Pagi ini Sari memaksakan diri untuk berangkat ke sekolah karena ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Ia juga tadi bangun pagi-pagi karena harus mengurus segala perlengkapan Tasya yang akan masuk ke Sekolah Menengah Pertama.
"Nanti saya yang antar kamu, Nak." Wendi menghampiri Tasya yang masih memasang sepatunya. Sekolah tempat Tasya mendaftar agak jauh dari rumah dan berlawanan arah dengan jalanan ke kantornya sehingga ia akan mengantar Tasya terlebih dulu baru kembali untuk menuju ke kantor.
Tubuh Sari masih terasa lemas karena kurang tidur tapi ia bertekad untuk tetap semangat bekerja karena ada banyak kebutuhan yang membutuhkan biaya.
Wendi dan Tasya berangkat lebih awal. Tiara dan Wira masih satu sekolah sehingga keduanya jalan kaki bersama dengan teman-teman yang lain karena jarak antara rumah dan sekolah cukup dekat.
Setelah mengunci pintu rumah, Sari pun berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Jadwalnya hari ini di SMA Negeri jadi tidak perlu naik motor karena masih bisa ditempuh dengan jalan kaki. Hitung-hitung juga untuk mengirit biaya pembeli bensin.
Di gerbang sekolah ia bertemu dengan Rani, sahabatnya. Keduanya saling berpelukan untuk melepaskan rasa rindu karena sudah dua minggu tidak pernah ketemu.
"Apa kabar?" tanya Rani sambil melepaskan pelukannya.
"Kabar baik," jawab Sari sambil tersenyum. Keduanya lalu masuk ke kantor.
Selama dua minggu mereka menikmati hari libur dan sekarang adalah hari pertama masuk sekolah. Para siswa diberi tugas untuk membersihkan ruangan kelas, halaman sekolah, dan lingkungan sekitar sekolah. Para guru mengawasi dan mengarahkan siswa-siswi yang sedang kerja bakti.
Sari dan Rani berkesempatan untuk berbagi cerita seputar liburan yang baru saja mereka lalui. Rani bersemangat menceritakan perjalanannya ke kampung. Ia berlibur ke tempat kelahiran suaminya yang sangat jauh dari kota tempat tinggal mereka.
"Orang-orang di kampung suamiku sangat ramah tapi sayang, mereka sangat ketinggalan jaman. Belum kenal HP, tidak bisa ngomong menggunakan bahasa Indonesia, dan masih banyak lagi hal-hal yang mereka belum pahami. Pokoknya payah deh," cerita Rani sambil tertawa karena merasa lucu.
"Waduhhh... jadi gimana dong ngomong sama mereka?" tanya Sari penasaran.
"Dimas yang repot karena dia jadi juru bahasa," sahut Rani dibarengi suara tawa.
Keduanya jadi tertawa bersama. Seketika Sari melupakan pergumulan hidupnya saat tertawa bareng dengan sahabatnya. Ada rasa iri mendengar cerita-cerita seru yang disampaikan oleh Rani. Kebersamaannya dengan Dimas dan kedua anaknya sangat mereka nikmati selama liburan. Hal ini tentunya sangat membuat Rani gembira dan bahagia karena terpancar dari wajahnya bahkan matanya berbinar-binar saat ia bercerita.
"Sekarang giliran kamu dong yang cerita!" kata Rani.
"Pengalamanku nggak seseru dengan pengalamanmu," ucapnya dengan sedih.
"Maksudnya? Bukannya kamu juga berlibur ke Makassar?" tanya Rani.
"Iya, saya dan anak-anak pergi berlibur ke Makassar, tapi... " Sari tidak melanjutkan perkataannya karena bel sudah berbunyi dan para siswa akan berbaris di halaman sekolah untuk mendapatkan pengarahan dari Bapak Kepala Sekolah.
Cerita Rani dan Sari terhenti seketika. Keduanya pun ikut mengatur para siswa agar mengambil tempat sesuai dengan kelas masing-masing. Walaupun sudah duduk di bangku SMA tapi mereka masih perlu diatur seperti anak SD karena jumlah mereka yang tidak sedikit, namanya juga SMA paforit.
Usai kegiatan apel siswa, mereka diberi waktu untuk istirahat. Rani mengajak Sari ke kantin sekolah karena ia tidak sempat sarapan tadi pagi. Rani memesan nasi kuning dan Sari hanya pesan gorengan. Sebenarnya ia masih kenyang tapi ia tidak mau menolak ajakan sahabatnya ini.
Keduanya menikmati apa yang sudah di pesan. Terlihat Rani makan dengan lahap, tiba-tiba ia ingat sesuatu. Dengan lincah ia mengeluarkan ponsel dari saku roknya dan mencari nama seseorang yang akan dihubungi.
"Halo Caca, tolong antar makanan ke rumahku sekarang soalanya suami dan anakku belum sarapan!" ucapnya setelah sambungan telepon tersambung.
Mendengar nama 'Caca' disebut oleh Rani membuat Sari hampir tersedak. Ia pun buru-buru menuang air putih ke gelas dan meneguknya hingga tak tersisa lalu kembali menguping pembicaraan sahabatnya.
"Terima kasih tetanggaku yang cantik dan baik hati!" kata Rani sambil tersenyum lalu menutup teleponnya dan kembali melanjutkan aktifitas makannya.
"Tadi saya tidak sempat buat sarapan di rumah gara-gara bangun kesiangan, kirain masih hari libur hehehe," ucapnya lagi.
Sari ingin bertanya tentang siapa yang baru saja ia hubungi lewat ponsel tapi bibirnya terasa kaku untuk menanyakan soal tersebut.
"Saya sangat beruntung punya tetangga yang baik dan pintar masak, jadi kalau misalnya saya tidak sempat lagi masak di rumah, tinggal pesan aja makanan sama dia. Lagian harganya juga murah meriah," ocehnya lagi membuat Sari semakin yakin kalau orang yang dimaksud itu adalah Caca yang pernah ia pergoki di rumahnya.
"Kok, kamu malah melamun?" tanya Rani heran.
Sari menggelengkan kepala dan tersenyum.
"Kalau kamu mau coba masakan tetanggaku itu, nih ada nomor ponselnya. Kalau kita butuh, tinggal menelponnya dan dia akan langsung mengantar sampai di depan pintu rumah." Rani memberikan ponselnya kepada Sari untuk memperlihatkan nomor telepon tersebut. Kini Sari sudah bisa memastikan bahwa benar, tetangga sahabatnya adalah Caca yang ia lihat di rumahnya. Foto profil yang ada pada nomor itu memang sangat cantik dan seksi.
"Cantik yah!" seru Rani.
"Iya," sahut Sari singkat.
Tanpa diminta, Rani mulai bercerita banyak tentang Caca. Mulai dari perkenalannya ketika ia baru pindah dari Jakarta hingga keduanya jadi teman dekat karena sering pesan makanan buatannya.
Dari cerita Rani, kini Sari banyak tahu tentang pribadi Caca yang sudah menjadi janda dan ia akan terus mengorek sejelas-jelasnya tentang janda tersebut yang sudah berani mendekati suaminya.
"Maaf ya, kalau salah. Saya hanya ingatkan, tolong hati-hati sama perempuan yang bernama Caca itu!" saran Sari dengan serius.
"Memangnya kenapa?" tanya Rani dengan heran.
"Iya, namanya juga janda. Bukannya saya tidak setuju kalau kamu berteman dengan dia, hanya saja... berhati-hatilah!"
"Caca itu orangnya sangat baik loh, nanti kalau ada kesempatan saya akan kenalkan sama kamu,"
Rani sangat tidak mengerti maksud yang tersirat dalam saran yang disampaikan oleh sahabatnya.
"Sebenarnya... sebenarnya, dia itu... " kata Sari terbata-bata karena ragu.
"Sebenarnya apa? Cerita dong! Sepertinya ada yang kamu sembunyikan deh, makanya dari tadi saya perhatikan sikapmu yang banyak melamun. Ada apa sih sebenarnya? Apa ada hubungannya dengan Si Caca itu?" Rani melontarkan banyak pertanyaan kepada Sari karena ia semakin penasaran.
Bukannya menjawab, Sari malah menangis sesenggukan. Ia tak dapat membayangkan jika Wendi yang sangat ia cintai berada dalam pelukan perempuan lain dan perempuan itu lebih cantik dari dirinya. Ia merasa tersaingi sehingga rasa cemburu membakar hatinya yang sudah terlanjur luka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments