Saat aku terhenyak dalam kisah asam manis zaman SMA, tiba-tiba ....
"Hik! Hik!"
"Eh, Pelangi sudah bangun? Kok nangis?" tanyaku seraya menepuk pahanya yang menggemaskan.
"Mama," panggilannya merengek dan langsung memiringkan tubuh ke arahku.
Sikapnya yang menggemaskan, membuatku semakin menyayanginya. Kukecup pipinya yang gembil dan juga dahinya.
"Mandi yuk. Pelangi bau acem," ajakku.
Gadis kecilku masih terlihat mengantuk karena mengucek mata lalu menguap. Kugendong tubuhnya yang masih terasa ringan untuk beranjak dari kasur malas menuju kamar mandi yang berada dalam satu ruangan.
Kulepaskan pakaiannya dan kumasukkan dalam keranjang baju untuk dikumpulkan sebelum dicuci esok pagi oleh Bibi yang membantu membereskan rumah.
Kata Robby, dia ingin aku fokus dengan Pelangi dan hobi menulis novel yang kini menjadi salah satu profesiku.
Robby bahkan sering sekali menyanjung di depan teman-teman, rekanan, bahkan keluarga yang mengatakan bersyukur bisa menikah denganku.
Kurang lebih dia selalu mengatakan hal seperti ini kepada mereka. "Saya senang sekali karena Alia cukup bekerja di rumah. Menghabiskan waktu bersama Pelangi, masih bisa memasak dan menyambut kepulangan suaminya saat dia lelah bekerja. Tak perlu ke kantor kalau bukan urusan darurat. Selain itu, kecintaannya dalam dunia novel, membawa berkah untuk keluarga. Saya bilang pada Alia, uang yang ia dapat selama menulis gunakan untuk pribadimu. Namun, jika kau ingin menggunakannya untuk keluarga akan lebih baik ketimbang diri sendiri karena menjadi berkah berlipat."
Ya, aku rasa itu ada benarnya. Uang yang kudapat kugunakan untuk keluarga di luar penggunaan harian seperti memberi kado ulang tahun untuk orang-orang yang kusayangi, oleh-oleh ketika berkunjung ke suatu tempat, atau piknik keluarga.
Sedang uang pemberian Robby tiap bulan, kugunakan untuk kebutuhan penting mencukupi keluarga seperti belanja bulanan, termasuk membayar Bibi yang membantu membereskan rumah, arisan karena kuikut perkumpulan ibu-ibu komplek, sampah bulanan, listrik, biaya keamanan, galon, gas, dan lainnya.
"Hihihihi! Yey! Yey!"
Suara tawa riang Pelangi membuyarkan lamunanku akan pengeluaran keuangan rumah tangga.
Kegembiraan Pelangi menggema di kamar mandi yang didominasi warna putih. Pelangi asyik bermain bersama bebek-bebek karet berwarna kuning yang mengapung di permukaan dan berendam air hangat.
TOK! TOK! TOK!
"Sayang? Lagi mandiin Pelangi ya?" tanya dari balik pintu dan kukenali suaranya. Ya, itu Robby.
Segera kuberanjak dan membuka pintu.
"Kirain kamu ikut mandi juga. Mandi sama-sama yuk," ajaknya genit.
"Ish! Pelangi udah gede tau. Nanti liat tongkatmu, dia dewasa belum waktunya. Gak mau! Di luar dulu sana," jawabku seraya mendorong tubuh Robby, tapi bisa kurasakan dia bertahan di pintu sambil tertawa. Ya ampun, benar-benar menyebalkan!
"Papa," panggil buah hati kami dengan imutnya.
Sepertinya Pelangi sadar jika sang Ayah ada di satu ruangan dengannya, tapi mungkin dia bingung. Itu Papa dan Mama ngapain?
"Aku dicari Pelangi tuh mau diajak mandi bareng," ucap Robby berhasil masuk kembali ke kamar mandi sembari melepaskan celananya.
"Robby! Ih, nakal banget sih!" teriakku marah karena suamiku pasti sengaja melakukannya karena dia senang menjahiliku.
Benar saja, Robby ikut menangkap tubuhku dan ingin melepaskan baju yang kukenakan. Aku yang histeris malah membuat Pelangi cekikikan mungkin dianggap lucu.
"Mama manja banget ya, Pelangi. Mau mandi aja harus Papa copotin bajunya," ucap Robby dengan senyum lebar.
"Robby!" teriakku sebal, tapi berhasil mempertahankan pakaianku tetap di tempatnya.
TOK! TOK! TOK!
Tiba-tiba, "Robby ... Robby ... ini hapemu bunyi. Tulisannya Komandan. Bosmu? Buruan diangkat," tanya suara seorang lelaki dengan suara parau seperti Bapak mertua.
Praktis, suasana yang tadinya heboh di kamar mandi menjadi hening seketika.
"Oh, iya itu bos Robby. Benar, Pak. Jangan diangkat. Nanti Robby telepon balik. Sebentar!" sahutnya berteriak sembari memakai celananya kembali dengan tergesa.
"Sukurin," ledekku.
"Awas ya. Pertarungan kita belum selesai," ancamnya dengan wajah bengis, tapi aku tak takut dan malah tertawa.
Aku ikut merapikan diri saat Robby membuka pintu dan melihat Ayah mertua berdiri di baliknya sembari memegang ponsel.
"Tuh, sampai mati. Bukannya kamu tadi sudah mandi?" tanya Bapak menatap anaknya saksama.
"Hehe," Robby hanya terkekeh lalu mengambil ponselnya. Pandangan Bapak lalu beralih ke arah Pelangi.
"Eh, cucu Kakek sedang mandi. Yang bersih ya, lalu main lagi," ucap mertuaku.
Pelangi terlihat asyik dengan bebeknya sembari bermain air. Bapak lalu tersenyum padaku dan beranjak pergi. Huff, aku selamat dari serangan Robby barusan.
Saat akan kututup pintu, kulihat tasku di atas meja. Kudatangi dan kuperiksa isinya. Sepertinya Robby sudah mengeluarkan semua barang-barang dari koper dan merapikannya.
Kuambil ponselku dan kubawa ke kamar mandi untuk mengabadikan kelucuan Pelangi saat mandi.
"Kamu lucu banget sih, Nak. Mama jadi gemes deh," ucapku saat berhasil mendapatkan beberapa foto darinya.
Namun, saat kucermati foto-foto itu dan kuamati, sebuah ide tiba-tiba muncul begitu saja seperti yang terjadi sebelumnya.
"Hem. Kayaknya aku belum pernah membuat cerita yang melibatkan anak kecil," ucapku pelan seraya menggeser foto-foto dalam album di ponsel di mana banyak foto Pelangi di sana bersama para keponakan, sepupu dan lainnya.
Kuberanjak dan duduk di atas closet yang kututup bagian atasnya sembari mengawasi Pelangi.
"Bagaimana jika ... anak kecil itu yang membantu mengungkapkan kasus secara tak langsung? Ibunya diculik dan dia mengenali penculiknya. Ia terlibat dengan para polisi dan malah menjadi si penyelamat bagi Ibu. Hem, sepertinya boleh juga. Oke, coba susun kerangka kasarnya dulu," gumanku seraya mengetikkan ideku pada salah satu aplikasi pencatatan dalam ponsel.
Siapa sangka, jariku dengan cepat bekerja.
"Oke, nama tokoh utama siapa ya? Mm, kosongin dulu aja. Lalu ... siapa saja tokohnya dalam novel ini? Yang jelas anak kecil itu, ibunya, polisi, kemudian ...."
Lagi, jariku dengan cepat bergerak menuang semua ide di kepala sebelum kabur dan teralihkan oleh hal lain.
"Selanjutnya setting tempat, atau latar belakang. Bagusnya di Indonesia atau luar negeri ya? Oh, Indo saja, tapi diculik sampai ke luar negeri. Hem, oke oke. Tulis aja semua bahan yang ada di kepala lalu nanti susun ulang untuk dirapikan," gumanku lagi seraya terus mengetik.
Sesekali kumelirik ke arah Pelangi untuk memastikan buah hatiku tetap aman bermain di bathtub.
"Oke, selanjutnya motif penculikan. Kenapa si emak ini diculik? Hem, buat flashback aja tentang kehidupan masa lalu sang Ibu. Oke, oke," ucapku pada diri sendiri ketika mulai melantur dalam menuangkan imajinasi.
Saat aku sedang asyik merangkai kata, tiba-tiba," Hatchim!"
"Eh, ya ampun. Aduh, anak Mama sampai bersin. Kasihan, udah yuk mandinya. Nanti kamu keriput kaya nenek-nenek," ucapku seraya meletakkan ponsel di atas dudukkan toilet.
Segera kumandikan Pelangi dengan sabun, menggosok gigi, mencuci rambut lalu membilasnya.
Kutinggalkan ponselku dan kugendong Pelangi dengan handuk melilit tubuh kecilnya ke atas matras untuk dipakaian baju.
"Ini," tunjuk Pelangi pada baju yang digantung dalam almari bermotif Helo Kitty merah muda kesukaannya.
"Pakai ini? Pelangi mau ke mana? Ini baju untuk ke pesta," jawabku karena tak menyangka jika Pelangi sudah tahu bagaimana bergaya modis.
"Ini, Mama, ini!" paksanya seraya mendatangi baju itu ingin diambil dari gantungan.
"Ya deh. Biar cantik ya," jawabku seraya mengambil baju itu lalu kuberikan padanya.
Pelangi tampak senang karena wajahnya jadi berbinar. Kudandani puteri kecilku yang berubah menjadi seperti puteri di negeri dongeng karena pakaiannya yang menawan.
Setelah kupastikan puteriku siap, kugandeng dia keluar dari kamar.
"Ih, Pelangi cantik banget. Udah wangi! Main sama Tante yuk," ajak Jelita langsung dengan sigap mengambil Pelangi dariku dan berjongkok di depannya.
"Dia belum makan, kasihan. Makan dulu baru main ya. Mumpung sopnya baru aja mateng. Yuk, Bude suapi yuk," sahut kakak Robby yang dengan sigap menggiring Pelangi dan Jelita ke ruang makan.
Sungguh, suasana keluarga yang harmonis. Senyumku terkembang melihat rumahku yang biasa sepi menjadi ramai.
Kutinggalkan keramaian dengan kembali ke kamar mandi untuk membereskan alat mandi Pelangi.
Namun, aku teringat akan ide yang belum tuntas. Kututup pintu dan kembali bersemedi di atas dudukan toilet dengan ponsel dalam genggaman.
"Terakhir tadi sampai mana ya? Oh ini dia. Hem, tinggal penyelesaian konflik dan penutup. Sad atau happy ending ya?" gumanku seraya menerka-nerka. "Happy aja deh. Kasihan soalnya di awal udah ngenes saat perjuangan buat selametin ibunya," imbuhku yang dengan sigap mengetikkan ideku itu dengan tiga jari bergerak lincah.
Banyak yang mengatakan termasuk Robby dan Fanny jika caraku memegang ponsel sedikit aneh.
Tangan kiriku menahan benda persegi panjang itu, tapi ibu jari dengan sigap ikut menekan layar saat mengetik. Lalu tangan kanan, telunjuk dan jari tengah ikut bergerak menekan.
Kalau di keyboard komputer atau mesin ketik aku menggunakan sepuluh jari, di ponsel cukup tiga saja. Hehe, menyesuaikan dengan ukuran.
Akhirnya aku berhasil merampungkan ide cerita dadakan itu. Selanjutnya akan kusalin di mesin ketik kuno kesayanganku. Siapa sangka, hanya karena melihat Pelangi mandi, sebuah ide mengalir deras di kepalaku.
***
masih eps bonus dari jeng Alia. Jumlah kata 1386. lebih 386 kata ya💋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
sowlekahh
disini hatchim disana hanjinggggg..
diskriminasi ya😎
2022-09-08
0
sowlekahh
sayang citra plisi Dimata eke udh hancur lebur kesetiaannya pada pasangan sangat eke ragukan..
2022-09-08
1
Wati_esha
T O P.
Memang kalau sudah biasa, apapun bisa dijadikan bahan tulisan. 🥰
2022-08-05
0