Chapter 10

Stefani merasa gelisah saat Calvin memberinya sebuah alat tes kehamilan. Rasa gelisah itu makin tidak terbendung saat alat itu sedang ia gunakan. Di dalam kamar mandi Stefani menunggu, melihat dengan seksama, satu garis mulai terlihat. Sudah hampir setengah jam Stefani berasa di dalam kamar mandi dan selama itu ia menunggu sampai benar-benar yakin jika dirinya tidak hamil.

"Stefani, kau baik-baik saja?"

Suara Calvin mengejutkan Stefani. Ia langsung membuka pintu dan menunjukan senyumnya.

"Hasil tes negatif." Stefani menunjukkan alat tes kehamilan yang hanya menunjukkan satu garis saja.

"Syukurlah, Stefi." Alice menghampiri Stefani dan langsung memeluknya.

"Kau senang, Stefani? Sekarang kau harus bisa melupakan kenangan buruk itu. Kau harus bisa melanjutkan hidupmu," ucap Calvin.

"Ya, terima kasih untuk semuanya," ucap Stefani.

Jelas Stefani sangat bersyukur dan lega. Dirinya bisa kembali menata kehidupannya lagi.

"Baikkah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Aku pamit pulang," ucap Calvin.

"Kau tidak ingin makan atau minum sesuatu dulu?" tanya Alice.

"Lain kali saja. Aku terburu-buru. Kekasihku sudah menungguku," jawab Calvin.

"Dokter Calvin, terima kasih sudah merawatku selama ini," ucap Stefani.

"Jangan sungkan padaku. Tetap semangat untuk menjalani hidupmu," ucap Calvin diangguki oleh Stefani.

"Kalau begitu aku akan mengantar Calvin," ucap Antoni.

Hanya tinggal Stefani dan Alice di tempat itu. Alice kembali memeluk Stefani, tetapi ia juga melihat Stefani melamun.

"Stefi," panggil Alice. Tidak ada sahutan. Alice kembali memanggil Stefani dengan menyentuh pundaknya. "Stefi."

"Eh, iya, ada apa?" Terlihat sekali jika Stefani terkejut.

"Tidak baik melamun di sore hari. Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Alice.

"Tidak. Aku sedang memikirkan rumah dan teman baikku Olive," jawab Stefani.

"Kau sudah merasa lebih baik sekarang?" tanya Alice.

"Ya, aku sudah merasa jauh lebih baik. Maka dari itu aku ingin pulang," jawab Stefani.

"Pulang?" Alice masih ragu untuk membiarkan Stefani pulang.

"Iya," ucap Stefani.

"Kakak ipar!"

Stefani dan Alice menghentikan obrolan lalu mengalihkan pandangan mereka ke asal suara. Di depan pintu ada laki-laki yang sangat tampan meskipun pakaiannya terlihat seperti berandalan.

"Alex." Alice memeluk calon adik iparnya. "Aku sangat merindukanmu. Kenapa kau baru pulang? Apa kau lebih suka tinggal bersama dengan Bobi?"

"Maaf, Kakak ipar. Kakakku itu selalu saja memarahiku. Aku merasa bebas di sana," ucap Alex.

"Dasar anak nakal." Alice menarik telinga Alex.

Pandangan Alex beralih pada Stefani yang sedang menahan tawanya.

"Kau berani menertawakan aku?"

"Maaf." Stefani langsung menutup mulutnya.

"Stefi, jangan dengarkan dia. Oh iya dia Alex adiknya Antoni," ucap Alice.

"Hai." Stefi dan Alex saling menyapa.

"Jadi ... kau yang sudah menolong aku malam itu?" tanya Alex sedikit membungkukkan badannya untuk melihat dengan jelas wajah Stefani.

"Apa kau Alex, adiknya tuan Antoni?" tanya balik Stefani. "Kau nampak berbeda dari malam itu."

"Apanya yang berbeda?" tanya Alex.

"Sekarang kau lebih terlihat seperti manusia. Malam itu kau nampak menyeramkan. Hampir seluruh wajahmu tertutupi oleh darah," jawab Stefani.

"Apa kau bermaksud mengatakan jika aku sangat tampan?" Alex menggoda Stefani dengan mengedipkan satu matanya.

"Kau terlalu percaya diri," ucap Stefani.

"Baiklah, kalian bicara saja dulu. Aku akan siapkan makanan," ucap Alice.

"Jangan lupa buatkan aku pasta." Alex bicara dengan sedikit berteriak.

"Baiklah." Alice menjawab tanpa menghentikan langkahnya.

Setelah Alice pergi hanya tinggal Stefani dan Alex di tempat itu. Stefani sudah tidak merasa takut saat ada laki-laki di dekatnya.

"Terima kasih sudah menolongku malam itu," ucap Alex. "Aku tidak tahu nasibku akan seperti apa jika aku tidak bertemu kau saat itu."

"Boleh aku tahu apa yang terjadi padamu malam itu?" tanya Stefani.

"Ayo ke balkon. Aku akan menceritakannya padamu," ajak Alex.

Keduanya berdiri di balkon kamar itu. Alex menceritakan kepada Stefani apa yang terjadi malam itu. Teman satu kampusnya memiliki dendam padanya. Orang itu tidak rela jika kekasihnya lebih memilih Alex.

Stefani mendengarkan cerita itu dengan serius. Dari awal obrolan itu membuat Stefani merasa nyaman bebicara dengan Alex. Dalam sekejap saja keduanya menjadi sangat akrab.

*****

Keesokan harinya, Stefani sedang membereskan pakaiannya. Ia akan kembali ke rumah hari itu juga.

"Sudah siap? Aku yang akan mengantarmu pulang. Kak Alice dan kak Antoni ada urusan dan memintaku untuk mengantarmu," ucap Stefani.

Stefani mengangguk, lalu mereka berdua berjalan beriringan keluar mansion mewah itu.

Dalam perjalanan, Alex merasa jika Stefani merasa tak nyaman dengan dirinya. Itu terlihat dari raut wajah Stefani dan gerak-gerakan kecil bagian tubuh Stefani.

"Apa kau masih takut untuk melihatku?" tanya Alex masih tetap menatap lurus jalanan.

"Tidak ... aku hanya sedang memikirkan sesuatu," jawab Stefani.

"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Alex.

"Sepertinya aku harus pindah ke universitas lain," jawab Stefani.

"Oh, soal itu." Alex melihat sekeliling jalan dan menghentikan mobilnya di sebuah kedai es krim.

"Kenapa berhenti?" tanya Stefani.

"Mau es krim?" tanya Alex, ia melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobilnya.

"Mau." Stefani mengikuti Alex menuju salah satu kedai es krim.

Keduanya memilih untuk menikmati es krim di tempatnya.

"Kau mau es krim rasa apa?" tanya Alex.

"Aku mau yang rasa strawberry coklat dan blueberry," jawab Stefani.

"Kau tidak salah memilih es krim sebanyak itu?" ucap Alex.

"Cuaca panas seperti ini sangat cocok untuk menikmati es krim," ucap Stefani.

"Baiklah, aku akan mentraktirmu es krim sepuasnya." Alex pergi menuju ke penjual es krim. Tidak berselang lama Alex kembali dengan membawa dia cup besar es krim.

Alex menaruh dua cup es krim di meja. Keduanya duduk di bersama di taman kota sambil menikmati keramaian kota itu. Setelah puas menikmati es krim keduanya berkeliling dengan berjalan kaki. Kebetulan ada pasar malam di dekat tempat itu. Alex sengaja mengajak Stefani. berkeliling untuk membuat wanita itu merasa nyaman saat bersamanya.

"Kau suka es krim dan tempat ini?" tanya Alex.

"Ya, aku sangat suka. Sudah lama aku tidak makan es krim dan juga datang ke pasar malam seperti ini," jawab Stefani.

Keduanya masih berjalan sambil mengobrol. Alex meminta pada Stefani untuk menceritakan tentang Marco. Awalnya Stefani tidak ingin mengungkit pria itu, tetapi Stefani akhirnya bercerita kisah cintanya dengan Marco yang berujung pada pengkhianatan.

"Stefi, aku berjanji padamu akan memberinya pelajaran jika aku bertemu dengannya nanti," ucap Alex dibalas senyum oleh Stefani.

"Terima kasih, Alex," ucap Stefani.

" Stefy!"

Stefani dan Alex menoleh ke asal suara. Dari kejauhan mereka melihat seseorang berlari ke arah mereka. Dia adalah Olive, sahabat Stefani.

"Stefi, aku sangat merindukan." Olive langsung memeluk Stefani. "Kau keterlaluan, Stefani Angelina, berlibur tanpa memberi tahu aku."

"Berlibur?" Awalnya Stefani merasa heran dan bertanya di benaknya siapa yang mengatakan jika dirinya pergi berlibur?

Stefani menatap Alex dan melihat pria itu seolah memberinya isyarat. Ia menebak mungkin Antoni yang membuat alasan untuk itu.

"Oh iya, maafkan aku. Aku terburu-buru sampai tidak sempat mengabarimu," ucap Stefani.

"Stefi, dia siapa? Apa pacar barumu?" tanya Olive

"Bukan, dia teman baruku. Namanya Alex," jawab Stefani. "Alex, dia Olive."

"Hai." Alex dan Olive saling berjabat tangan.

"Oh iya, Stefi. Ada yang ingin aku tanyakan padamu. Beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengan Marco. Dia mengatakan kau sudah mati. Tapi setelah melihatmu sekarang, aku yakin jika laki-laki itu sudah tidak waras," ucap Olive dengan nada yang sangat marah.

"Jangan menyebut nama laki-laki itu di hadapanku lagi. Aku sangat membencinya," ucap Stefani.

"Ini artinya kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan dia?" tanya Olive disambut anggukkan oleh Stefani.

"Berhubungan dengan dia menjadi penyesalan terbesar dalam hidupku," jawab Stefani.

"Meskipun terlambat, aku mengucapkan selamat untuk berakhirnya hubungan kalian," ucap Olive. "Baiklah ini sudah malam, aku harus pulang."

"Ya aku juga harus pulang," imbuh Stefani.

"Sampai jumpa lagi. Oh iya, Stefi ada satu kabar buruk yang harus aku sampaikan. Aku baru mendengar kabar jika kau sudah dikeluarkan dari universitas," ucap Olive.

"Itu bagus, Olive. Aku memang berencana untuk pindah ke Universitas lain," ucap Stefani.

Tidak ada pembicaraan lagi. Stefani berpisah dengan Olive, ia pulang dengan di antar oleh Alex. Awalnya perjalanan mereka diisi oleh keheningan hingga Stefani memutuskan untuk bersuara.

"Alex, terima kasih untuk es krimnya," ucap Stefani.

"Sama-sama. Lain kali bisa kita makan es krim lagi?" tanya Alex.

"Tentu saja. Jika itu tentang es krim maka aku tidak akan bisa menolak," ujar Stefani.

Setelah setengah jam perjalanan akhirnya sampai di rumah Stefani. Rumah cukup besar yang nampak elegan. Kedua keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah bersama-sama.

Alex mengedarkan pandangannya melihat desain interior bagian dalam rumah Stefani. Tidak sebesar rumahnya, nampak minimalis, tetapi terlihat mewah.

"Rumahku sangat kecil jika dibandingkan dengan rumahmu," ucap Stefani.

"Tapi rumahmu terlihat sangat nyaman. Aku terkadang malas tinggal di rumah besar itu," ucap Alex.

"Duduklah! Aku akan membuatkan minum untukmu," ucap Stefani.

Stefani pergi ke dapur, tidak lama ia membawa dua gelas cokelat hangat lalu memberikan satu kepada Alex.

"Ini cokelat hangat. Aku harap kau menyukainya," ucap Stefani.

"Tentu saja. Aku sangat cokelat hangat." Alex menerima cokelat hangat dan langsung meminumnya.

"Stefi, kenapa rumahmu sangat sepi? Di mana yang orang tuamu?" tanya Alex.

"Aku hanya tinggal bersama pengasuhku. Kedua orang tuaku ... mereka sudah berpisah dan memiliki keluarga masing-masing. Aku memilih tinggal sendiri karena aku merasa nyaman seperti ini," jelas Stefani.

"Ohw, maafkan aku," ucap Alex.

"Tidak masalah, Alex. Ayo kita makan malam. Bibi Maria sudah menyiapkan makanan untuk kita."

Alex dan Stefani berjalan bersama menuju ruang makan. Di sana sudah tersaji beberapa menu makanan dan ada bibi Maria yang juga sudah menunggu mereka. Stefani langsung memperkenalkan Alex kepada bibi Maria.

"Ayo, Alex. Bibi Maria ayo ikut makan bersama kita," ajak Stefani.

"Baik, Nona Stefi."

Ketiganya makan bersama, terkadang mereka juga mengobrol di sela suapan.

"Stefi, besok aku akan menjemputmu. Kita berangkat ke kampus bersama," ucap Alex.

"Kampus? Beberapa saat yang lalu Olive mengatakan jika aku dikeluarkan dari universitasku. Aku belum mencari universitas lain. Bahkan aku merasa pesimis bisa diterima di Universitas lain atau tidak," ucap Stefani.

"Aku sudah mengurus semuanya. Mulai besok kau bisa kuliah di univetsitas yang sama dengan aku," ucap Alex santai.

"Apa? Kapan kau melakukan semua itu?" Stefani terkejut dengan kata-kata Alex.

''Itu masalah gampang, Stefi. Aku hanya tinggal menghubungi seseorang dan semuanya beres," jawab Alex.

"Alex ... thank you. Kau dan keluargamu sudah sangat baik padaku." Stefani memeluk Alex yang duduk di sampingnya.

"Kau juga sudah pernah menolongku, anggap saja aku sedang membalas itu," ucap Alex. "Dan tolong lepaskan pelukanmu. Aku susah untuk makan."

"Oh, maaf." Stefani langsung menarik dirinya. "Sekarang kau bisa lanjutkan makanmu."

Stefani memperhatikan Alex saat makan. Pria itu seperti sedang kelaparan.

"Alex, bisakah kau makan pelan-pelan. Aku tidak akan merebutnya darimu," ucap Alex.

"Jangan sia-siakan makanan seenak ini." Alex menjawab dengan mulut yang penuh. Hal itu berhasil membuat Stefani dan bibi Maria tertawa.

Terpopuler

Comments

Diana Susanti

Diana Susanti

lanjut kak mantab 👍👍👍🌹🌹

2023-03-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!