— 10.

Akhirnya setelah kurang lebih satu jam menerima hukuman dari guru BK yang meminta agar dirinya berdiri dengan sikap hormat di hadapan tiang bendera, Renjani bisa kembali ke kelasnya dan merasakan udara sejuk dari pendingin ruangan. Ini belum sampai ke penghujung hari, tapi anehnya sudah cukup membuat gadis bernama Renjani itu kelelahan.

Baru saja Renjani duduk untuk mengistirahatkan kedua kakinya yang terasa hampir mau lepas karena terlalu lama berdiri, secara tiba-tiba ponsel miliknya yang ada di dalam tas sekolah berdering. Meski sebentar, tidak bisakah Renjani dibiarkan sendiri?

Dengan memasang wajah malas, Renjani mulai meraih ponsel pribadinya lalu menatap ke arah layar bermaksud untuk mencari tahu siapa gerangan yang sudah berani mengacaukan waktu istirahatnya. Wajahnya sekarang mendadak berubah kesal karena tulisan 'nomor pribadi' yang benar-benar mengganggu. Bagaimana Renjani mau tahu, kalau si penelepon memilih untuk merahasiakan nomor nya?

"Dengan Renjani disini. Kalau boleh tahu, saya sedang berbicara dengan siapa?" Walau merasa kesal, Renjani tetap menjawab panggilan itu karena takutnya memang penting.

"Maaf menganggu waktu berharga dari nona. Saya Nindi, sekertaris dari Tuan Ardhi," kata seseorang dari balik panggilan yang mampu membuat Renjani untuk sebentar menjauhkan ponsel dari telinganya. Mendapatkan sebuah panggilan tak terduga dari sekertaris Ardhi — lelaki yang dijodohkan oleh sang kakak, sangat membuatnya terkejut.

Terdengar sedikit gagap, Renjani mencoba untuk menanyakan maksud dan tujuan Nindi menghubungi dirinya pada saat yang bisa dibilang kurang tepat. Posisi Renjani sekarang tengah berada di sekolah dan barusan menyelesaikan hukuman dari guru BK. Sebenarnya bukan kurang, tapi waktu Nindi menghubungi memang sama sekali tidak tepat.

"I-iya. Ada apa ya?" Renjani berharap mendapatkan sebuah jawaban langsung tanpa harus mendengarkan sebuah basa-basi.

"Karena panggilan internasional cukup mahal, jadi saya akan langsung pada inti pembicaraannya," ujar Nindi kepada Renjani yang begitu siap mendengarkan.

"Besok sore, Tuan Ardhi ingin—" disaat Nindi ingin mengatakan maksud dan tujuannya menelepon, secara tidak terduga Aurora teman sekelas Renjani memanggil dengan suara cukup lantang.

"Renjani..."

Sebuah panggilan yang menyebut nama itu mampu membuat jantung Renjani berdebar cukup kencang. Apakah sekarang dia sudah ketahuan berbohong? Renjani sangat berharap jika Nindi tak mendengar apapun.

"Maaf, sebentar," kata Renjani meminta waktu untuk mengurus tentang Aurora.

Sebelum semakin banyak hal yang dikatakan, lewat isyarat mata Renjani meminta kepada Aurora untuk diam sejenak. Renjani juga menegaskan kepada teman sekelasnya itu soal panggilan penting yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Untung saja Aurora mengerti dan menurut dengan mudah.

"Silahkan dilanjutkan," ucap Renjani.

"Apa saya benar-benar sedang berbicara dengan nona Anastasia?" Sebuah pertanyaan yang paling tidak diharapkan, akhirnya keluar juga dari mulut Nindi. Sekarang bagaimana cara untuk mencari alasan?

"Iya, i-ini dengan Anastasia," Renjani tetap mengaku seperti itu dan melakukan sebuah kebohongan yang sudah dilakukannya kemarin.

"Tadi, saya dengar ada seseorang yang memanggil Renjani?" Nindi hanya mencoba menelisik ingin tahu saja.

"Maaf, tapi sekarang posisinya aku sedang ada di butik. Jadi, kalau mendengarnya itu berasal dari orang lain," kata Renjani berhasil membuat alasan untuk mengamankan kebohongannya.

"Baik, saya mengerti." Untung saja Nindi tidak memperpanjang masalah soal nama itu.

"Jadi, kenapa kamu menghubungiku?" Renjani mencoba kembali mengarahkan pembicaraan sesuai topik awal.

"Saya hanya ingin memberitahu kalau besok sore tuan Ardhi berniat untuk menemui nona kembali," ucap Nindi dari seberang panggilan ini.

"Tunggu. Bukankah katanya dia akan menemui ku tiga hari lagi? Kenapa jadi dimajukan? Apa dia sekarang sudah ada di negara ini?" Tanya Renjani kedengaran bingung.

"Tuan sengaja mempercepat urusan bisnisnya hanya agar bisa cepat-cepat menemui nona," jawab Nindi dan ini mampu memunculkan sebuah tawa kecil dari Renjani.

"Apa sekarang dia sedang mencoba menarik perhatian dariku?" Tanya Renjani yang sama sekali tak mendapatkan balasan apapun dari Nindi.

"Saya juga sudah mengirimkan sebuah gaun yang bisa nona kenakan untuk pertemuan di esok hari," ujar Nindi dan ini membuat seorang Renjani terkejut. Dia mengirimkan gaun ke alamat rumah mana? Rumah Kak Ana atau rumah tempat Renjani tinggal bersama kedua orang tua? Seperti yang diketahui kalau Anastasia sudah tinggal sendiri di sebuah apartemen.

"Apa kiriman gaun itu belum sampai?" Imbuh Nindi dengan sebuah pertanyaan.

"I-iya, b-belum aku terima," jawab Renjani belum tahu.

"Baiklah. Kalau begitu saya akan mengakhiri panggilan ini. Selamat siang, nona Anastasia," tukas Nindi diiringi dengan suara panggilan tertutup.

Karena diberitahu soal kiriman gaun, Renjani harus mencoba mencaritahu. Tidak mau kejadian seperti semalam terulang — ketika dirinya menelepon sang kakak, Renjani memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Kak Ana.

Renjani :

Apa kakak mendapatkan kiriman sebuah gaun dari Ardhi?

Pesan balasan dari Kak Ana tak perlu ditunggu. Kesibukan dengan segala pekerjaan yang mampu membuat Kak Ana selalu saja lama dalam hal membalas pesan. Menurut perkiraan Renjani, mungkin kakaknya akan membalas sore nanti. Satu-satunya waktu senggang yang dimiliki oleh Kak Ana hanya ada saat matahari hampir terbenam.

...•••...

Di bagian lain dari Bumi, tepatnya di negara yang memiliki julukan sebagai negeri matahari terbit, Ardhi yang baru saja menyelesaikan rapat penting dengan salah seorang klien pun bergegas menuju ke kantor cabang. Bukan hanya sekedar menghadiri pertemuan bisnis, kedatangan Ardhi ke negara ini juga untuk membereskan masalah yang ada pada kantor cabang dari perusahaannya.

Beberapa waktu yang lalu, saat Ardhi masih sibuk berbincang sambil menikmati jamuan makan siang dengan sang klien, dirinya mendapatkan sebuah panggilan penting dari salah seorang pegawai keuangan yang memberitahukan informasi kalau tengah terjadi salah hitung yang mengakibatkan tiga miliyar uang perusahaan hilang.

Kehilangan uang dengan nominal cukup besar, bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan dengan mudah. Jika ini terus dibiarkan tanpa adanya penyelesaian, mungkin secara perlahan-lahan akan berakibat fatal pada kelancaran bisnis dari perusahaannya. Maka dari itu, tidak heran bila Ardhi meminta untuk segera mengunjungi kantor cabang dari perusahaannya.

Selama perjalanan menggunakan mobil, Ardhi terus saja memandangi layar iPad nya dan berfokus membaca semua rincian keuangan yang tadi sudah diserahkan oleh pegawai keuangan itu. Cukup untuk membaca dan memastikan, Ardhi yakin kalau ini bukan hanya sekedar masalah hitung. Kalau boleh curiga, ini pasti ada oknum yang tengah menyalahgunakan jabatannya. Ardhi yakin uang tiga milyar itu hilang karena dicuri bukan salah hitung.

"Nindi?" Panggil Ardhi kepada sang sekertaris yang saat ini masih setia mendampingi di sebelahnya.

"Iya tuan?" Jawab Nindi dengan cepat sambil matanya juga terus menatap pada sebuah berkas yang berisi banyaknya tulisan angka-angka.

"Manajer Masaki, apakah dia sedang ada masalah pribadi?" Tanya Ardhi kepada sang sekretaris.

"Menurut kabar yang beredar di kantor cabang, Tuan Masaki tengah terlilit hutang dan itu karena putranya selalu menghamburkan uang ke kasino," ujar Nindi memberitahukan hal penting.

Mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Nindi, seketika mampu membuat Ardhi meletakan iPad yang sejak tadi dipegangnya. Ardhi sudah selesai menganalisa dan mencari tahu mengenai kepergian uang tiga milyar itu. Apakah sekarang masih perlu ada pertanyaan lagi?

"Sepertinya kita harus mencari manajer baru. Saya rasa, sudah tidak ada lagi yang patut dipertahan dari Tuan Masaki," ujar Ardhi sembari menyilangkan tangan di depan dada, lalu menutup matanya. Kini Ardhi memang terlihat begitu nyaman dalam posisi duduknya.

"Apa tuan ingin saya untuk membuka sebuah lowongan?" Tanya Nindi yang ternyata juga memahami maksud perkataan dari sang atasan.

"Tentu saja. Bukankah itu yang seharusnya kamu lakukan?" Kata Ardhi yang ternyata setuju membuka sebuah lowongan pekerjaan untuk menggantikan posisi dari Tuan Masaki — seorang yang kurang lebih selama lima tahun sudah menjabat sebagai manajer di kantor cabang Jepang.

Karena memang masalah tentang hilangnya uang perusahaan sudah diketahui, Ardhi pun masih memiliki banyak waktu untuk menanyakan hal lain kepada sang sekretaris. Semenjak kemarin menghadiri kencan buta, ada cukup banyak hal yang ingin diketahui oleh Ardhi. Ini soal gadis yang mengaku memiliki nama Anastasia.

"Jadi, bagaimana tentang gadis yang kemarin? Apa kamu sudah mencoba mencari tahu?" Tanya Ardhi dengan penuh harap kalau sang sekretaris memang memiliki sebuah informasi penting mengenai gadis yang katanya bernama Anastasia itu.

"Namanya Renjani dan dia adalah adik dari nona Anastasia," ucap Nindi yang tak ragu untuk membongkar kebohongan yang dilakukan oleh Renjani dan juga sang kakak.

"Tuan Aries memiliki putri selain Anastasia?" Tanya Ardhi yang telah merasa tertarik dengan informasi mengenai pasangan kencan buta nya kemarin.

"Beliau memang hanya memiliki satu putri dan Renjani ini merupakan anak angkatnya," ucap Nindi memberitahu bagian terpentingnya.

"Apa kamu sudah menyiapkan tiket penerbangan untuk esok pagi?" Ardhi mempertanyakan hal lain.

"Tentu saja sudah. Saya selalu melakukan sesuai yang tuan perintahkan," kata Nindi sembari memberikan selembar tiket pesawat, first class untuk besok.

"Baiklah. Saya memang harus segera menemui gadis itu lagi," pungkas Ardhi menutup pembicaraan dengan sang sekertaris.

.

.

.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya mobi yang ditumpangi oleh Ardhi beserta dengan sang sekertaris tiba juga di sebuah gedung yang menjadi tempat bagi kantor cabang perusahaan Moonlight Group.

Ardhi yang memang sudah tak mau membuang waktu lebih banyak lagi pun memutuskan untuk segera keluar dari mobil tanpa menunggu salah seorang pegawai membukakan pintu bagi dirinya.

Lelaki yang kini menjadi pimpinan paling dihormati oleh seluruh karyawan perusahaan serta semua rekan bisnisnya itu mulai melangkah memasuki gedung perusahaan. Walaupun hanya berjalan biasa, lelaki yang kerap disapa Ardhi itu terlihat begitu berwibawa. Jabatan CEO memang begitu cocok melekat pada dirinya. Pilihan dari sang kakek yang menjatuhkan hak waris perusahaan ke Ardhi memang tak salah. Terbukti, kalau sekarang Ardhi begitu profesional dalam menjalankan bisnis perusahaan keluarganya.

"Selamat datang Tuan Ardhi," sambut salah seorang pegawai dengan menggunakan bahasa Jepang.

Seperti biasanya, Ardhi hanya tersenyum tipis untuk membalas sambutan dari pegawai itu. Bukannya apa-apa, tapi sekarang ia tengah harus berfokus pada tujuan awal datang ke kantor cabang ini. Takutnya, bila terlalu banyak berbicara dengan yang lain, Ardhi malah teralihkan dengan hal lain.

Masih dengan ditemani oleh sang sekertaris, kini Ardhi mulai menaiki lift khusus yang biasanya hanya digunakan oleh orang berpangkat tinggi. Tak butuh menghabiskan banyak waktu, Ardhi akhirnya bisa melihat ruangan manajer — tempat dimana Tuan Masaki berada.

"Apa dia ada di ruangannya?" Tanya Ardhi kepada salah seorang pegawai kantor ini yang kebetulan memang di suruh untuk ikut mengawal.

"Ya!" Jawab singkat pegawainya menggunakan bahasa Jepang yang fasih.

Dengan langkah lebarnya, Ardhi mulai mendekat ke arah ruangan manajer, kemudian tanpa adanya aba-aba lewat ketukan pintu, Ardhi masuk begitu saja ke dalam ruangan itu dan mendapati seorang anak muda yang mungkin masih berusia dua puluh tahunan duduk di kursi kebesaran dalam kondisi wajah yang dipenuhi oleh luka pukul.

"Siapa?" Tanya Ardhi kepada sang sekretaris.

"Dia Yoshimura, putra dari Tuan Masaki," jawab sang sekertaris memberitahu.

Sambil memasang wajah datar, Ardhi mulai masuk dan mendekat ke arah lelaki muda yang katanya bernama Yoshimura itu. Kenapa Ardhi malah menghampirinya? Bukankah Tuan Masaki juga ada di ruangan ini?

"Tuan, tapi—" belum sempat melanjutkan ucapannya, Ardhi dengan sepihak memotong ucapan dari Nindi.

"Sepertinya saya hanya harus berbicara dengan putranya," ujar Ardhi yang langsung membuat Nindi melangkah menjauh bermaksud untuk memberikan ruang kepada mereka berdua agar bisa berbincang.

Ardhi yang masih memasang ekspresi wajah sama pun mulai menatap ke arah lelaki itu, lalu membuat sebuah perbincangan cukup serius dengan Yoshimura. Disini Ardhi hanya merasa lebih harus berbicara kepada lelaki itu dibandingkan Tuan Masaki.

"Ayahmu dengan berani mengambil uang perusahaan sebanyak tiga miliyar dan itu hanya untuk menebus hutang yang kamu buat," kata Ardhi yang hanya mendapatkan sebuah tatapan sinis dari Yoshimura.

"Karena kesalahannya itu, saya selaku pimpinan dari perusahaan memutuskan untuk memecat ayahmu dari jabatannya," tambah Ardhi kedengaran begitu tegas.

Masih belum memahami situasi, Yoshimura — putra dari Tuan Masaki, hanya bisa tertawa kecil kelihatan seperti seseorang yang tak memiliki rasa bersalah sama sekali. Bisa-bisanya ada seorang putra yang punya perilaku tidak baik kepada ayahnya sendiri.

"Lalu? Apa urusannya dengan aku?" Tanya Yoshimura seakan tak peduli.

"Tanpa adanya pekerjaan ayahmu tak akan lagi memiliki penghasilan tetap dan mungkin dia juga tidak bisa menebus seluruh hutang yang kamu punya," kata Ardhi mencoba menjelaskan, tapi tetap saja lelaki itu tetap bersikap angkuh dan tak mau dengar.

"Hutang yang tak bisa terbayarkan mungkin akan memperparah luka lebam akibat pukulan yang saat ini ada di wajahmu," tambah Ardhi yang langsung membuat Yoshimura menyeringai.

"Apa kamu sedang menasehati diriku?" Tanya lelaki angkuh itu sambil berdiri dan menatap berani ke arah Ardhi yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan perlakukan seperti ini.

"Tidak. Saya hanya ingin memberitahu sesuai keadaan," kata Ardhi, kemudian berbalik badan menatap ke arah Tuan Masaki yang seharusnya juga mendengar seluruh ucapan Ardhi tadi.

"Tuan Masaki akan keluar dari perusahaan ini dan dia tak akan menerima uang sepeserpun dari perusahaan. Anggap saja itu sebagai uang kompensasi karena sudah berani mengambil tiga milyar dari perusahaan," tukas Ardhi mengatakan semua keputusannya dengan jelas.

Sebenarnya Tuan Masaki sangat ingin meminta kesempatan lagi dari Ardhi, tapi ia tetap mengurungkan keinginan karena tahu bagaimana sikap dan sifat dari atasannya itu. Ardhi memang dikenal sebagai seseorang yang tak suka memberikan kesempatan kedua kepada siapapun orang yang sudah melakukan kesalahan.

^^^Bersambung...^^^

Catatan kecil :

- terima kasih karena sudah mau mampir di karya tulis ini. Mohon berikan dukungannya agar penulis bisa lebih rajin update dan juga semakin giat dalam membuat karya tulis lainnya.

- karya masih on going dan akan terus di update. Untuk pembaca diharap sabar menunggu kelanjutannya.

 

Story ©® : Just.Human

*please don't copy this story.

Find Me

✓ Instagram : just.human___

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!