— 07.

Ardhi sama sekali tak memberikan reaksi apapun kepada semua tingkah konyol yang dilakukan oleh Renjani. Panggilan 'Om' yang beberapa kali digunakan oleh Renjani untuk memanggilnya seakan tidak membuat perubahan apapun. Lelaki itu tampak tenang dan dari raut wajahnya sama sekali tidak menunjukan kalau ia sedang merasa risih.

Melihat sosok Ardhi yang terus saja memberikan reaksi datar, mampu membuat Renjani kelelahan. Apa sekarang dirinya memang harus menyerah pada rencana itu dan membuat semuanya berantakan? Capek juga kalau harus terus berakting seperti sekarang ini, tapi malah menghasilkan sesuatu yang sia-sia.

Karena merasa muak dengan semuanya, Renjani pun mencoba melepaskan topi pantai yang sejak tadi dikenakannya, lalu setelah itu meneguk minuman untuk melegakan tenggorokannya yang sekarang terasa cukup kering, karena terlalu banyak berbicara. Biarkan Renjani istirahat sebentar, sebelum nanti mulai berulah lagi.

Waktu Renjani tengah meneguk minumannya, secara tidak terduga seorang perempuan cantik yang mengenakan setelan blazer datang menghampiri lelaki bernama Ardhi itu. Renjani yang melihat perempuan itu pun sangat dibuat penasaran sekaligus terpukau akan kecantikannya. Kenapa lelaki itu harus menghadiri kencan buta disaat ada perempuan cantik didekatnya?

"Saya membawakan pakaian, sesuai dengan yang tuan perintahkan," ucap perempuan itu sambil memberikan sebuah paper bag kepada atasannya.

"Tolong kamu berikan ke dia! Sepertinya dia sangat membutuhkannya," perintah Ardhi yang menunjuk Renjani menggunakan matanya.

Sesuai perintah dari atasan, perempuan yang diketahui adalah seorang sekertaris itu pun memberikan paper bag kepada Renjani. Jujur, mendapatkan paper bag mampu membuat seorang Renjani kebingungan. Kenapa Ardhi memberikan ini kepada dirinya? Hanya lewat tatapan mata yang dipenuhi oleh pertanyaan, Renjani bertanya kepada Nindi — sekertaris kepercayaan dari Ardhi.

"Tuan memintamu untuk mengganti pakaian," kata Nindi memberitahu maksud dan tujuan dari pemberian paper bag ini.

"Ganti pakaian? Tapi, kenapa? Aku masih merasa nyaman kok dengan pakaianku," ujar Renjani berbohong akan keadaannya sendiri.

"Bagaimana kamu bisa mengatakan hal itu? Sejak datang, raut wajahmu mengatakan hal yang berbeda," ucap Ardhi yang akhirnya bersua juga.

Lelaki itu memang terlihat acuh, tapi sebenarnya memperhatikan semua. Dia bahkan bisa tahu kalau sekarang Renjani merasa kurang nyaman dengan pakaian yang tengah dikenakan. Bukankah dia seperti tipe lelaki tsundere? Kelihatan cuek, tapi ternyata begitu amat perhatian?

Sembari menatap ke arah lelaki itu, Renjani dengan ragu mengambil paper bag dari tangan Nindi — sekertaris kepercayaan Ardhi. Tanpa berlama-lama lagi, Renjani pun melangkahkan kakinya menuju ke arah toilet. Iya, dia berniat untuk mengganti pakaian yang cukup membuat risih ini.

Sesampainya di toilet, Renjani sangat terkejut ketika melihat pakaian pemberian dari lelaki bernama Ardhi itu. Meskipun tak terlalu mengenal fashion, Renjani tetap tahu kalau pakaian bermodel gaun yang kini tengah dia pegang berasal dari sebuah merk terkenal. Renjani tahu merk-nya karena seringkali melihat sang kakak mengenakannya.

"Apa dia serius memintaku mengganti pakaian dengan ini?" Tanya Renjani yang sekarang merasa kurang pantas kalau mengenakan gaun semahal itu.

Di tengah kebimbangannya, Nindi — sang sekretaris, yang dikira tetap bersama dengan atasannya, ternyata harus repot-repot ikut datang ke toilet untuk menemani seorang Renjani mengganti pakaiannya.

"Kenapa hanya dilihat? Jangan membuat Tuan Ardhi menunggu terlalu lama!" Tegur Nindi yang mendesak agar Renjani dengan segera mengganti pakaiannya.

"Apa aku harus mengenakan pakaian ini?" Tanya Renjani terdengar cukup konyol.

"Lalu? Jika bukan baju ini, kamu mau mengenakan apa?" Nindi juga merasa bingung bagaimana harus menanggapi pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Renjani.

"Harganya terlalu mahal, aku takut merusaknya," ucap Renjani jujur.

Walaupun Renjani tinggal bersama di dalam sebuah keluarga kaya yang seharusnya sangat merasa familiar dengan barang-barang mahal, tapi sifat sederhana yang dimiliki oleh Renjani tetap masih menempel begitu kuat dalam dirinya. Renjani tak bisa lupa mengenai asal tempatnya, sebelum diangkat oleh keluarga ini.

"Putri dari Tuan Aries mengatakan hal seperti itu? Apa kamu tidak sedang bercanda?" Disini Renjani lupa kalau ia harus memainkan peran sebagai Kak Ana. Kesalahannya ini, mampu membangkitkan sebuah kecurigaan dari Nindi.

Sambil menatap canggung ke arah Nindi, Renjani pun memilih untuk bergegas masuk ke dalam bilik toilet dan mengganti pakaiannya dengan gaun yang jauh lebih terasa nyaman. Tak butuh waktu lama, Renjani akhirnya keluar dalam balutan sebuah gaun sederhana berwarna putih. Penampilannya sekarang jauh lebih baik daripada tadi.

Dengan langkah yang jauh lebih percaya diri, Renjani keluar dari toilet lalu berjalan kembali ke arah meja, tempat dimana laki-laki bernama Ardhi itu berada. Semua yang terjadi sekarang, sudah sangat diluar kendali dan tak lagi berfokus pada rencana. Bukan sengaja mengacaukannya, tapi memang sedikit sulit untuk tetap berada di jalur.

"Apa sekarang sudah terasa jauh lebih nyaman?" Tanya Ardhi yang kini terlihat tengah sibuk memotong daging steak pada piringnya.

Sedikit merasa gengsi untuk mengatakan 'nyaman', Renjani lebih memilih untuk tersenyum tipis. Tak dipungkiri, kalau gaun yang sedang dikenakan sekarang ini terasa jauh lebih nyaman. Gaun kuning dengan motif bunga warna-warni tadi, sanggup membuat keringat di tubuh Renjani mengalir keluar semua.

"Apa om memberikan pakaian ini untuk aku?" Tanya Renjani sedikit ragu.

"Saya sama sekali tak pernah meminta kembali barang yang sudah diberikan. Gaun itu memang untuk kamu," jawab Ardhi sambil menukar piring steak milik Renjani. Iya, lelaki itu memberikan kepada Renjani piring dengan steak yang sudah terpotong-potong.

Melihat perlakuan baik yang dilakukan oleh lelaki itu, berhasil memunculkan sebuah senyuman tipis. Memang benar, lelaki bernama Ardhi itu sebenarnya juga memiliki sisi hangat. Tidak selamanya dia bersikap dingin seperti balok es batu.

Baru mau menikmati daging steak yang telah dipotong oleh Ardhi, secara tak terduga ponsel miliknya berdering. Sekarang, Renjani tengah mendapatkan sebuah panggilan dari sang kakak. Kenapa kakaknya menghubungi? Apa dia ingin memprotes atau mengingatkan Renjani tentang rencana yang sudah jelas-jelas gagal ini?

Terlihat ragu, Renjani yang tak ingin mengabaikan panggilan ini pun mulai menekan tombol hijau yang terdapat pada layarnya. Renjani menjawab panggilan dari sang kakak yang sekarang ini tengah memantau dari kejauhan.

"Iya?" Disini Renjani mencoba menjaga kata-katanya, takut kalau salah bicara.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa berganti pakaian?" Tanya Kak Ana terdengar sedikit kesal.

"Tidak bisa menolak," Renjani menjawab jujur.

"Dek, kamu masih ingat rencana kita kan?" Kak Ana tak ada habisnya mengingatkan Renjani mengenai rencananya.

"Ingat, tapi keadaan disini sedikit menyulitkan," jawab Renjani mulai sedikit mengecilkan volume suaranya.

"Apa yang sulit?" Tanya Kak Ana dari balik panggilan ini.

"Semua."

"Perhatikan saja sikapmu! Jangan terlalu menarik perhatian darinya! Ingat ya, dek... Mau gimana pun caranya, Ardhi harus membatalkan perjodohan ini," ucap Kak Ana seakan tak ingin tahu kesulitan yang tengah dialami oleh sang adik.

Belum sempat mengatakan apapun, lelaki bernama Ardhi itu pun tanpa ragu membuat beberapa ketukan di meja. Sepertinya dia hanya ingin mengingatkan Renjani tentang sopan santun saat berada di meja makan.

"Aku harus menutup panggilannya. Nanti, akan aku hubungi kembali," tukas Renjani, mau tidak mau harus mengakhiri panggilan dengan kakaknya itu.

Setelah menutup panggilan ini, Renjani pun kembali menatap ke arah Ardhi sambil kepalanya mulai memikirkan cara untuk mengulang kembali rencana yang telah hancur itu. Renjani berniat mencoba kembali, tapi kalau tetap gagal dirinya akan memilih menyerah.

"Om?" Panggil Renjani tiba-tiba dan hanya mendapatkan sebuah tatapan datar tanpa ekspresi dari lelaki bernama Ardhi itu.

"Mau aku beritahu suatu rahasia?" Tanya Renjani sambil tersenyum tipis.

"Rahasia tentang apa dan siapa?" Ardhi kelihatan seperti mulai tertarik dan ingin tahu.

"Tentang diriku. Sebelum kita benar-benar menikah, bukankah sebaiknya aku membuka rahasia diri sendiri?" Renjani hanya berpikir untuk menjelekan diri sendiri dengan maksud agar Ardhi bisa merasa ilfil dan langsung ingin membatalkan perjodohan ini.

"Katakan," suruh Ardhi siap mendengarkan apapun yang keluar dari mulut Renjani.

"Sebenernya nih om, aku kalau di rumah sangat jarang mandi. Terus nih ya, aku orangnya selalu mager, sukanya rebahan. Terus kalau tidur suka mendengkur, ileran juga. Terus anaknya pecicilan dan selalu nyusahin. Yakin, om tetap mau nikah sama aku?" Ucap Renjani dengan penuh harap kalau cara ini akan berhasil membuat Ardhi menyerah akan perjodohan.

Mendengar semua rahasia yang hampir seperti omong kosong itu membuat Ardhi harus meneguk minumannya. Dia melakukan itu bukan karena sudah ilfil, tapi hanya perlu membasahi tenggorokan yang dirasa kering.

"Benarkah? Kalau begitu mari bertemu lagi. Sepertinya saya memang sudah menyukai gadis yang kalau tidur ileran," kata Ardhi dan ini membuat Renjani terkejut. Apa lelaki itu sudah gila? Bagaimana bisa dia tetap merasa baik-baik saja setelah mendengar semua hal buruk itu?

"Om bercanda?" Tanya Renjani dengan kedua mata yang membelalak lebar.

"Saya tidak pernah bercanda," jawab Ardhi tegas.

Mendengar itu, Renjani tanpa sengaja mulai meneguk saliva nya sendiri. Sepertinya memang sekarang saat yang tepat untuk menyerah. Mau memikirkan cara lain pun, Renjani selalu merasa kalau hasilnya akan tetap sama. Ardhi memang sudah bersikeras dalam menerima perjodohan ini.

"Om, kekurangan saya ini banyak. Bukankah lebih baik kalau—" belum selesai dengan kalimatnya, Ardhi secara sepihak mulai memotong perkataan itu. Seakan Renjani sudah tak diperbolehkan untuk berbicara lebih dari ini.

"Jangan mencoba melakukan apapun! Atau memikirkan cara supaya saya menolak perjodohan ini! Karena semakin kamu melakukannya, saya malah makin tertarik untuk mengenal kamu," ucap Ardhi tanpa sungkan.

Renjani yang mendengar itu pun mulai khawatir. Mungkinkah dirinya akan terjebak dengan lelaki bernama Ardhi itu? Bagaimana kalau misalnya suatu hari Ardhi tahu mengenai identitas dirinya? Semua yang terjadi sekarang sama sekali tidak boleh berlanjut. Renjani harus segera mengakhirinya.

"Kalau begitu, sepertinya aku yang harus menolak perjodohan ini," kata Renjani sambil menatap tajam ke arah lelaki yang ada dihadapannya.

"Memangnya kamu punya kuasa untuk melakukan itu? Bukankah Tuan Aries sudah sangat memaksa kamu untuk setuju dengan perjodohan ini?" Tanya Ardhi sambil melipat kedua tangannya tepat di depan dada.

Renjani memutar kedua bola matanya, bingung harus menjawab seperti apa. Kalau memang sedari awal bisa menolak, kak Ana juga tak akan membuat dirinya terlibat sampai seperti ini. Alasan dari semua rencana, hanya agar perjodohan bisa ditolak oleh pihak laki-laki. Kak Ana beranggapan kalau hanya Ardhi yang bisa membatalkan perjodohan ini.

Belum diberikan kesempatan untuk menjawab, sekertaris kepercayaan Ardhi kembali datang mendekat ke arah meja. Bukan dengan maksud menganggu, Nindi hanya memberitahu tentang waktu keberangkatan ke Jepang sudah kurang dari satu jam. Ini berarti, Ardhi harus segera mengakhiri pertemuan.

"Tuan, sudah waktunya pergi," kata Nindi memberitahu.

Ardhi yang memang telah usai dengan makanannya pun bergegas untuk bangkit dari tempat duduk, lalu  mulai kembali mengenakan jas yang tadi sempat ditanggalkannya.

"Saya harus pergi. Apa kamu bisa pulang sendiri?" Tanya Ardhi sebelum kakinya melangkah keluar dari restoran ini.

"Iya. Aku bisa pulang sendiri," kata Renjani sambil memberikan sebuah senyuman kecil.

"Baiklah. Maaf karena tidak bisa mengantarmu pulang dan harus pergi sekarang. Senang bisa bertemu dan berbincang dengan mu," tukas Ardhi kemudian mulai berjalan keluar meninggalkan meja. Renjani yang masih ada di tempatnya pun hanya bisa menatap punggung atletis milik lelaki itu yang semakin lama mulai menjauh dan menghilang dari pandangan.

Tak berselang lama setelah kepergian Ardhi, Renjani yang memilih untuk terlebih dahulu menghabiskan makanan pun di datangi oleh sang kakak. Sejak tadi menunggu di mobil sambil memantau semua, rasanya banyak keluhan yang ingin diberikan oleh Kak Ana.

"Apa kamu menikmati gaun barumu itu?" Tanya Kak Ana yang kini telah mengambil tempat duduk persis dihadapan dari sang adik.

"Aku tak memiliki pilihan. Lelaki itu susah untuk ditolak," jawab Renjani jujur.

"Bagaimana? Apa berhasil? Ardhi mau menolak perjodohan ini kan?" Tanya Kak Ana mencari tahu hasil dari rencananya.

Ditanyai seperti itu oleh sang kakak, mampu membuat Renjani berhenti menyantap hidangan yang tinggal sisa sedikit. Sekarang bagaimana caranya menjawab pertanyaan dari Kak Ana? Mau berbohong atau jujur?

"Banyak yang gagal," ungkap Renjani sambil menundukkan kepalanya tampak bersalah.

"Sudah kuduga. Kalau berhasil, lelaki itu tidak mungkin memberikanmu gaun baru," kata Kak Ana sambil tertawa kecut.

"Maafkan aku, kak. Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi lelaki itu memang tidak mudah untuk ditangani," ujar Renjani memberitahu kesulitan yang sempat dialami saat berhadapan dengan lelaki bernama Ardhi itu.

Mengetahui hal itu, Kak Ana seketika langsung memijat kepalanya. Sepertinya dia harus merencanakan hal lain. Bagaimana pun caranya, perjodohan ini harus diakhiri?

"Lalu? Apa dia mengajakmu bertemu lagi?" Tanya Kak Ana dan dengan cepat mendapatkan sebuah anggukan lemah dari Renjani.

Ketika adik kakak itu tengah berbincang, secara tak terduga sekertaris kepercayaan dari Ardhi kembali lagi kepada Renjani. Kedatangannya mampu membuat Kak Ana dengan cepat mencoba menutupi bagian wajahnya.

"Maaf nona. Ada hal yang harus disampaikan. Ini pesan dari Tuan Ardhi," kata Nindi dengan pandangan malah salah fokus kepada sosok Kak Ana yang tengah menutupi wajahnya dengan buku menu.

"Pesan? Kenapa?" Tanya Renjani tampak sedikit was-was, takut kalau Nindi mencurigai sesuatu.

"Tuan bilang, kalau untuk pertemuan kedua, beliau yang akan mengirimkan gaun," ungkap Nindi menyampaikan pesan yang tadi tidak sempat dikatakan oleh sang atasan.

"Baik. Apa hanya itu?" Renjani bertanya untuk memastikan lagi.

"Iya." tutupnya sambil berpamitan pergi dengan pandangan masih berfokus pada Kak Ana.

Seusai Nindi melangkah pergi, Kak Ana menaruh kembali buku menu yang menutupi wajahnya, lalu menghela napas berat. Kak Ana tengah dirundung rasa bingung untuk mengakhiri semuanya.

"Dek, ini kesempatan kedua. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya," ucap Kak Ana terdengar serius.

^^^Bersambung...^^^

Catatan kecil :

- terima kasih karena sudah mau mampir di karya tulis ini. Mohon berikan dukungannya agar penulis bisa lebih rajin update dan juga semakin giat dalam membuat karya tulis lainnya.

- karya masih on going dan akan terus di update. Untuk pembaca diharap sabar menunggu kelanjutannya.

 

Story ©® : Just.Human

*please don't copy this story.

Find Me

✓ Instagram : just.human___

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!