian pun melotot dan menunjuk Barra untuk bisa diadukan kepada ibunya. "Tuh Bund liat, anak Bunda ngomong kasar."
"Bohong," alibi Barra yang kini sudah menaiki anak tangga. "Barra ganti baju dulu."
Wanita itu tersenyum melihat anaknya sekilas. "Kalian gak mau ikut Barra ke kamarnya?"
"Gak ah Bund, kita mau nemenin Bunda masak aja, Bunda masak apa hari ini?" tanya Danial dengan hangat kepada wanita itu.
Entahlah, mereka bisa sedekat itu dengan Nadhira. Mungkin karena di dekatnya mereka bisa merasa nyaman dan terbuka. "Bunda masak makanan favorit Barra."
"Bunda tau gak? anak Bunda main rahasia-rahasiaan tau, masa dia gak bilang apa-apa sama kita tiba-tiba tadi sama cewe Bund, adek kelas pula," adu Fabian kepada Nadhira.
Nadhira menatap Fabian kaget, ia juga baru mengetahui mengenai hal ini. "Oh ya? Dasar itu anak gak bilang kalo lagi deket sama cewe, siapa cewenya?"
"Namanya Keisha Bund, kita juga baru tau tadi," jelas Danial. Mendengar itu pun mereka jadi bergosip mengenai perempuan yang dimaksud dan juga Barra tak mereka lupakan dalam topik pembicaraan.
Raka yang melihat itu pun geleng-geleng kepala. Hingga masakannya matang dan Barra pun turun dari kamarnya, mereka baru berhenti membicarakannya.
"Kalian pasti ngomongin Barra," ketusnya yang baru turun. Ia langsung ikut duduk di kursi meja makan dan bergabung bersama mereka.
"Kak, kamu deket sama cewe kok gak bilang sama Bunda?" ujar Nadhira dengan tatapan menyelidik. "Bunda kan pengen tau kayak gimana anaknya."
"Cuma temen, Bund," jelas Barra tanpa ingin mengatakan lebih lagi.
"Bohong Bund, temen kok sampe segitunya," kompor Fabian yang ingin memancing Nadhira agar terus menginterogasinya.
"Kapan-kapan ajak main lah," ujar Nadhira penasaran dengan gadis yang dikatakan dekat dengan anaknya.
Barra hanya menghembuskan nafasnya pelan.
...****************...
"Hachi!!"
Keisha merasa dirinya jadi ingin bersin terus. Ia jadi kesal sendiri. "Perasaan kamar gue bersih? ada yang lagi ngomongin gue nih."
...#########...
Setelah makan malam Barra dkk bersama ibundanya kini berkumpul di ruang keluarga, sekarang bertambah satu lagi, Refana adik Barra.
"Abang Nial nyebelin Bunda!!!" teriak gadis kecil itu dengan wajah yang memerah menahan tangis. Bibirnya pun ia lipat kebawah.
Nadhira menggelengkan kepalanya sembari menghela nafas. "Danial."
Yang dipanggil pun memasang cengiran kudanya. "Hehe maaf Bunda, lagian Refa gemesin banget si."
"Tau tuh Bund, udah gede kelakuan masih kek anak kecil aja, gak nyadar umur," ucap Fabian yang masih memegangi boneka milik Refa. Ia sedari tadi bermain dengan boneka itu.
"Ngaca bos, itu di tangan lo apaan?" sinis Danial menatap kesal temannya itu. Tangannya bergerak untuk mengangkat Refana dan meletakkan gadis kecil itu di pangkuannya.
"Gue kan cuma nemenin Refana main," sangkal Fabian dengan tampang sok polosnya.
Nadhira memilih mengabaikan keduanya yang sedang bermain-main dengan anak bungsunya. Ia kini menatap Barra dan Raka yang duduk anteng di sampingnya. "Kalian sebentar lagi ujian akhir semester kan?"
Barra menganggukkan kepala. "Iya."
"Ya udah belajar. Bunda gak nyuruh kalian buat mengurangi waktu bermain kalian, asalkan kalian punya waktu yang cukup buat belajar," nasihat Nadhira kepada keduanya.
Sebenarnya itu juga nasihat untuk Danial dan Fabian.
"Iya Bund, Barra gak akan ngecewain Bunda," jelas Barra lembut. Beginilah sifatnya saat mendapat nasihat dari ibunya.
Meskipun sikap dingin dari lahir itu tidak bisa dihilangkan, namun ia memiliki sifat yang jarang ia perlihatkan.
"Kita juga udah mulai belajar, Bund," jelas Raka apa adanya. Memang faktanya seperti itu. Jangan salah, meskipun mereka sering bermain-main bahkan membolos.
Namun jika mendekati ujian mereka akan mengabaikan semua hal itu dan belajar bersungguh-sungguh.
Karena itulah mereka terus mendapatkan peringkat meskipun sering membolos. Selain karena otak mereka yang memang sudah pintar dari lahir.
"Berapa pun nilai kalian, Bunda gak akan pernah kecewa. Karena Bunda tau kalian sudah berusaha dan bekerja keras dengan usaha kalian sendiri," ujar Nadhira dengan senyuman tulusnya.
Itulah sikap positif yang ia miliki sebagai orang tua. Ia tidak pernah menuntut apa-apa dari anaknya. Justru ia memberikan apresiasi yang besar untuk pencapaian anaknya, sekecil apapun itu.
"Iya, Bund," ujar keduanya serentak dengan senyuman tipis yang tercetak dibibir masing-masing.
Nadhira terenyuh melihat keduanya. Kedua tangannya terulur mengelus kepala Barra dan juga Raka.
"Wah Bunda curang nih pilih kasih," ujar Danial yang berpura-pura merajuk.
Fabian pun turut menimpali. "Iya nih."
Wanita itu terkekeh pelan. "Makanya kalian kesini."
Ketiganya pun berjalan dan ikut duduk di samping Barra dan Raka, sementara Refana ia lebih memilih duduk dipangkuan ibunya.
Nadhira tersenyum dengan kehangatan yang mereka berikan. Meskipun tidak semua disini adalah anak kandungnya, namun rasa sayangnya sangat besar kepada mereka semua.
Raka, Danial, dan Fabian pun sudah menganggap Nadhira seperti ibunya sendiri. Kedekatan mereka tidak bisa disepelekan begitu saja. Walaupun tidak ada ikatan darah, namun ada juga ikatan yang tercipta karena sebuah kedekatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Fenti
mawar mendarat 😁
2023-07-08
0
Fenti
pasti perawatan dan olahraga teratur nih😁
2023-07-08
0
mom mimu
seru banget kayanya punya bunda angkat kaya bunda Nadhira...
mampir nyicil lagi kak, semangat 💪🏻💪🏻💪🏻
2022-12-30
1