13. Luka yang Baru

Wendi menatap Caca dengan penuh kebencian. Tangannya sudah terkepal ingin menghajar perempuan itu habis-habisan, tapi ia masih punya sedikit kesadaran sehingga tidak melakukan hal tersebut. Sebagai pelampiasan, ia meninju dinding tembok membuat tangannya berdarah.

Wendi sudah memastikan bagaimana tanggapan Sari yang melihat kejadian tadi. Bahkan siapa pun juga akan berpikiran yang tidak-tidak ketika mendapati seorang suami tengah berduaan dengan perempuan lain di dalam rumah.

"Semua ini gara-gara kamu. Pergi sekarang juga!" bentak Wendi dengan keras.

Caca ketakutan melihat amarah Wendi. Ia perlahan beranjak dan segera keluar dari rumah.

Setelah Caca pergi, Wendi menghampiri Sari yang masih berdiri mematung. Ia hendak meraih tangan istrinya tapi dengan cepat Sari menghentakkan tangannya.

"Saya akan jelaskan kepada kamu," kata Wendi.

"Apa yang Mas mau jelaskan? Semuanya sudah jelas. Saya pulang dan berharap hubungan kita bisa baik seperti dulu lagi tapi apa yang saya dapatkan? Kamu malah menambah luka baru di atas luka lama yang sudah hampir sembuh," tutur Sari dengan deraian air mata.

"Apa yang kamu lihat tadi itu hanya kebetulan. Saya tidak melakukan sesuatu yang tidak baik. Percayalah padaku, di hati ini hanya ada kamu," ucap Wendi penuh harap.

"Mas bilang tak melakukan apa-apa dengan perempuan itu, trus piring bekas makan ini? Sepertinya sudah direncanakan untuk makan berdua, mumpung istri belum pulang. Sakit Mas, hati ini sungguh sakit!" Sari berlari ke kamar dan menangis dengan sedihnya.

Tasya dan adiknya baru masuk ke rumah sehingga tidak melihat adanya keributan. Wira menghambur kedalam pelukan papanya. Hampir dua minggu berpisah membuat ia sangat rindu.

"Siapa itu tadi yang keluar dari rumah ketika kami baru datang?" tanya Tiara dengan penasaran. Tadi ia sempat melihat perempuan itu ketika keluar dari rumah.

"Oh, perempuan itu... bukan siapa-siapa kok. Cuman penjual yang datang mengantar makanan," ucap Wendi menjelaskan.

"Tapi kok, ia masuk ke dalam rumah?" tanya Tiara lagi ingin tahu membuat papanya bingung mau jawab apa.

"Tolong ambil dulu tas yang masih ada di luar!" pinta Sari kepada Tiara. Tiara langsung berlari ke teras rumah untuk mengambil tas yang dimaksud oleh mamanya. Sementara itu Wendi bernafas lega karena ia sudah terlepas dari pertanyaan Tiara. Dari ketiga anaknya, Tiara-lah yang paling aktif dan selalu ingin banyak tahu tentang apa saja.

Dengan sekuat tenaga Tiara menjinjing tas yang berukuran agak besar itu dan membawa ke hadapan mamanya.

"Kok, Mama nangis?" tanya Tiara setelah duduk di samping mamanya. Ia memperhatikan wajah mamanya dengan saksama dan ia melihat mata yang sembab bahkan masih mengeluarkan air mata.

"Nggak apa-apa. Tadi Mama kelilipan," jawab Sari berbohong.

"Hhhmmm, Tiara tahu sekarang... pasti ini gara-gara si perempuan tadi," ucap Tiara menduga-duga.

Wendi yang masih duduk di sofa mendengar omongan Tiara dengan jelas. Kini ia sangat pusing dengan persoalan rumah tangganya. Dengan lesu ia beranjak dari tempat duduknya menuju ke kebun yang ada di belakang rumah. Ia memetik beberapa buah tomat yang sudah matang dan tak lupa juga memetik sayur bayam lalu membawanya ke dapur.

Ia sudah pasrah dengan sikap Sari dan tetap berdoa dalam hati, semoga Tuhan akan menunjukkan jalan yang terbaik untuk mereka lalui.

Malam harinya ketika Wendi dan Sari sudah berada dalam kamar, ia mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang keadaan orang tua di Makassar. Sari hanya menjawab seperlunya dengan tatapan datar.

"Sebelumnya Mas minta maaf dengan kejadian tadi siang," ucap Wendi dengan pelan.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas!" kata Sari dengan suara serak.

Hati Wendi sangat kacau dengan sikap Sari yang sepertinya tidak mau berbaikan dengan dirinya. Ia pun mulai menceritakan dengan jujur tentang pertemuannya dengan Caca dan alasan apa yang membuat perempuan itu datang ke rumahnya. Tak lupa juga Wendi menjelaskan kenapa ia memapah tubuh Caca tadi. Namun Wendi tidak mengatakan bahwa Caca itu adalah mantan pacarnya.

"Sekarang saya sudah menceritakan apa adanya tanpa menambah dan mengurangi sedikit pun. Jadi terserah sama kamu, mau percaya atau tidak. Saya tidak akan memaksamu!" tutur Wendi dengan serius. Ia lalu merebahkan tubuhnya di kasur dan menarik nafas lalu menghembuskan dengan perlahan.

Sari tidak mengubris penjelasan dari suaminya. Hatinya sudah terlanjur sakit dan kecewa bahkan hancur berkeping-keping. Apa yang dirindukan ketika masih berada di Makassar kini hilang lenyap tak berbekas. Setiap kali ia mengingat kejadian tadi siang di mana suaminya sedang dirangkul oleh perempuan yang sangat seksi, air matanya kembali mengalir.

Meskipun Wendi sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa tetapi Sari tidak yakin karena apa yang ia lihat dan saksikan merupakan bukti baginya untuk mencurigai suaminya. Dua minggu meninggalkan rumah dan pulangnya disambut dengan pemandangan yang sangat menyakitkan.

Kalau benar perempuan itu hanya penjual makanan, lalu kenapa harus masuk ke rumah dan makan berdua. Bukan hanya itu, keduanya berpelukan membuat Sari yakin kalau suaminya sudah menyeleweng dan menghianatinya.

Sari tidur sambil memunggungi suminya. Hingga tengah malam ia tidak bisa memejamkan matanya. Untunglah karena masih ada dua hari ia bisa gunakan untuk istirahat sebelum kembali mengajar di sekolah.

Mungkin karena semalam ia sangat sulit tidur sehingga pagi ini bangunnya kesiangan. Ia heran setelah sampai di dapur karena anak-anak sudah hampir selesai sarapan.

"Ayo, sarapan Ma. Masakan papa sangat enak!" ajak Tiara dengan semangat.

"Iya Ma, nih saya sudah nambah loh!" kata Wira sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya.

"Oh yah," sahut Sari berusaha terlihat senang di depan anak-anaknya, apalagi mereka sedang memuji kebolehan papanya membuat makanan pagi ini.

Sari mengedarkan pandangannya namun ia tidak melihat keberadaan suaminya. Hari ini adalah hari sabtu, artinya Wendi juga tidak masuk kantor.

Setelah sarapan tadi, ia langsung berangkat ke sawah tanpa pamit kepada siapa pun. Hari ini, traktor akan turun di sawah dan ia harus mengawasi pekerjaan tersebut.

Sari mencoba mencicipi masakan suaminya dan benar saja bahwa makanan itu rasanya sangat enak. Dalam hati Sari berpikir bahwa suaminya melakukan semua ini untuk menebus kesalahannya.

Hanya dua suap saja yang berhasil masuk ke tonggorokannya. Ingatannya kembali terganggu dengan kejadian kemarin membuat tenggorokannya terasa tercekik. Ia duduk termenung di meja makan dengan mata mulai berkaca-kaca. Namun ia segera menyekanya karena mendengar suara Tasya memanggilnya.

Tasya sedang mencari pakaian sekolah yang ia beli di Makassar. Tahun ini ia akan masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Semua perlengkapan sekolahnya sudah dipersiapkan oleh mamanya dan di simpan dalam sebuah kardus. Itulah sebabnya Tasya tidak melihatnya sehingga ia memanggil mamanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!