Suara nyaring itu berhasil mengejutkan Antoni, Alice, bahkan hampir semua penghuni di rumah itu datang ke dapur.
Stefani sendiri bersembunyi di balik tubuh Alice seolah meminta perlindungan darinya.
"Kalian pergi saja. Tidak ada apa-apa di sini," ucap Antoni.
Keadaan kembali sunyi. Hanya ada Stefani, Alice, dan Antoni di tempat itu. Alice bisa merasakan getaran tubuh Stefani. Ia pun mencoba untuk membujuk Stefani untuk tidak takut pada Antoni.
"Stefani jangan takut. Dia Antoni, calon suamiku. Aku baru saja menceritakannya padamu," bujuk Alice.
"Apa kau tidak mengenaliku sama sekali? Kau sangat angkuh saat kita bertemu untuk yang pertama kali," ucap Antoni.
"Kapan kita pernah bertemu?" tanya Stefani masih dengan suara yang bergetar.
"Kau masih ingat laki-laki yang pernah kau bawa ke rumah sakit? Sekitar satu bulan yang lalu, namanya Alexander. Dia adikku. Kau juga pernah datang ke kantorku, aku memberimu uang dan kau menolaknya?"
"Cobalah untuk mengingatnya, Stefi," ucap Alice.
Stefani mencoba untuk mengingat-ingat. Kemudian melihat Antoni dari balik tubuh Alice.
"Kau, Tuan Antoni Marcelo Alden?" tanya Stefani dibalas anggukkan Alice. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Stefani.
"Apa yang aku lakukan di sini? Ini rumahku. Aku bebas melakukan apapun di sini,'' jawab Antoni santai.
"Rumahmu?" Stefani memang tak pernah tahu jika dirinya berada di rumah Antoni.
"Stefi, jangan takut. Keluarlah, dia tidak akan mencelakaimu. Dia yang membawamu ke sini," ucap Alice. "Percayalah padaku, Stefi."
Stefani memberikan keberanian untuk dirinya sendiri. Ia keluar dari balik tubuh Alice lalu duduk kembali di tempatnya.
"Jadi ... kau yang membawaku ke sini?" tanya Stefani disambut anggukkan Antoni. "Terimakasih banyak karena kau sudah menolongku."
"Anggap saja ini balas budiku, karena kau telah menolong adikku. Dan ... aku juga ingin meminta maaf padamu, karena aku sudah menabrakmu malam itu," balas Antoni.
"Jika kau tidak menabrakku malam itu, mungkin aku akan mengalami kejadian yang lebih buruk lagi." Stefani teringat malam itu Marco mengejarnya bersama dengan teman-temannya.
"Dan maaf untuk kekacauan ini. Aku akan membereskannya," ucap Stefani.
"Di sini ada banyak pelayan. Biarkan saja, mereka akan membereskannya," ucap Antoni.
"Kau masih lapar, Stefi? Aku akan membuatkan pasta lagi untukmu," ucap Alice.
"Aku merasa kenyang," ucap Stefani. Akan tetapi perutnya berkata lain.
"Kami mendengar perutmu berteriak, Stefi," ucap Alice diikuti tawanya.
"Kau harus banyak makan. Tubuhmu terlihat sangat kurus," ucap Antoni.
Ketiganya memutuskan untuk makan bersama. Sambil makan mereka kembali mengobrol. Perasaan Stefani merasa jauh lebih baik. Bahkan ia bisa menceritakan apa yang sudah dia alami kepada Antoni dan Alice.
"Kau mengingat pria itu?" tanya Antoni ragu. "Tapi ... jika kau merasa berat untuk bicara, maka jangan lakukan."
"Aku tidak terlalu ingat, namanya bahkan aku juga lupa. Tapi mungkin jika aku bertemu dengannya lagi aku akan mengenalinya," ucap Stefani.
"Siapapun orang itu jelas dia bukan orang sembarangan," jelas Antoni.
"Bagaimana kau bisa yakin, Sayang?" tanya Alice.
"Yang aku tahu, orang yang bisa menyewa kamar di hotel itu apalagi kamar presidential suite bukanlah orang biasa. Sangat sulit juga untuk mendapatkan informasi tamu di sana. Dari dulu hotel itu sangat menjaga informasi pribadi para tamu," jelas Antoni.
"Sudahlah, mungkin ini sudah menjadi takdirku. Kini aku hanya takut akan satu hal ...," ucap Stefani.
"Apa yang mau takutkan?" Alice mengenggam tangan Stefani.
"Aku takut jika aku hamil," jawab Stefani.
Ucapan Stefani jelas membuat Alice dan Antoni terkejut. Selama Stefani di rumah itu mereka bahkan tidak berpikir sampai ke sana.
"Sayang, apa selama Stefi di sini dia sudah ... datang bulan?" tanya Alice.
Pertanyaan Alice membuat Antoni bingung untuk menjawab. Ia melihat Alice dengan satu alisnya terangkat.
"Apa kau tidak berpikir lebih dulu sebelum bertanya seperti itu padaku?" tanya Antoni.
"Aku hanya bertanya. Jangan menatapku seperti itu," ucap Alice.
"Pertanyaanmu itu sungguh tidak masuk akal," ucap Antoni.
"Sudah aku bilang aku hanya bertanya. Kau hanya bisa menjawab iya atau tidak tahu. Tapi kau justru menatapku seolah aku sudah melakuan kesalahan yang besar."
"Hei, kenapa kalian jadi berdebat karena masalahku." Stefani menghentikannya perdebatan itu.
"Dia sangat menyebalkan, Stefi," ucap Alice.
"Kau yang sangat menyebalkan," balas Antoni.
Perdebatan Antoni dan Alice berhasil membuat tawa kecil di bibir Stefani.
"Akhiri perdebatan kalian. Sekarang aku ingin bertanya, tanggal berapa sekarang?" tanya Stefani.
"15 Januari," jawab Alice. "Ada apa, Stefi?" tanya Alice saat melihat raut wajah Stefani berubah.
"Aku terlambat datang bulan," ucap Stefani.
"Jangan berpikir yang buruk dulu, Stefi. Alasan terlambat datang bulan bukan hanya karena hamil. Itu bisa terjadi, saat keadaan kau tidak stabil," jelas Alice.
"Semoga saja, Alice. Aku sungguh takut jika itu sampai terjadi. Apa yang akan kukatakan pada orangtuaku nanti," ucap Stefani.
"Untuk lebih jelas, besok aku akan mengundang Calvin ke sini. Dia akan memeriksamu besok," ucap Antoni.
"Itu ide yang bagus," imbuh Alice.
"Baiklah, ini sudah cukup. Kau harus istirahat, Stefani," ucap Antoni saat melihat jam di dinding menunjukkan pukul 3 dini hari.
"Ya kau benar, Sayang. Stefi ayo kembali ke kamar. Kau harus juga harus minum obat," ajak Alice.
"Baiklah." Stefani menganggukkan .
"Oya iya, satu hal lagi. Sekarang weekend, 'kan? Alex akan datang hari ini. Stefi kau pasti akan menyukai Alex saat kau melihatnya nanti," ucap Alice.
"Semoga saja," harap Stefani.
Ketiganya pergi dari dapur, mereka pergi ke kamar mereka. Stefani kembali ke kamarnya bersama Alice. Sampai di kamar Alice langsung memberinya obat.
"Ayo istirahatlah!" ajak AliceAlice setelah melihat Stefani memelan obatnya.
"Alice," panggil Stefani.
"Ada apa?" tanya Alice.
"Bisakah kau tinggalkan aku sendiri? Aku ingin sendiri dulu," pinta Stefani.
"Tapi …." Alice merasa ragu untuk meninggalkan Stefani sendiri.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Alice. Aku tidak akan melakukan tindakan yang akan melukai diriku sendiri. Aku hanya ingin sendiri," ucap Stefani.
"Baiklah. Kau baik-baik saja di sini. Jika kau butuh sesuatu, panggil saja aku dan juga ada telepon khusus di rumah ini. Kau bisa memanggil seseorang dari sini." Alice menunjukkan sebuah telepon di dinding kamar itu lengkap dengan nomor kontak setiap bagian rumah itu.
"Terimakasih banyak, Alice. Selamat beristirahat," ucap Stefani.
"Kau juga," balas Alice.
Setelah Alice pergi, Stefani berjalan ke arah jendela. Sebuah kaca besar di sana memperlihatkan pemandangan malam, nampak sangat gelap di luar sana, tetapi terlihat indah dengan adanya lampu-lanpu jalanan.
Stefani berdiri bersandar pada dinding. Ia memejamkan matanya sekilas bersamaan dengan jatuhnya cairan bening dari matanya. Ingatannya kembali pada kejadian buruk yang menimpanya. Bayangan mantan kekasihnya dan pria yang sudah merenggut kesuciannya kembali muncul di benaknya.
Sebenarnya Stefani tidak tahan dengan keadaannya mengingat dirinya sudah tidak Suci lagi. Ia ingin mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi Stefani mengingat ucapan Alice. Alice pernah mengatakan jika dirinya harus terus berjuang untuk hidup jika bukan untuk sendiri hiduplah untuk orang yang disayangi.
Stefani memikirkan kedua orang tuanya dan orang-orang terdekatnya, itu yang membuat Stefani bertahan. Hanya satu yang masih mengganggu pikirannya, apakah dirinya hamil? Jika iya, apa yang akan ia katakan pada dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Diana Susanti
paling tidak aku masih HIDUP dan bisa tersenyum
2023-03-11
1