"Uang jajan, Ma!" pinta Wira sambil menadahkan tangannya.
Sari merogoh kantongnya dan memberikan uang dua ribu rupiah kepada Wira.
"Kok, cuma segini Ma?" tanya Wira dengan cemberut karena biasanya ia dapat uang jajan tiga ribu setiap hari.
"Sabar yah Nak, kali ini Mama kurangi uang jajannya karena semua harga kebutuhan pokok naik," kata Sari dengan pelan.
Tasya dan Tiara yang mendengar perkataan mamanya saling berpandangan lalu mereka pamit untuk berangkat ke sekolah. Keduanya tidak meminta uang jajan karena melihat mamanya begitu serius untuk memberikan pengertian kepada adik mereka.
Hati Sari sangat sedih melihat anak-anaknya berangkat ke sekolah tanpa uang jajan. Tasya dan Tiara sudah mulai paham akan ketidakstabilan keuangan orang tuanya.
Setelah ia kembali ke dalam rumah, suaminya sudah duduk di meja makan.
"Apa kamu sudah tidak punya uang dek?" tanya Wendi dengan tatapan datar. Tadi ia melihat wajah putranya yang tampak tidak senang saat berangkat ke sekolah.
"Masih ada Mas, tapi yah... beginilah, saya harus irit sedemikian rupa untuk bisa makan setiap harinya," jawab Sari dengan jujur.
"Gaji kamu mana?"
"Sudah habis, Mas. Dua bulan terakhir ini kan banyak acara keluarga, jadi saya pakai uang itu,"
"Harusnya kamu dahulukan kebutuhan keluarga baru urus yang lain. Apa kamu nggak kasihan melihat anak-anak pergi ke sekolah tanpa uang jajan?"
Sari tertunduk tanpa suara. Hatinya sangat terluka dengan perkataan suaminya. Gaji yang ia dapatkan sebagai tenaga honorer hanya seberapa saja karena ia mengajar hanya tiga hari saja dalam seminggu.
Selama ini ia sudah merasa cukup membantu keuangan dalam keluarga namun saat ini ia merasa bahwa suaminya ternyata tidak menghargai jeri lelahnya. "Apa yang harus kulakukan?" jeritnya dalam hati.
Jika hanya mau mengandalkan gaji dari suami setiap bulan dengan kondisi saat ini di mana semua harga kebutuhan melonjak tinggi maka pastilah tak akan pernah cukup meski orang secerdas bagaimana pun yang akan mengelolahnya.
Sementara Wendi tak punya usaha sampingan. Pernah suatu kali orang tuanya menawarkan agar Wendi mau menggarap sawah, setidaknya bisa menutupi pengeluaran untuk membeli beras tapi waktu itu Wendi menolak dengan alasan tidak punya waktu untuk itu pada hal kalau dipikir ia masih ada waktu ketika pulang dari kantor. Selama ini waktunya hanya ia gunakan untuk bersantai namun Sari tidak pernah memprotes karena gaji suaminya masih cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka.
***
Hari ini adalah jadwal mengajar untuk Sari. Tiba di sekolah ia masuk ke kelas seperti biasanya namun kali ini ia merasa kurang bersemangat karena selalu kepikiran dengan keadaan rumah tangganya yang sedang tidak stabil.
"Cerita dong sama saya jika kamu ada masalah!" kata Rani sahabatnya. Rani sudah menjadi seorang ASN sejak dua tahun yang lalu dan ia juga sudah berkeluarga. Mereka bersahabat sejak bertemu di sekolah itu dan sering berbagi pengalaman.
"Saya baik-baik saja kok," sahut Sari sambil berusaha tersenyum untuk mengurangi kegalauan yang sedang dirasakan.
"Jangan bohong kak, saya tahu kamu sedang tidak baik-baik saja,"
Sari pun menceritakan segala persolan yang sedang dialami kepada sababatnya dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa saat Rani terdiam dan mencerna cerita dari sahabatnya. Kemudian ia tersenyum dan menatap Sari dengan serius.
"Saya ada ide. Gimana kalau kamu buka usaha? Toh, kamu masuk sekolah nggak setiap hari, jadi masih ada waktu untuk mengurus usaha yang lain,"
"Modalnya dari mana?"
"Pinjam dulu sama mertuamu!"
Sari menggeleng dengan lesu. Bicara soal mertua sepertinya ia kurang bersemangat. Mertuanya memang orang kaya tapi soal mau pinjam uang rasanya sangat sulit karena orangnya pelit.
"Atau nanti saya coba cari informasi di sekolah swasta dekat rumahku, siapa tahu mereka masih butuh tenaga pengajar," usul Rani dengan semangat.
"Ok, tolong bantu saya!" sahut Sari dengan serius. Ia masih punya waktu tiga hari jika saja masih ada lowongan yang tersedia di sekolah tersebut.
Mereka lalu berpelukan.
"Terima kasih sahabatku!"
"Sama-sama. Saya akan selalu ada untukmu,"
Keduanya melepas pelukan karena bel sudah berdenting tanda jam istirahat telah usai. Mereka kembali melanjutkan tugas hingga jam yang sudah ditentukan.
Pulang dari sekolah, Sari tak pernah mengenal waktu untuk istirahat. Ada saja pekerjaan yang ia lakukan. Berbeda dengan suaminya, setelah pulang dari kantor ia tak melakukan pekerjaan apa pun. Kalau ia tidak tidur maka ia hanya main game yang ada di ponselnya.
Masih ada pekarangan yang kosong di samping rumah mereka. Itulah yang ditanami berbagai macam sayuran oleh Sari. Kadang kala ia dibantu oleh anak-anaknya. Selama ini Sari tidak pernah mengeluh dengan sikap suaminya. Ia tetap mengerjakan pekerjaannya dengan tulus dan iklas dan selalu melayani suaminya dengan tidak bersungut-sungut.
Bagi Sari, ini semua sudah menjadi tangung jawabnya karena suaminya bekerja di kantor. Selama ini Wajah Sari selalu ceria dan bersemangat karena segala sesuatunya dilakukan dengan tulus. Ia merasa sangat beruntung punya suami yang tidak banyak neko-neko dan tidak terlalu pusing dengan kegiatan istrinya.
Namun sikap Wendi akhir-akhir ini membuatnya tak habis pikir. Seperti tadi waktu pulang dari kantor, tak ada lagi canda tawa bersama anak-anaknya. Setelah makan siang ia langsung rebahan di depan TV sambil main ponsel. Ia tidak lagi mengomentari makanan yanh disajikan oleh istrinya tetapi kali ini ia diam seribu bahasa. Ibarat TV, ada gambar tak ada suara.
"Maaf, apa ada yang mengganggu pikiran Mas soalnya saya rasa akhir-akhir ini sikap Mas agak beda?" tanya Sari ketika mereka sudah berada di kamar hendak beristirahat.
"Nggak ada apa-apa kok," jawab Wendi dengan santai tanpa menoleh ke arah istrinya. Ia sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Ngomong dong Mas, kasihan anak-anak jadi serbah salah juga,"
"Saya bilang nggak kenapa-kenapa," ucap Wendi sedikit keras membuat Sari kembali terdiam. Ia pun memilih berbaring dengan perasaan sedih.
"Kring... kring... kring!" bunyi dering ponsel milik Sari.
Ia meraih ponsel yang diletakkan di meja dan mengusap layarnya. Sekilas ia melihat nama Rani yang menelepon.
"Ya, halo!"
"Ada kabar baik loh. Besok kamu ditunggu oleh kepala sekolah SMK Swasta. Jangan lupa membawa berkas-berkas yang akan dibutuhkan!" suara Rani di ponsel terdengar begitu semangat.
"Oke Ran, terima kasih atas perhatiannya. Besok saya ke sana karena kebetulan saya tidak ada jam di sekolah," jawab Sari dengan senang lalu memutuskan sambungan teleponnya.
Setelah itu ia kembali berbaring dan berharap Wendi akan bertanya tentang apa yang barusan ia bicarakan dengan Rani. Namun apa yang ia harapkan tak kunjung terjadi.
"Mas, tolong antar saya besok pagi ke SMK Swasta yang ada di dekat rumah Rani. Saya ingin melamar pekerjaan di sana!" ucap Sari dengan penuh harap.
"Iya," jawab Wendi singkat.
Sari bersyukur karena mendapat jawaban dari suaminya meski terdengar acuh tak acuh tapi setidaknya ia tahu kalau besok Wendi bersedia untuk mengantarnya soalnya jarak dari rumah ke sekolah itu lumayan jauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments