Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, karena kebetulan jarak antara lokasi salon dengan restoran cukup jauh, mobil yang dikendarai langsung oleh Kak Ana, akhirnya berhenti juga disebuah parkiran yang disediakan oleh restoran itu. Belum turun dari mobil, entah mengapa firasat Renjani sedikit kurang enak. Rasanya seperti ada sesuatu hal yang akan terjadi, tapi tidak tahu apa.
Dengan wajah datar, Renjani menatap ke arah sang kakak yang saat ini tengah sibuk melepaskan sabuk pengaman. Disini Renjani mencoba untuk mencari jawaban dari firasat buruk yang tiba-tiba menyapa dirinya. Pasti ada alasan dibalik kedatangan perasaan ini.
Seakan susah untuk menebak, Renjani memutuskan bertanya langsung kepada sang kakak. Gadis itu benar-benar berharap kalau pertanyaan yang akan diajukan olehnya akan mendapatkan sebuah jawaban dari sang kakak. Pasalnya tahu sendiri kan, kalau Kak Ana lagi menyembunyikan sesuatu, pasti akan sangat sulit memberikan jawaban pasti. Kakaknya itu terlampau pandai berpura-pura, bersikap seolah tak terjadi apapun padahal aslinya ada hal besar yang menunggu. Meskipun Ana adalah kakaknya, Renjani juga tak terlalu bisa untuk percaya seratus persen kepadanya. Kenapa? Ya, karena Kak Ana nampak begitu abu-abu.
"Kak Ana?" Panggil Renjani yang langsung mendapatkan sahutan dari sang kakak.
"Kenapa dek?"
"Kak Ana gak sedang menyembunyikan apa-apa kan?" Tanya Renjani yang anehnya mampu membuat Kak Ana terdiam dengan kedua mata membulat besar, seakan tengah terkejut.
Kalau hanya dilihat dari gelagatnya sekarang, Kak Ana memang sama seperti orang yang tengah menyimpan sebuah rahasia. Tapi, apa rahasianya? Itulah yang coba Renjani cari tahu. Takutnya rahasia itu menyangkut tentang diri sendiri.
"Tidak ada," jawab Kak Ana mencoba santai.
"Kalau tidak ada, kenapa gelagat kakak sangat aneh? Jujur aja daripada enggak sama sekali," desak Renjani yang begitu ingin mendengar sebuah pengakuan tentang kejujuran dari kakaknya itu.
"Aneh darimana nya? Mungkin itu hanya perasaan mu saja, dek," tutur Kak Ana yang terus mengalihkan pandang dari Renjani, seakan wanita itu enggan untuk menatap mata sang adik.
"Kalau soal Ardhi, kak Ana bisa cerita sama aku," Renjani mulai menyebut nama pria itu, siapa tahu kakaknya jadi ke trigger dan mau mengatakan tentang hal yang sedang disembunyikan.
"Apalagi yang mau diceritakan tentang Ardhi? Bukankah semua sudah kamu tahu? Perjodohan batal dan kakakmu ini berniat pergi liburan ke Paris bersama Bimo," ujar Kak Ana yang sekarang tampak jauh lebih santai daripada tadi.
"Iya, tapi—" belum sempat mengatakan apa-apa, Kak Ana sudah terlebih dahulu memotong.
"Sudahlah dek, berhenti curiga! Gak mungkin kan seorang kakak melukai adiknya?" Kak Ana enggan untuk mendengar ataupun menjawab perkataan dari sang adik.
"Lebih baik kita turun sekarang dan makan. Kakak sudah memesan tempat serta meminta mereka untuk menyiapkan semua makanan yang kamu sukai," sambung Kak Ana kemudian melangkah turun dari mobil.
Dengan firasat tidak enaknya dan juga rasa curiga yang masih menggebu dalam diri, Renjani mau tak mau pun juga ikut turun dari mobil ini, mengikuti sang kakak yang sekarang sudah melangkah terlebih dahulu memasuki restoran itu.
Ketika sudah berada di dalam, mereka berdua langsung mendapatkan sebuah sambutan hangat dari salah seorang karyawan. Tak berfokus pada ucapan sapaan, Renjani malah sibuk mengedarkan pandangan. Rupanya gadis itu tak ada hentinya untuk mendapatkan sebuah jawaban dari firasat buruk dan kecurigaannya.
"Dek?" Panggil sang kakak sambil menepuk pundak dari adiknya itu.
Karena Renjani saking fokus melihat-lihat keadaan sekitar, dirinya sampai tidak sadar kalau pegawai restoran yang tadi menyambut kedatangan mereka itu sudah mulai mengarahkan ke tempat duduk pesanan dari Kak Ana. Apa firasat buruk Renjani memang salah? Sudah mencoba mencari, tapi ia tetap belum bisa mendapatkan jawaban yang tepat.
"Sudah aku bilang kan agar berhenti curiga?" Tegur Kak Ana yang merasa sangat risih dengan kelakuan dari adiknya.
Tanpa ada suara, Renjani hanya menatap ke arah sang kakak dengan sebuah senyuman tipis. Sampai akhirnya, salah seorang pelayan dari restoran ini datang kembali menghampiri mereka berdua sambil memberikan buku menu. Pelayan itu siap untuk menerima pesanan dari mereka berdua.
Pada saat Renjani baru membuka buku menu yang diberikan oleh pelayan itu, tiba-tiba kakaknya meminta izin untuk ke toilet. Katanya, perutnya terasa sakit, seperti terkena sebuah sembelit.
"Kamu pesan dulu aja ya, dek... Aku mau ke toilet bentar," ucap Kak Ana dan dengan cepat berlari menuju ke arah kamar mandi meninggalkan Renjani sendirian.
Firasat memang selalu benar, beberapa menit setelah sang kakak pergi, secara tak terduga sesosok pria yang terlihat sangat tidak asing datang menghampiri Renjani lalu tanpa sungkan mengambil tempat duduk persis di kursi yang tadi sempat dipakai oleh sang kakak. Renjani sudah menduga kalau kehadiran Ardhi di restoran ini merupakan rencana jebakan yang dibuat oleh sang kakak. Sekarang paham kan alasan kenapa Renjani tak mau terlalu mempercayai Kak Ana?
Masih belum ingin menatap ke arah laki-laki bernama Ardhi, Renjani malah sibuk mencari-cari keberadaan sang kakak. Kenapa dia masih berusaha mencari? Padahal jelas kalau sang kakak sudah pergi meninggalkannya. Ingin ke toilet hanyalah sebuah alasan yang digunakan agar bisa pergi. Seharusnya tadi, Renjani tidak memberikan izin, apakah sekarang kakaknya tetap ada disini?
"Kalau mencari Ana, dia sudah tidak ada disini," kata Ardhi memberitahu gadis yang sedang kelihatan gelisah itu.
"Kak Ana pasti masih ada di toilet. Tadi, dia izin mau kesana," rupanya Renjani malah bersikap denial.
"Kamu bisa memeriksanya sendiri. Dia pasti sudah tidak ada di dalam toilet," Ardhi berusaha untuk membuat gadis itu percaya akan fakta bahwa ia sudah ditinggalkan oleh kakaknya.
"Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu sendiri barusan datang," kata Renjani yang tak mau percaya akan ucapan Ardhi.
"Tadi, saya tanpa sengaja berpapasan dengannya. Dia sudah pergi dengan mobilnya," ucap Ardhi lagi berusaha meyakinkan gadis yang tengah bersikap keras kepala itu.
Renjani tahu kalau kak Ana telah berkhianat, tapi sekarang posisinya ia sedang sangat membutuhkan kakaknya itu. Meskipun merasa kesal dan marah karena dibohongi, Renjani tetap mengharapkan keberadaan Kak Ana untuk menghadapi lelaki bernama Ardhi itu. Renjani tak mau terjebak kembali bersama laki-laki yang selalu membuatnya merasa kurang nyaman dan takut.
Tanpa mengatakan lebih dari itu, Renjani dengan berani memilih untuk berdiri dari tempat duduknya lalu melangkahkan kaki menjauh dari meja menuju ke arah kamar mandi. Ardhi yang tahu kalau gadis itu pergi pun menyuruh sang sekertaris agar mengikutinya. Bukan tanpa sebab, Ardhi hanya takut kalau gadis itu ikut pergi, seperti yang dilakukan oleh Ana. Menyuruh sang sekretaris untuk menemani hanyalah sebuah cara dalam berjaga-jaga.
Dengan langkah yang tampak tergesa-gesa, Renjani mulai memasuki toilet wanita dengan Nindi yang terus menemani di belakangnya. Seperti orang panik, Renjani mulai membuka sembarangan semua pintu yang tidak terkunci dan hasilnya semua bilik pintu kamar mandi kosong. Renjani tidak bisa menemukan keberadaan sang kakak. Apa sekarang gadis itu percaya kalau Kak Ana memang sudah meninggalkannya?
Seakan belum ingin menyerah, Renjani pun mengambil ponselnya lalu mencoba untuk menghubungi kakaknya, namun lagi-lagi yang didapatkan hanya sebuah nada sambung. Panggilannya memang tidak ditolak, tapi hanya diabaikan.
"Kalau sudah selesai memastikan, nona bisa kembali ke meja. Tuan Ardhi sedang menunggu keberadaan nona," pinta Nindi terdengar cukup sopan.
Karena memang dirinya sudah tak ingin berurusan ataupun bertemu kembali dengan laki-laki bernama Ardhi, dengan tegas Renjani memberikan sebuah penolakan.
"Aku akan pulang, karena memang sudah tidak ada lagi urusan di tempat ini," ujar Renjani, namun keinginannya ini langsung dihentikan oleh Ardhi. Iya, lelaki itu ternyata kembali datang kepadanya.
"Silahkan saja, saya tidak melarang mu untuk pulang, tapi ingat hal ini... Satu langkah saja kamu melewati pintu itu, saya akan mengatakan semuanya kepada orang tuamu," kata Ardhi terdengar seperti sebuah ancaman.
"Apa kamu sedang mengancam ku?" Renjani memelototi laki-laki itu dengan penuh amarah.
"Bisa dibilang seperti itu. Selama ini saya berusaha untuk tutup mulut meski tahu kalau sudah ditipu oleh kalian berdua hanya karena kamu. Iya, saya tahu kalau semua ini sampai ditelinga Tuan Aries yang pasti akan mendapatkan masalah adalah kamu, bukan Ana," kata Ardhi dengan penuh keyakinan.
Sebenarnya, Renjani juga merasa kalau apa yang barusan dikatakan oleh Ardhi ada benarnya juga. Kenapa? Karena Kak Ana pasti akan berusaha dengan menggunakan berbagai macam cara untuk membela dirinya sendiri. Tuan Aries pasti akan marah kepada Kak Ana, tapi mungkin yang paling banyak kena marah adalah Renjani.
"Bagaimana? Apa kamu masih mau pulang atau tetap disini dan sedikit mengobrol tentang kesepakatan dengan saya?" Tanya Ardhi yang hanya mendapatkan sebuah tatapan tajam dari Renjani.
...•••...
Tidak memiliki pilihan lain, Renjani yang terlihat begitu mempesona dalam balutan gaun berwarna hitam itu tengah terduduk dalam ekspresi wajah gugup, seakan kurang nyaman. Jika dilihat dari kondisi serta suasananya sekarang, sangat wajar bagi gadis yang baru duduk di bangku kelas tiga SMA merasakan hal demikian. Pasalnya sekarang, ia berada pada satu meja yang sama dan duduk saling berhadapan dengan seorang lelaki terkenal, idaman dari seluruh wanita di negara ini.
Meskipun bukan kali pertama bagi Renjani bertemu dengan pria itu, anehnya perasaan gugup dan canggung masih tetap bersemayam dalam dirinya. Renjani yang statusnya masih seorang pelajar, juga merasa kurang pantas berada di satu tempat yang sama dengan pria itu. Apalagi sekarang pria itu sudah tahu mengenai identitas diri yang dari kemarin selalu berusaha di tutupi oleh Renjani.
Tanpa tahu alasan dari pertemuan yang katanya sudah dibatalkan ini, Renjani memutuskan dengan berani untuk meminta maaf kepada pria itu. Sebuah permintaan maaf karena tadi sempat bersikap begitu kasar dan juga tentang kebohongan mengenai identitas diri. Sebenarnya Renjani bukan termasuk orang yang begitu berani, dalam dirinya juga masih tersimpan rasa takut terhadap laki-laki bernama Ardhi itu.
"Saya minta maaf karena sempat berbohong kepada tuan, tapi beneran.... Saya sama sekali tidak ada maksud jahat," ucap Renjani sambil menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah milik pria itu.
Apalagi yang bisa dilakukan oleh Renjani selain mengatakan maaf hanya agar semua ini selesai? Bahkan sekarang kakaknya sudah pergi entah kemana meninggalkannya sendiri untuk mengurus masalah yang harusnya tak menjadi tanggung jawab dari Renjani.
"Kenapa kamu terlihat takut seperti itu? Bukannya tadi kamu sempat meninggikan suara juga kepada saya?" Suara maskulin dari pria itu mulai terdengar menyapa kedua telinga Renjani.
"S-saya tidak takut," ungkap Renjani menutupi perasaannya sendiri.
"Benarkah?" Pria itu tidak mempercayai ucapan yang terlontar dari mulut gadis bernama Renjani. Bagaimana mau percaya? Kalau gelagat Renjani memang kelihatan seperti orang yang tengah menjalani interogasi.
"Iya. Saya sama sekali tidak takut kepada tuan," ucap Renjani menyatakan hal yang sama.
Sekarang bukan Om atau kamu, melainkan Renjani memanggil laki-laki itu dengan sebutan tuan. Kenapa? Dia hanya meniru apa yang biasanya dilakukan oleh Nindi — sekertaris kepercayaan dari Ardhi.
"Kalau memang tidak takut, kenapa sedari tadi kamu menundukkan kepala? Kenapa tidak mau menatap ke arah saya?" Tanya pria itu menelisik sambil tersenyum tipis.
Supaya ucapannya terlihat benar, Renjani mencoba memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya lalu menatap secara singkat wajah pria yang bisa dibilang begitu tampan bagaikan seorang pangeran dari sebuah istana. Karena tahu batas dirinya, Renjani yang memang tak ingin terlalu lama bertukar pandang dengan pria itu pun langsung kembali menundukkan kepalanya, tapi sayang sekali... Tangan besar milik pria itu menghentikannya. Pria yang merupakan seorang CEO dari salah satu perusahaan besar yang ada di negara ini, sama sekali tidak memberikan izin bagi Renjani untuk mengalihkan pandangannya.
"Saya lebih suka ditatap seperti ini sama kamu," kata pria itu.
Meskipun tidak yakin, Renjani dengan canggung mengikuti perkataan dari pria itu. Kini dirinya berhenti menundukkan kepala dan tatapannya hanya berfokus pada sosok pria tampan yang ada dihadapannya.
"Kedatangan saya kemari hanya ingin meminta pertanggungjawaban," ucap pria itu yang masih belum dapat Renjani mengerti.
"M-maksudnya?" Tanya Renjani tampak seperti orang bingung.
"Bukankah kamu sempat mengatakan kalau akan melakukan apapun asal bisa dimaafkan oleh saya?" Pria itu mengingatkan Renjani akan perkataan yang sempat terlontar beberapa waktu lalu.
"Iya, benar."
"Saya akan menerima permintaan maaf itu, asal kamu mau bertanggung jawab."
Setelah dijelaskan cukup banyak, otak dengan kapasitas mungil milik Renjani akhirnya bisa memahami maksudnya. Iya, sangat paham kalau mau dimaafkan, Renjani harus bertanggung jawab dengan mengikuti semua yang diinginkan oleh pria itu. Apa sekarang Renjani punya pilihan untuk menolak? Tentu saja, tidak. Ini terkesan seperti sebuah de javu.
"Bagaimana saya harus bertanggung jawab?" Tanya Renjani ingin tahu.
Renjani benar-benar berniat untuk berdamai dengan pria itu. Tak ingin terlibat agar hidupnya lebih damai. Rindu kehidupan normalnya sebelum ia setuju akan membantu sang kakak.
"Tentu saja, dengan tetap berkencan seperti yang kita lakukan sekarang," jawab pria itu yang mampu membuat Renjani terkejut.
Jelas-jelas disini Renjani sudah ketahuan berbohong, tapi kenapa pria itu justru masih ingin melanjutkan hubungan kencan ini? Rasanya seperti Renjani akan terjebak bersama pria itu dalam waktu yang cukup lama.
"Apa saya tidak bisa melakukan hal lain untuk bertanggung jawab?" Tanya Renjani yang terlihat seperti gadis polos.
"Tidak ada." Singkat pria itu.
Tahu kalau dirinya kembali berada di jalan buntu, berhasil membuat sebuah helaan napas berat terdengar begitu jelas. Jujur saja, walaupun tahu cukup banyak mengenai kehebatan dari pria itu, Renjani tetap tak ingin melanjutkan hubungan kencan buta ini. Anggap saja Renjani sebagai orang bodoh karena dengan mudahnya melewatkan kesempatan emas yang selalu diinginkan oleh banyak wanita, tapi kalau tetap berkencan dengan pria itu, bisa saja Renjani juga akan kehilangan cintanya.
"Sekali lagi saya minta maaf, tapi kalau harus melanjutkan kencan buta dengan tuan, saya akan selalu merasa tidak enak hati," ungkap Renjani yang memberanikan diri untuk berkata jujur apa adanya.
Masih belum tahu apa yang tengah direncanakan, Renjani kembali dibuat bingung, pada saat melihat pria itu mengeluarkan secarik kertas dari dalam amplop coklat. Renjani tidak tahu pasti mengenai isinya, tapi jika diperhatikan secara cermat, hampir kelihatan seperti sebuah surat perjanjian.
"Baiklah. Saya akan hargai penolakan kamu, namun tolong tanda tangani ini terlebih dahulu," ucap pria itu menyodorkan selembar kertas berserta pena ke arah Renjani.
"Ini apa?" Tanya Renjani sambil mengambil kertas itu dengan ragu-ragu.
"Hanya sebuah surat yang menyatakan kalau kamu akan memberikan kepada saya kompensasi sebesar dua ratus juta," kata pria itu memberitahu terlebih dahulu sebelum Renjani sempat membaca keseluruhan isi dari kertas itu.
"Kompensasi? Dua ratus juta?" Karena saking terkejut, Renjani sampai menutup mulutnya. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Melihatnya pun, Renjani belum pernah.
"Disini kamu memiliki dua pilihan. Setuju untuk tetap berkencan dengan saya atau menolak dan membayar kompensasi itu," tak disangka ternyata pria yang kelihatan sempurna, juga memiliki sisi licik.
"Tapi, kompensasi sebesar itu untuk apa?"
"Untuk waktu yang sudah saya habiskan dalam kencan buta ini. Dua ratus juta termasuk dalam jumlah keuntungan kecil yang selalu saya dapatkan setiap hari," kata pria itu menjelaskan.
Seusai mendengar semuanya, entah mengapa semangat yang dimiliki oleh Renjani mendadak hilang. Gadis berusia 18 tahun itu tampak begitu lemas ketika tahu mengenai dua pilihan yang sama sekali tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa terlibat dalam kondisi yang selalu menyulitkan ini? Kalau punya kekuatan untuk memutar waktu, Renjani sangat ingin melakukannya.
"Bagaimana Renjani? Pilihan mana yang mau kamu ambil?" Desak pria itu ingin tahu mengenai keputusan final dari Renjani.
"Saya—" Renjani terdiam sejenak sambil memandangi kertas itu, sampai akhirnya sebuah keputusan berhasil diambil oleh gadis muda itu.
"Bisa beri sedikit waktu kepada saya untuk berpikir?" Rupanya ia memilih jalur yang aman.
"Tiga hari? Apa itu cukup?" Tanya Ardhi yang masih ingin berbaik hati kepadanya.
Daripada tidak diberi, Renjani pun menerima waktu tiga hari itu. Dia pasti akan menggunakan waktu yang ada untuk memikirkan semuanya secara matang-matang. Belajar dari pengalaman, Renjani tak mau mengambil keputusan yang salah lagi, seperti dulu yang dia lakukan saat berniat membantu kakaknya.
^^^Bersambung...^^^
Catatan kecil :
- terima kasih karena sudah mau mampir di karya tulis ini. Mohon berikan dukungannya agar penulis bisa lebih rajin update dan juga semakin giat dalam membuat karya tulis lainnya.
- karya masih on going dan akan terus di update. Untuk pembaca diharap sabar menunggu kelanjutannya.
Story ©® : Just.Human
*please don't copy this story.
Find Me
✓ Instagram : just.human___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments