Ibu Widy lalu kembali ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya dengan kasar di sofa. Ia kesal karena ditatap oleh Wendi dengan tatapan yang kurang senang. Sementara itu Sari sudah masuk ke kamar dan menutup pintu dengan kasar. Ia sangat kecewa dengan apa yang ia alami saat ini. Dapat perlakuan yang tidak baik dari orang-orang yang sangat ia hormati.
Sari mengunci pintu kamar dan ia menangis dengan sedih. Ia tidak mengubris ketika suaminya mengetuk pintu dan minta untuk dibukakan.
Wendi jadi pusing sehingga dengan langkah lesu ia kembali ke ruang tengah. Tak tahu harus berbuat apa. Ia membiarkan ibunya duduk sendirian di ruang tamu karena sadar bahwa sebenarnya akar dari masalah yang timbul saat ini adalah ulah ibunya sendiri.
"Ibu mau pulang dulu,Nak. Jangan lupa bulan depan yah! Ibu mau beli tas baru," kata Ibu Widy sambil meraih tasnya di meja dan berlalu dengan wajah cemberut.
Wendi diam saja tanpa mengubris perkataan ibunya. Dalam hati ia sangat jengkel, "uang lagi, uang lagi."
Hingga sore hari, pintu kamar masih terkunci. Mungkin Sari terlalu lama menangis hingga ia ketiduran. Ia baru terjaga ketika Wira berteriak-teriak memanggilnya.
"Mama... Mama, nih ada PR Bahasa Indonesiaku!" teriak Wira sambil menggedor-gedor pintu.
"Tunggu sebentar Nak!" jawab Sari dengan suara serak.
Ia bangkit dan membukakan pintu bagi anaknya. Wira langsung menyodorkan PR yang dimaksud kepadanya.
Walaupun kepala masih puyeng karena terlalu banyak mengeluarkan air mata namun Sari tetap berusaha tampak semangat di depan anaknya. Dengan sabar ia mengajar dan menjelaskan sampai Wira mengerti untuk membedakan antara pantun dan syair.
"Terima kasih Mama!" Wira memeluk erat mamanya. Sari membalas pelukan anaknya. Ia mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Dalam hati ia merasa sangat sedih jika mengingat perkataan suami dan mertuanya siang tadi. Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinganya membuat matanya kembali berkaca-kaca tapi ia berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan anaknya.
Sepertinya Wira mengerti jika mamanya sedang bersedih. Ia memeluknya begitu lama dengan perasaan sedih. Mungkin tadi ia memperhatikan wajah sang mama yang sembab.
"Wira, mandi dulu sayang, keburu malam nih!" kata Sari melepaskan pelukannya.
"Iya Ma," sahut Wira dan berlalu ke kamarnya. Tak lupa ia membawa buku PRnya.
Sari juga segera ke dapur dan bermaksud untuk memasak.Tiba di dapur ia mendapati Tasya dan Tiara sedang membersihkan sayur bahkan keduanya sudah memasak nasi dan menggoreng ikan.
"Eh, Mama... apa mama sedang sakit?" tanya Tiara dengan khawatir.
"Mama nggak apa-apa kok, cuma sedikit sakit kepala tapi sekarang udah baikan," jawab Sari sambil tersenyum untuk menutupi rasa sedih yang ada dalam hati.
"Mama istirahat saja dulu, nanti kami yang kerja di dapur!" kata Tasya.
Sari bangga melihat kedua putrinya yang kompak untuk menyiapkan makan malam. Ia pun kembali ke kamar untuk menenangkan diri. Ia mengedarkan pandangannya ketika melewati ruang tengah, ternyata tak ada Wendi di sana, mungkin ia sedang di ruang tamu. Begitulah pikirnya.
Tasya memanggil mamanya untuk makan malam ketika semuanya sudah tersaji di meja makan. Mereka lalu makan bersama tanpa kehadiran sang papa. Sore tadi ia keluar rumah menuju sebuah kedai yang tak jauh dari rumahnya. Pikirannya yang sedang kacau membuat ia igin mencari angin segar di luar.
"Papa ke mana Ma?" tanya Tasya sambil mengunyah makanan di mulutnya.
"Tadi papa bilang mau keluar sebentar karena ada urusan," jawab Wira dengan santai. Rupanya tadi Wendi pamit sama Wira sebelum ia keluar.
Sari selalu berusaha tampil kuat di depan anak-anaknya dan seolah-olah tidak ada masalah pada hal segudang pikiran sedang berputar di otaknya.
Wendi tiba-tiba muncul dan langsung bergabung dengan mereka. Seperti biasa, Sari mengambil piring dan mengisi dengan nasi lalu meletakkan di hadapannya dengan sopan.
Wendi segera menyambar piring tersebut dan mengisinya dengan sayur dan ikan lalu makan dengan lahap karena ia sudah sangat lapar. Tadi ia makan tapi hanya sedikit.
"Papa dari mana sih?" tanya Tiara yang sudah lebih dahulu selesai makan.
"Ohh, tadi papa ada urusan di luar," jawab Wendi sambil terus mengunya makanannya.
Mereka masih menunggu di meja makan hingga papanya selesai makan. Sementara itu, Sari lebih banyak diam. Sesekali suaminya mencuri pandang ke arahnya tapi Sari pura-pura sibuk.
"Dek, kamu jangan ngambek dong! Mas tidak bisa berbuat apa-apa kalau kamu hanya diam saja. Mas minta maaf untuk kejadian tadi siang, anggaplah itu hanya angin lalu," kata Wendi dengan memelas ketika sudah berada dalam kamar.
"Saya nggak apa-apa kok. Mas dan Ibu memang sudah benar kalau saya ini tidak bisa mengurus keuangan dengan baik," sahut Sari sambil merebahkan tubuhnya di kasur.
"Sekali lagi Mas minta maaf. Ini uangnya tadi!" ucap Wendi sambil meletakkan uang tersebut di meja.
Sari tak menjawab lagi. Ia menarik selimut dan menutup tubuhnya hingga bahu lalu memejamkan mata.
Wendi pun ikut berbaring di samping istrinya. Ia tahu kalau Sari hanya berpura-pura tidur namun ia juga tidak mau mengganggunya malam ini walau ada hasrat dalam hati ingin bersetubuh dengan istrinya tapi ia berusaha menahan walau ia merasa sangat tersiksa.
Pikiran Wendi kembali ke kejadian tadi siang. Ia sangat menyesal karena telah melukai hati Sari. Ia tahu jika istrinya pasti sangat kecewa dan sedih ditambah lagi dengan perlakuan dari ibu mertua. Sekian tahun mereka hidup bersama dan Sari selalu menunjukkan kasihnya, baik kepada mertuanya terlebih kepada suaminya.
Ia juga tak habis pikir dengan sikap ibunya akhir-akhir ini yang sangat berbeda dari biasanya. Wendi kadang-kadang merasa malu ketika ibunya ke kantor untuk menemuinya dengan pakaian yang sudah tidak cocok dengan umurnya. Umur ibu Widy memang jauh beda dengan suaminya yaitu selisih delapan belas tahun.
Pak Dani menikahi ibu Widy ketika ia baru berumur tujuh belas tahun sedangkan umur Pak Dani waktu itu sudah tiga puluh enam tahun dan telah terangkat menjadi seorang ASN. Ia bekerja di kantor lurah sebagai salah seorang stap dan sudah pensiun sejak tahun lalu.
Pak Dani adalah sosok ayah yang baik bagi Wendi dan Sari. Ia tergolong pendiam tapi sangat bijaksana dan sangat menyayangi anak dan cucu-cucunya.
Malam ini ada banyak hal yang singgah di pikiran Wendi membuatnya sebentar-sebentar menghela nafas dan menghebuskan secara perlahan hingga larut malam beru matanya dapat terpejam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments