Fort Vredeburg Museum*

Bapak yang terlihat antusias dengan kisahku, membuat hati ini menjadi terharu karenanya. Jarang sekali ada yang mau mendengar kisah hidup seseorang.

Aku sangat bersyukur karena Bapak dan anggota keluarga Robby begitu baik padaku. Tak akan kusia-siakan perhatian mereka dan akan kubalas semampunya selama aku hidup.

"Mm, setelahnya ya? Jadi ...."

Pelatihan Teater di Aula Sekolah. 10 tahun silam.

Kami berbicara bahasa Indonesia campur Jawa. Terjemahan.

"Olah vokal kalian! Yang lantang!" titah Mas Tulis ketika meminta semua pemain teater yang akan berlomba untuk berlari kecil mengelilingi aula seraya meneriakkan 'A-I-U-E-O' secara terus-menerus.

Aku melihat maksud dan tujuan Mas Tulis dari latihan ini. Supaya kemampuan paru-paru bisa bersinergi dengan pernapasan perut dan tenggorokan ketika dipaksa bergerak sambil berbicara.

Ya. Mengingat naskah yang akan dipentaskan mengenai sebuah peperangan zaman kerajaan kuno di tanah Jawa, semua pemain pasti akan melakukan dialog dengan banyak teriakan sambil melakukan gerakan layaknya akrobatik.

Sungguh, aku ingin sekali menjadi bagian dari pemain itu. Aku pernah mencobanya, tapi gagal karena ternyata fisikku tak mumpuni melakukan hal itu semua.

Kebanyakan para pemain teater ikut ekstrakulikuler lain seperti berenang, menari, paduan suara, taekwondo, dan basket. Jadi, fisik dan teknik pernapasan sudah hal yang bisa dibilang mudah untuk diolah bagi mereka.

Hanya saja, teater. Seni peran dalam mengekspresikan sebuah kalimat dan dialog untuk disampaikan agar para penonton terbawa perasaan dan suasana seolah mereka berada di sana. Bagiku, itu hal yang sulit. Aku sangat kagum kepada para pemain panggung itu.

Akhirnya, saat yang mendebarkan tiba. Para pemain yang sudah dipilih oleh Mas Tulis sebagai tokoh dalam naskahku mulai menghafalkan dialog berikut ekspresinya.

Bisa kulihat bibir mereka bergerak di mana kali ini, daya ingat menjadi poin utama agar tak keliru dalam berucap dan menyampaikan informasi dari cerita itu sendiri.

"Lima belas menit lagi dan kita akan lakukan percobaan pertama. Kumpulkan semua sandal jepit kalian!" teriak Mas Tulis yang membuat wajah semua pemain pucat termasuk aku.

Ya, si sandal jepit adalah senjata ampuh mematikan Mas Tulis yang ia gunakan untuk memberikan didikan keras bagi para muridnya.

Sandal itu akan melayang ketika pemain yang bersangkutan melakukan kesalahan. Tentu saja, siapa yang mau dilempar sandal?

Aku membantu mengumpulkan sandal-sandal itu karena menjadi asisten Mas Tulis.

Beliau sudah menunjukkan wajah garang padahal dari segi fisik, Mas Tulis ini pendek. Bahkan, aku lebih tinggi darinya.

Namun, jangan tanya soal prestasinya hingga bisa menjadi guru teater. Siapa orang seni di Indonesia yang tak tahu namanya?

"Wah, gurumu yang namanya Tulis itu pasti orang hebat," ucap Bapak terlihat kagum.

"Ya, Pak. Galak, tapi beliau bisa dibilang seperti cendikiawan dalam bidang seni. Khususnya pementasan teater. Walaupun Alia gak pernah ikut pentas, tapi ... saat Bapak baca karya Alia, apakah Bapak merasa seperti menjadi tokoh itu?" tanyaku menatap beliau lekat. Bapak mengangguk cepat. "Itulah yang Alia pelajari, Pak. Alia mengamati ekspresi para pemain teater itu, lalu mendiskripsikannya. Seperti, bertopang dagu, kening berkerut, mata menajam, rahang mengeras, dan lainnya. Mungkin terlihat sepele, tapi ketika kita membaca dan ikut mengekspresikannya, hal itu akan membuat rasa greget lebih nyata," sambungku menjelaskan.

Tiba-tiba, senyum Bapak terkembang. Ia mengangguk terlihat seperti senang akan sesuatu, tapi tak diucapkan.

"Oke, lanjutin tadi gimana setelahnya. Bapak penasaran," pinta beliau yang membuatku jadi semangat melanjutkan kisah.

Mas Tulis memegang salah satu sandal jepit dalam genggaman tangan kanan saat ia mengamati para pemain teater yang sedang mempraktikkan naskah buatanku.

Jujur, malah aku yang jadi panik karena takut mereka salah. Bisa kulihat wajah kawan-kawanku tegang dan begitu serius. Ya, itu wajar karena tuntutan peran.

Namun biasanya, hal itu terjadi saat awal saja karena penyesuaian. Namun ketika mereka sudah menguasainya, seolah kalimat-kalimat rumit itu sudah berada di luar kepala. Momen itulah yang kutunggu saat pementasan nanti.

Tiba-tiba, DUAK!

"Agh!" rintih salah satu pemain wanita ketika mendapat lemparan sandal dari Mas Tulis.

Jujur, aku tak tahu apa salahnya karena bagiku, dia tak melakukan kesalahan apa pun. Praktis, latihan terhenti seketika.

"Jangan bengong! Ketika teman-temanmu berdialog, kau harus tetap bereskpresi. Jangan malah kaya penonton yang nyimak. Kamu salah satu pemain, bukan patung, bukan pajangan! Tunjukkan ekspresimu!" teriak Mas Tulis menggelegar yang membuat suasana makin mencekam di tengah dialog perdebatan.

"Ya, Mas. Maaf," jawab pemain itu seraya mengambil sandal jepit lalu mengembalikannya pada Mas Tulis.

Rasanya napasku sesak, dan kuyakin wajahku pasti pucat. Semua pemain mulai mengatur napasnya lagi. Mereka terlihat sudah terbiasa tertekan ketika latihan.

Namun, jangan salah. Setelah pementasan berakhir, semua rasa sakit hati, kesal, marah, itu akan sirna ketika kami berkumpul di salah satu angkringan langganan sebagai bentuk syukuran karena sukses tampil.

Walaupun biasanya, Mas Tulis tetap memberikan banyak nasihat kepada anak didiknya agar jangan terlena dengan kemenangan, atau popularitas. Hem, ajaran itu sangat bagus dan pantas untuk ditiru.

Akhirnya, saat yang mendebarkan itu tiba. Tiap sekolah yang akan ikut dalam kejuaraan nasional itu sudah memadati wilayah dari Benteng Vredeburg di Yogyakarta.

ILUSTRASI. SOURCE : kebudayaan.kemdikbud.go.id

Kami diberikan ruangan khusus untuk berganti kostum, berdandan, dan menyimpan semua peralatan dalam benteng termasuk para penampil lainnya.

Jujur, tak pernah kulihat suasana padat seperti hari ini di benteng bersejarah kota Yogyakarta.

Meskipun memang, tempat ini sering sekali digunakan untuk sebuah acara, tapi tak pernah seramai ini.

"Semua bersiap. Sebentar lagi giliran kita!" ucap Mas Tulis yang membuat para pemain teater baik musik atau peran segera menyiapkan diri.

Semua properti buatan dari kayu, bambu, triplek, gabus, dan kertas yang dihias apik membuat para pemain dalam ceritaku terlihat begitu totalitas untuk menunjukkan kebolehan masing-masing.

"Semuanya berkumpul!" panggil ketua teater dari salah satu murid kelas senior mengajak bergandengan tangan bersama, dan aku ikut dalam lingkaran itu.

Kami terlihat tegang. Kulihat ketua teater tampak fokus dengan isi pidatonya.

"Gak usah pakai basa-basi. Kita datang untuk membuktikan diri. Kita berjuang dengan susah payah untuk sampai di sini. Kita tunjukkan jika kita kelompok yang solid dan tangguh. Menang itu anugerah, jika kalah kita harus berlatih lebih keras lagi untuk menjadi juara. Semuanya, semangat menang!" teriaknya dengan mengangkat dua tangannya ke atas yang sudah bergenggaman dengan pemain lain.

"Semangat menang!" teriak semua orang termasuk aku yang ikut berkobar untuk menunjukkan diri.

Kami keluar bersama-sama menuju ke belakang panggung di mana diberikan jeda 10 menit untuk kelompok selanjutnya mempersiapkan diri.

Aku melihat kelompok sebelumnya sudah memberikan tanda hormat dengan membungkuk ke arah penonton dan juri.

Selanjutnya, tirai panggung ditutup. Padahal, bukan aku yang naik ke atas sana, tapi jantungku serasa ikut meledak.

Kulihat teman-teman bagian properti dengan sigap naik ke atas panggung dan menata set dekorasi untuk memperkuat suasana pementasan.

Kulihat para pemain saling berdiskusi seperti ingin memantapkan suatu hal sebelum tampil.

Para pemain musik dengan sigap duduk di sisi kanan di mana mereka akan mengiringi para pemain saat bermain drama menggunakan musik model gamelan.

Hingga akhirnya, tirai dibuka. Lantunan musik pembuka dan sorot lampu yang tertuju kepada para pemain berseragam khas Jawa dengan blangkon bagi para lelaki, dan perempuan dengan kebaya serta sanggul, membuat suasana seperti mengajak kembali ke masa lalu.

ILUSTRASI. SOURCE : republika.com

Tak lama, sorot lampu tertuju kepada tiga penari yang memasuki panggung untuk menunjukkan kebolehannya dalam tarian tradisional.

Setelahnya, terdengar suara gelak tawa di belakang para penari yakni para pemain yang menjadi para petinggi dari suatu kerajaan di tanah Jawa.

Sungguh, aku tak pernah mengira jika akting mereka sangat bagus bahkan melebihi ketika latihan. Mereka sungguh totalitas seolah merekalah raja-raja itu.

Kesombongan, aura yang menunjukkan sebuah kekuasaan, terlihat jelas dari cara bicara dan ekspresi mereka layaknya pemimpin kejam.

Kulihat para penonton dan juri terpaku pada akting kawan-kawanku saat mereka mulai berdialog seperti isi naskah.

Hingga tiba-tiba, pesta itu berubah menjadi bencana ketika kelompok pemberontak datang dengan keris, tombak, dan panah untuk menghancurkan pesta demi menjatuhkan sang raja yang dikenal sebagai penindas rakyat.

"Tangkap Raja dan adili!" teriak salah satu pemimpin pemberontak lantang.

Jujur, kakiku sampai terasa kaku seperti di semen. Kulihat peperangan dengan gaya ala teater bukan seperti film laga.

Meski demikian, hal itu tak mengurangi rasa greget untuk ditonton bahkan sepertinya, mataku tak berkedip.

"Woah, jadi mereka bertarung di atas panggung? Perang gitu?" tanya Bapak tiba-tiba memberikan komentar.

"Iya, Pak. Itu Alia sempat ikut serta bantu saat berpura-pura jadi penonton ketika latihan. Alia saat itu terpaksa bohong sama teman-teman dengan bilang, 'Cara tarungnya gak begitu. Di sini ditulis ketua pemberontak menghunuskan keris ke arah pengawal Raja, tapi bisa ditangkis'. Alia lalu kasih contoh ke mereka walaupun gaya Alia juga bisa dibilang kurang bagus. Namun alhamdulilah, temen-temen pada ngerti soalnya Mas Tulis udah kasih pesan dulu ke mereka yang bilang, 'Apa pun yang dikoreksi oleh Alia, itu sudah saya setujui karena naskah ini sudah Mas Tulis bicarakan dengan serius oleh Alia. Jangan bantah dan jangan ngeyel atau Mas Tulis lempar pakai sandal!'. Ya, kurang lebih gitu, Pak. Jadi pementasan kali ini bener-bener seperti yang Alia mau," jawabku dengan senyuman.

Lagi, wajah Bapak berbinar. Tak lama, cemilan datang sesuai pesanan Bapak. Dengan sigap, Bapak menyeruput teh tubruk lalu mencomot klepon yang sepertinya Bibi beli di depan karena biasanya, warung depan rumah menyediakan klepon.

"Lanjutin, lanjutin," pinta Bapak antusias sembari mengunyah klepon.

Kulirik Pelangi yang masih seru bermain dan sesekali meminum susu dalam botol menggunakan sedotan di dekatnya.

Bibi sangat peka dengan menyediakan minuman kesukaan Pelangi agar anakku tak kehausan ketika asyik dengan dunianya.

"Lalu ...," sambungku.

Adegan demi adegan diperankan dengan apik oleh para pemain. Musik yang membahana berikut dekorasi pendukung, praktis membuatku terhipnotis padahal aku sudah hafal alurnya, tapi aku seperti menonton tayangan baru.

Kulirik para penonton dan dewan juri lagi yang begitu fokus menyaksikan pertunjukan. Hingga akhirnya, pada bagian akhir sengaja kubuat sedih dengan penyesalan sang Raja ketika tahu alasan sang permaisuri meninggal karena kecewa dengan dirinya.

Raja yang menjadi gelap mata dan menyalahkan kematian sang isteri kepada pangeran terbuang, membuatnya sadar jika semua itu adalah kesalahannya yang hanya memikirkan kekuasaan.

"Paduka Raja," ucap sang Pangeran saat bertemu dengan sang Ayah di mana selama ini ia hidup di luar kerajaan sebagai rakyat biasa dan ikut dalam pemberontakan.

Sang Raja jatuh berlutut di hadapan sang anak. Ia menggunakan dua lututnya seraya menatap sang anak lekat dengan mata berlinang.

"Kau masih hidup ... kau sudah besar ... Ayah ... Ayah sudah menelantarkan dan melupakanmu, Nak," ucap sang Raja dengan tangan gemetar saat akan meraih tangan puteranya.

Sang Pangeran menurunkan tubuhnya dan kini ikut berlutut di depan Raja.

"Hentikan semua ini, Paduka, jika kau sungguh menyesal dan masih menyayangiku. Wijaya akan kembali ke istana asal Paduka kembali menjadi Raja yang bijaksana seperti saat Ibunda Ratu masih hidup. Wijaya tahu kalau Paduka bersedih hati dan menyalahkan rakyat karena mereka melampiaskan amarah pada Ibu. Paduka juga menyalahkan hamba karena dianggap anak sial pembawa bencana. Namun, Ibu sengaja mengorbankan dirinya kala itu agar rakyat tak lagi melawan Paduka. Ibunda Ratu memberikan semua hartanya pada rakyat dan Wijaya ikut membantu sebagai permintaan maaf sebab Paduka menghabiskan uang rakyat untuk berperang," ucap tokoh sang pangeran yang berkata dengan lembut kepada ayahnya yang dikenal kejam.

Sang Raja menangis dengan mata terpejam rapat. Sang Pangeran memeluk ayahnya dengan senyuman.

Para pemberontak dan para pengawal kerajaan mulai menunjukkan wajah di mana kebahagiaan sejati mulai dimunculkan ketika konflik berakhir menuju penutup.

Akhirnya, sang Pangeran mendapatkan tahtanya untuk menggantikan kedudukan sang Ayah sebagai Raja.

Rakyat yang sudah mengenal Wijaya, membuat mereka percaya dan bergembira karena yakin jika Raja baru akan memberikan perubahan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Setelahnya, suara tepuk tangan meriah terdengar serempak berikut siulan yang menunjukkan jika para penonton seperti puas dengan kisah tersebut.

Para pemain yang awalnya berwajah garang karena tuntutan peran mulai menunjukkan senyum menawan saat penutupan. Para pemain di panggung melambaikan tangan lalu membungkuk hormat.

Tirai kembali ditutup dan kulihat teman-temanku turun dari panggung seraya membawa perlengkapan dekorasi berikut alat musik.

"Selamat ya. Kalian keren banget," ucapku seraya menjabat tangan mereka satu per satu.

"Naskahnya yang keren. Aku yakin kalau kita akan menang!" jawab pemain pria yang menjadi Pangeran.

"Amin! Amin!" jawab anggota teater lainnya saat mereka mengantri untuk turun dari panggung.

Jujur, meski mereka tak tahu jika naskah itu adalah karyaku, tapi sudah mampu membuat hatiku gembira.

Hingga akhirnya, pembacaan juara pementasan yang dilakukan pada malam hari sekaligus penyerahan hadiah.

Kami yang menyempatkan diri kembali ke sekolah untuk menyimpan semua perlengkapan, makan bersama, mandi lalu berganti pakaian, malam itu sudah tak sabar untuk mengetahui siapa juaranya.

"Pasti menang! Juara berapa?" tanya Bapak tak sabaran.

Aku terkekeh melihat ekspresi beliau yang sampai tak sadar jika ampas parutan kelapa sampai tersangkut di janggut Bapak.

"Juara satu, Pak," jawabku dengan senyuman.

"Hahaha! Bapak udah yakin kalau juara satu. Ada fotonya gak?" tanya Bapak yang membuatku langsung bersedih. Aku menggeleng dengan wajah cemberut. "Sayang sekali," ucapnya ikut terlihat sedih.

"Em, tapi seingat Alia masih ada piagam penghargaan, dan sertifikat yang disimpan di sekolah. Mungkin kalau ke sekolah bisa melihat bukti kemenangan itu," jawabku seraya mengingat-ingat kejadian silam.

"Harus ke Jogja ya? Kapan-kapan kalau pas piknik bersama, kita sempetin pergi ke sekolah kamu dan bertemu dengan si Mas Tulis itu. Kamu bisa jadi seperti ini berkat beliau loh. Mungkin, Mas Tulis sudah tahu kalau kamu akhirnya jadi penulis," ucap Bapak yang membuatku langsung tersentak karena baru terpikirkan hal itu.

"Bener juga, Pak. Nanti Alia cari tahu deh keberadaan Mas Tulis. Semoga masih sehat wal afiat," jawabku yang malah tak sabar ingin mengetahui kondisi guru teaterku.

"Amin. Sehat, sehat!" jawab Bapak dengan senyuman.

***

ILUSTRASI. SOURCE : GOOGLE

makasih tipsnya jeng siska😍 puanjang nih epsnya sampai kakiku kesemutan ngetiknya. kwkwkw tengkiyuw lele padamu❤️

Terpopuler

Comments

Sri Bayoe

Sri Bayoe

kerennn

2023-04-09

1

sowlekahh

sowlekahh

oo eke salah ya

2022-09-09

1

sowlekahh

sowlekahh

meninggal..?!? mksdnya mati atau kabur.. kok eke ngerasanya si ratu kabboooor ya🤭🤭

2022-09-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!