Praktis, kepanikan melanda hatiku usai membaca kalimat terakhir pada buku bersampul hitam tersebut. Agatha dengan sigap mengambil buku yang kupegang dan membacanya. Sedang aku, langsung memegangi lengan Robby di mana ia menatapku lekat dengan kening berkerut.
"Rob, Rob, kamu cari warung kopi di daerah Jakarta Timur. Kata ojolnya tadi, warung kopi itu dekat dengan jembatan yang ada di Kalimalang," ucapku tergesa.
"Kalimalang cukup luas. Di sebelah mana tepatnya?" tanya Robby yang membuatku langsung beranjak dari dudukan yang kemudian berlari masuk ke kamar.
Segera kuambil ponsel, tas, dan juga perlengkapan lain yang dirasa perlu. Kudatangi Pelangi dan segera kugendong tanpa memperdulikan dirinya yang asyik bermain.
"Kita pergi sekarang sebelum terlambat. Ayo! Akan kuberitahu di mana lokasi itu," pintaku dengan sangat.
"Bapak ikut ya," pinta Bapak mertua. Kuangguki saja karena bagaimanapun, Bapak tak mungkin ditinggal di rumah sendirian. Agatha dengan sigap mengambil tas lalu memasukkan buku itu ke dalamnya.
"Pakai mobilku saja," ucapnya seraya menyalakan mesin mobil dari sebuah remote ketika berjalan menuju keluar rumah.
Robby segera menutup pintu rumah begitu kami semua sudah keluar. Robby duduk di depan bersama Agatha yang menjadi sopir malam itu. Sedang aku, duduk ditengah memangku Pelangi berikut Bapak yang berada di samping. Agatha dengan sigap menekan pedal gas dan menuju ke arah Kalimalang.
"Ke mana, Al?" tanya Agatha saat mobil kami terpaksa berhenti karena pertigaan lampu merah.
"Jembatan menuju ke arah Pondok Gede. Kamu tau 'kan?" tanyaku.
"Ya, ya, aku tahu," jawabnya cepat dan segera memacu mobilnya melewati beberapa kendaraan di depan.
Bapak terlihat tegang. Mungkin karena Agatha menjadi seperti pembalap. Sepertinya, wanita berambut sebahu itu sepemikiran denganku. Ia tampaknya juga tahu hal buruk akan terjadi pada Aksara Roma jika kami tak segera bertindak. Hingga akhirnya, kami memasuki wilayah yang diarahkan oleh tukang ojek online saat kubertanya padanya tadi.
"Cari warung kopi dengan nama 'Barokah'. Seharusnya, ada di sekitar sini," ucapku seraya melihat ke sisi sebelah kiri karena kududuk di dekat jendela pada sisi itu.
"Oke, oke," jawab Robby yang ikut menoleh ke kiri karena dia duduk di depanku. Sedang Bapak, membantu melihat di sisi sebelah kanan bersama dengan Agatha.
"Al-al, itu kayaknya tulisan Barokah. Bapak lupa gak bawa kacamata, tapi itu warung kopi dan spanduk depannya ada huruf B besar," ucap Bapak yang membuat kami semua spontan menoleh ke arah yang ditunjuk.
"Wah, Bapak jeli! Hebat!" seru Agatha yang langsung menyalakan lampu belok ke kanan.
Bapak tersenyum lebar terlihat bangga dengan temuannya. Jalanan yang ramai karena jam pulang kantor, membuat kami kesulitan mencari tempat parkir karena wilayah itu cukup padat. Robby terpaksa turun terlebih dahulu untuk mencarikan tempat parkir.
"Parkir di sebelah sana. Boleh kata abangnya!" seru Robby saat wajahnya muncul di sisi jendela samping kanan tempat Agatha mengemudikan mobil.
Agatha dengan sigap memarkirkan kendaraan. Aku masih menggendong Pelangi yang mungkin dia bingung karena tiba-tiba diajak pergi. Aku langsung bergegas keluar dari mobil begitu kendaraan roda empat tersebut terparkir sempurna. Agatha dan Bapak mengikutiku di belakang saat kumenoleh karena takut mereka tertinggal. Kulihat Robby sudah berada di warung kopi itu seperti bertanya sesuatu pada penjual dan para pengunjung.
"Benar katanya jika tadi ada ojek online mengambil paket amplop warna cokelat dari seorang pria beruban. Kata penjual, rumah orang yang menitipkan paket itu tak jauh dari sini. Dia tak tahu nama pria itu, tapi dia mengontrak di dalam kampung. Kita masuk lewat gang itu. Katanya, cari saja kontrakan pak Haji Ilham," ucap Robby dengan wajah serius.
"Makasih, Mas," ucapku dengan senyuman kepada penjual.
Kulihat orang-orang di warung kopi itu seperti penasaran dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. Namun, aku fokus pada tujuanku. Robby dengan sigap bertanya kepada orang-orang yang berpapasan dengannya ketika memasuki gang untuk mencari tahu lokasi kontrakan tersebut.
"Oh, itu. Kontrakan berderet yang cetnya warna kuning. Itu semua kontrakan Pak Haji Ilham. Namun, saya gak kenal dengan nama Aksara Roma," ucap Ibu berdaster yang ditanyai oleh Robby.
"Baik, Bu, terima kasih. Akan coba kami cari tahu sendiri," jawab Robby sopan dan kembali berjalan.
Aku kembali mengikuti Robby disusul Agatha dan Bapak. Ternyata, kontrakan Pak Haji Ilham cukup banyak, ada 10 petak. Kami sepakat untuk mengetuk satu per satu pintu rumah itu karena penasaran. Bapak dan Agatha ternyata ikut membantu termasuk Robby. Ternyata, aksi kami membuat si Ibu berdaster begitupula salah satu pelanggan warung kopi mendekat. Aku mengenali Bapak bersarung itu karena tadi sempat melihat wajahnya ketika pamit usai Robby mendapatkan informasi.
"Ada apa, Mbak?" tanya Bapak bersarung seperti penasaran.
"Kami mencari salah satu anggota keluarga, Pak. Beliau ... sudah lama hilang. Dan tadi tukang ojek yang dikirimnya datang ke rumah mengantarkan paket. Kami tak mau kehilangan jejaknya lagi, jadi bergegas kemari," jawabku saat melangkah masuk ke teras salah satu rumah dan siap untuk mengetuk.
"Oh gitu. Namanya siapa?" tanya Bapak itu seperti ingin ikut membantu.
"Aksara Roma, Pak," jawabku masih menggendong Pelangi.
"Gak ada nama itu di kontrakan ini. Paling ada satu orang baru yang ngontrak, tapi setahu Bapak namanya bukan Aksara Roma. Aduh lupa," ucapnya yang membuatku semakin yakin jika lelaki yang dimaksud adalah mantan bosku.
Siapa sangka, hasil ketukan Agatha, Robby, dan Bapak mertua membuat para penghuni kontrakan keluar satu per satu. Tersisa pintu yang berada di depanku di mana belum sempat kuketuk karena diajak bicara. Robby lalu menggantikan tugasku. Mungkin ia melihat isterinya yang repot karena harus menggendong Pelangi.
TOK! TOK! TOK!
"Assalamualaikum. Pak, bisa tolong buka pintu sebentar? Ada yang ingin kami tanyakan mengenai keikutsertaan Bapak dalam kegiatan di kampung. Kami dari panitia penyelenggara RT," ucap Robby yang ternyata sengaja berbohong mungkin agar Tuan Aksara tak curiga.
Namun, tak ada jawaban. Padahal lampu dalam ruangan menyala. Aku berpikir jika Tuan Aksara bersembunyi karena sudah ketahuan keberadaannya olehku. Robby lalu menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ingin memastikan sesuatu. Tiba-tiba, ia mengeluarkan identitas polisinya. Praktis semua orang terkejut, tapi tidak bagiku, Agatha dan Bapak.
"Gak papa. Untuk keamanan saja. Yang di dalam itu bukan penjahat," ucap Bapak seperti mencoba meredakan ketegangan.
Semua orang yang berkumpul di teras kontrakan mengangguk meski wajah mereka tegang. Kulihat Robby tampak serius ketika memegang gagang pintu.
KLEK!
"Oh! Gak dikunci," ucapku pelan, dan Robby mengangguk dalam diam.
Jujur, jantungku berdebar kencang tak karuan. Robby terlihat berhati-hati saat mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Hingga seketika, mataku melotot.
"Ya Allah! Tuan Aksara!" teriakku begitu saja yang membuat Pelangi sampai terperanjat karena kaget.
"Ya Tuhan!" pekik orang-orang yang ikut terkejut usai melihat sosok lelaki tergantung pada bingkai pintu.
Tuan Aksara menjerat lehernya dengan sebuah tali tambang hingga tewas. Aku shock dan rasanya ingin pingsan. Beruntung, Agatha dengan sigap mengambil Pelangi dari gendongan. Aku dipegangi oleh Robby saat ia sepertinya juga menyadari jika aku hampir ambruk.
"Lapor RT cepet!" pinta seorang warga entah siapa usai melihat salah satu penghuni kontrakan tewas dengan mata terbuka menatap ke arah lantai.
Napasku tercekat, tapi mataku terkunci pada ekspresi sedih Tuan Aksara. Kuikuti arah matanya di mana terdapat beberapa lembar foto di bawah kakinya. Aku yang kesulitan bicara sampai tergagap dan hanya bisa menunjuk.
"Apa, Al?" tanya Agatha ikut berjongkok di sampingku.
"I-itu apa?" tanyaku seraya menunjuk dan bisa kurasakan tubuhku bergetar.
"Jangan dekati. Semuanya menyingkir. Biar petugas kepolisian yang menangani kasus ini. Semua orang diharapkan tak ada yang masuk ke dalam ruangan. Batas maksimal hanya sampai teras ini," tegas Robby langsung berdiri memblokade pintu.
Semua orang menurut usai mengetahui jika Robby seorang polisi. Suamiku dengan sigap melakukan banyak panggilan seperti menginformasikan temuan kepada timnya. Aku menangis karena tak menyangka jika Tuan Aksara nekat mengakhiri hidupnya. Orang-orang di sekitar ikut terkejut karena melihat insiden ini.
Aku lalu dipindahkan ke tempat yang lebih lapang karena Robby meminta tempat itu disterilkan. Aku didudukkan di sebuah kursi kayu milik seorang warga yang memiliki halaman luas. Aku tahu jika Robby harus bertugas, jadi kupilih untuk menyingkir bersama Bapak, Agatha dan Pelangi. Suasana berubah riuh seketika karena temuan mayat di salah satu rumah kontrakan.
"Minum dulu, Al," pinta Bapak yang memberikan teh manis hangat padaku karena katanya, aku terlihat pucat.
Kupegangi gelas itu dan kuseruput sedikit karena rasanya sulit untuk menelan. Kucoba menenangkan hatiku yang berkecamuk dan masih tak percaya dengan yang kulihat. Semua orang malah ikut berkumpul di sekitarku seperti ingin mencari tahu apa yang terjadi. Namun sungguh, aku tak bisa menutupi kesedihan karena kepergian Tuan Aksara Roma untuk selamanya.
***
kwkwkw ngebut biar bisa ajuin kontrak dan tamat akhir bulan ini. doain lancar ya. amin~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Sri Bayoe
Insha Allah dinkontrak kak... keren sih
2023-04-10
0
sowlekahh
Peh Peh Peh bapak ini ikut²an aja.. mbok ya'ow diem dirumah jaga rumah gitu lho paaaak😤🤭
2022-09-10
1
Wati_esha
Aksara Roma lelah berjuang saat berhadapan dengan manusia lain yang songong mirip dirinya di masa lalu.
2022-08-20
0