4. Sedih Karena Tertuduh

"Ini gaji Mas untuk bulan ini!" Wendi menyodorkan amplop yang berisi uang. Hari ini ia gajian dan semuanya langsung disetor kepada istrinya setelah tiba di rumah.

"Terima kasih Mas!"

Sari membawa amplop itu ke kamar untuk menyimpan di tempat yang aman. Sebelum menyimpannya ia menghitung terlebih dahulu namun ia heran karena kali ini uangnya kurang dari biasanya. Biasanya ia terima sebanyak Rp 2.750.000 tapi kali ini uangnya hanya Rp 2.000.000. Sari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kenapa Dek?" suara Wendi mengagetkan Sari karena ia tiba-tiba muncul di pintu kamar.

"Eh... anu... nggak apa-apa kok, Mas." ucap Sari dengan gugup.

"Maaf sebelumnya Dek, uang yang Mas berikan tadi itu kurang soalnya sebagian telah saya berikan kepada Ibu. Kata ibu tadi yang menemuiku di kantor bahwa ia sangat butuh uang." Wendi menjelaskan dengan panjang lebar.

"Nggak apa-apa Mas, sudah sepatutnya kita bantu orang tua jika mereka sedang membutuhkan," sahut Sari membuat hati Wendi jadi lega.

Sari kembali harus pandai-pandai mengatur uang belanjanya setiap hari. Benar bahwa sekarang ia sudah punya penghasilan sendiri tetapi banyak juga kebutuhan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Bulan-bulan berikutnya, Sari semakin pusing karena gaji suaminya makin berkurang namun ia tidak pernah menanyakan hal itu karena takut jika suaminya tersinggung.

Hingga suatu hari, Sari sedang berbelanja di sebuah toko dan secara tidak sengaja mendengar ibu Widy yang tak lain adalah ibu mertuanya sedang bercerita dengan temannya.

"Lagi banyak duit yah Jeng? Belanjanya banyak amat," seru ibu Ningsih dengan suara cemprengnya.

"Biasa Jeng, kemarin anak saya gajian dan sebagian gajinya ia berikan kepadaku," sahut ibu Widy dengan bangga.

"Bukannya Wendi sudah punya istri dan anak?"

"Iya, wendi malah sudah punya tiga anak tapi dia itu anak yang berbakti kepada orang tua loh. Saya selalu menolak pemberiannya tapi ia malah memaksa. Lagian istrinya juga bekerja kok," sahut ibu Widi dengan bangga.

"Wah, enak tuh!"

"Iya dong,"

Sari menggigit bibir mendengar perkataan ibu mertuanya. Uang dari suaminya yang ia terima setiap bulan selalu berkurang bahkan bulan terakhir ini hampir setengahnya berkurang sehingga uang pribadinya yang sering ia tabung harus berkurang juga karena uang itu digunakan untuk menutupi kebutuhan yang lain.

Sari menunduk ketika ibu mertuanya lewat karena ia tidak mau jika ketahuan telah tanpa sengaja mendengar omongan mereka. Sari melihat banyak barang belanjaan yang ada di keranjang dan masih sementara terus diisi dengan berbagai makanan instan.

Ibu Widy tidak mengenali anak mantunya karena kebetulan Sari memakai topi dan masker. Ia singgah di toko itu untuk membeli sabun dan minyak goreng sepulang dari sekolah karena tadi ia terima honornya.

***

Hari ini Sari hanya bisa menyajikan lauk seadanya karena uangnya tinggal sedikit. Ikan asin dan sayur bening sudah tersaji di meja makan.

Wendi yang baru pulang dari kantor tidak berselerah melihat hidangan di meja.

"Saya kira gaji kamu juga sudah banyak tapi kok makanan yang kamu siapkan hanya segini? Jadi orang, jangan pelit dong!" kata Wendi.

"Mas harusnya mengerti dong, bukannya sudah beberapa bulan ini gaji kamu selalu kurang?" jawab Sari dengan ketus.

"Ohhh, jadi kamu nggak iklas kalau sebagian uang itu saya berikan kepada orang tuaku,"

"Bukan begitu Mas, tapi kita juga punya banyak kebutuhan. Masakan jatah untuk keluarga kita dipotong sampai setengahnya?"

"Bilang saja kalau kamu itu tidak becus mengelola keuangan!" bentak Wendi dengan wajah memerah menahan marah.

Sari terisak dan berlari ke kamar. Ia menangis sejadi-jadinya. Hatinya sangat terluka dituduh seperti itu.

Dalam keadaan masih terisak, ia mengambil sisa uang belanja dari tempat penyimpanannya dan ia menghampiri Wendi di ruang tengah lalu meletakkan uang itu di hadapannya.

"Silahkan Mas sendiri yang kelolah uangnya. Tinggal ini sisanya. Jadi untuk bulan depan, Mas tidak usah lagi menyerahkan kepada saya. Selama ini gajiku sebagian kecil saya tabung untuk biaya pendidikan anak-anak kita makanya hanya sedikit yang saya gunakan untuk tambahan belanja sehari-hari," ucap Sari dengan suara parau.

Wendi hanya terdiam memdengar penjelasan istrinya. Ada sedikit penyesalan karena telah telanjur ngomong kasar kepada istrinya yang selama ini sangat setia mendampinginya.

Emosi Wendi akhir-akhir ini sangat tidak stabil. Bagaimana tidak, ia tidak bisa menolak setiap permintaan ibunya yang menurutnya sudah berlebihan. Pada hal ibunya hanya tinggal berdua dengan ayah di rumah. Ayah juga masih punya gaji pensiunan tapi toh ibu selalu meminta uang kepada Wendi sejak ia tahu bahwa Sari juga sudah punya penghasilan sendiri. Ibu Widy tidak mau tahu bahwa kebutuhan anak dan cucunya juga banyak.

"Pernahkah Mas melihat saya membeli baju baru atau tas baru? Jangankan kebutuhan pribadiku, kebutuhan anak-anak saja tidak dapat terpenuhi. Beruntunglah kita karena Tasya dan Tiara tidak ikut-ikutan dengan penampilan teman-temanya. Jadi kalau menurut Mas, saya adalah istri yang tidak becus mengurus keuangan, maka mulai sekarang juga saya tidak akan meminta uang Mas lagi," kata Sari lagi dengan air mata yang terus mengalir. Rasa sesak di dada membuatnya berbicara terbata-bata. Untung anak-anak mereka sedang tidak berada di rumah sehingga tidak melihat perrengkaran yang terjadi di antara kedua orang tuanya.

"Jangan begitu Dek! Mas tadi hanya..." Wendi tidak melanjutkan perkataannya karena tiba-tiba ibunya muncul di pintu depan. Secepat kilat Wendi mengambil uang yang diletakkan oleh Sari tadi di meja dan menyimpan di saku celananya.

Melihat kedatangan ibu mertuanya, Sari pura-pura ingin buang air kecil. Ia segera berlari ke toilet dan membersikan wajahnya lalu kembali menyambut kedatangan ibu mertua.

Seperti biasa, Ibu Widy terus ke meja makan dan membuka tudung saji tanpa ada rasa sungkan.

"Waduhhhh, kok nggak ada makanan sih? Ibu tadi sengaja tidak makan di rumah karena rencananya mau makan di sini tapi ternyata makanannya nggak mengundang selera," omel ibu mertua.

"Maaf Bu, saya hanya bisa menyiapkan makanan ala kadarnya karena keuangan kami sudah menipis sementara ini baru pertengahan bulan," kata Sari apa adanya.

"Jadi istri itu harus pintar-pintar kelolah uang dong! Atau jangan-jangan kamu malah mengirimnya sebagian kepada orang tuamu?" ucap Ibu Widy tanpa perasaan.

Wendi mengusap wajahnya dengan kasar mendengar perkataan ibunya. Ia tahu, istrinya pasti sangat sedih, kecewa, dan marah dengan tuduhan seperti itu.

Air mata Sari kembali mengalir dan tak bisa dibendung.

"Ibu bisa saja memakiku tetapi tolong jangan libatkan orang tuaku. Sepersen pun mereka tidak pernah melihat hasil keringatku apalagi menggunakannya untuk belanja," kata Sari dengan deraian air mata.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!