Kulihat Bapak menatapku lekat seperti ikut terkejut seolah beliau berada di posisiku. Aku hanya tersenyum tipis, mungkin terlalu semangat bercerita, beliau ikut terbawa suasana. Saat kumemperhatikan bibir Bapak bergerak, tiba-tiba saja Bibi mendatangi kami seraya membawa bungkusan plastik. Praktis, senyumku terkembang. Sepertinya, pesanan makan siang online kami sudah datang.
"Non, pesan makan ya?" tanya Bibi sembari memberikan bungkusan padaku.
"Iya, Bi. Makasih ya," jawabku lalu segera berdiri.
"Kita makan dulu, lalu ceritanya dilanjutkan ya," ajak Bapak.
Aku mengangguk mengiyakan. Bibi pamit entah ingin melakukan apa. Aku mengajak Bapak ke meja makan untuk menikmati makanan yang sudah kami pilih tadi melalui sebuah aplikasi. Kulihat Bapak tak sabar karena tangan beliau sudah sibuk membuka bungkusan-bungkusan itu satu per satu lalu meletakkan di atas piring yang sudah disiapkan di atas meja.
Kusiapkan gelas untuk menuang es dawet dan juga mangkuk untuk tahu gejrot. Kulihat Bapak begitu menikmati makan siangnya dengan lahap. Beliau fokus menghabiskan makanan bahkan tak bicara. Aku juga ikut makan dengan cepat karena khawatir si kecil bangun dan butuh perhatianku. Namun, aku jadi ingat jika Pelangi sedang sakit.
Usai makan, kubereskan peralatan di meja dan membawanya ke wastafel agar dicuci Bibi nanti. Kupamit kepada Bapak sebentar untuk menengok Pelangi. Ternyata, puteri kecilku masih tertidur pulas. Aku lega saat kusentuh tubuhnya tak lagi panas meski berkeringat. Kulap tubuh Pelangi dengan handuk dan akan kuganti pakaiannya saat ia bangun nanti.
Ketika kumenoleh ke arah ruang tengah, Bapak sudah siap dengan bantal sofa dalam pangkuan. Aku bisa menebak jika Bapak sudah tak sabar menunggu kelanjutan kisahku. Jujur, aku tak menyangka jika beliau akan sangat tertarik entah apa yang membuatnya begitu penasaran ingin tahu lebih dalam. Sedang Robby saja tak pernah mengungkitnya.
"Lanjut, Nak, lanjut," pinta Bapak dengan wajah berbinar.
Aku tersenyum lebar karena Bapak sungguh bersemangat. Kududuk di samping beliau dan ikut memeluk bantal sofa.
"Lalu setelah itu ...."
Tentu saja aku merasa senang. Jantungku berdebar ketika nama Aksara Roma pada penutup pesan tertulis di sana. Beliau memintaku datang ke rumahnya membahas tentang penawaranku menjadi Ghost Writer untuknya. Bukan penulis hantu ya, tapi Ghost Writer sendiri adalah istilah bagi para penulis yang bekerja sebagai bayangan.
Menurut Wikipedia, Ghost Writer disebut sebagai Penulis bayangan atau penulis siluman. Orang yang mengambil profesi ini merupakan penulis profesional yang dibayar untuk menulis buku, artikel, cerita, laporan, atau teks lain yang secara resmi penghargaan atas karya tersebut jatuh kepada orang lain. Sebenarnya, para Ghost Writer dirugikan dalam beberapa aspek, tapi itu adalah konsekuensi yang sudah siap mereka terima. Ya, sepertiku. Banyak faktor yang membuat seseorang memilih untuk menyembunyikan keahliannya dan rela menjadikan orang lain sebagai piala.
Dalam kasusku, faktor itu karena minder alias tidak percaya diri. Aku masih merasa belum bisa menerima cibiran atas karya yang kuciptakan. Aku terbiasa dilindungi oleh Mas Tulis saat sekolah dulu. Walaupun setelahnya, aku tetap berkarya dengan ikut lomba. Aku mengirimkan karya-karyaku dengan nama Pena, bukan Alia Pitaloka. Siapa sangka, aku selalu menang dalam hal karya sastra entah puisi, membuat pantun, cerpen, dan sejenisnya.
Namun, ketika aku dipanggil untuk mengambil hadiah, rasa gugup selalu menyerangku. Aku tak berani menatap mata orang-orang itu. Kakiku selalu lemas seperti tak bertulang, berkeringat dingin, dan mendadak ingin kencing. Selalu seperti itu, bahkan sampai sekarang.
Lalu aku terpaksa berbohong kepada panitia dengan mengatakan aku orang suruhan penulis Pena. Aku memberikan bukti berupa naskah asli dari mesin ketik, lengkap dengan bukti pendaftaran keikutsertaan lomba. Panitia percaya dan menyerahkan hal tersebut padaku. Sesudahnya, selang beberapa jam, aku menelepon pihak panitia dan mengaku sebagai penulis Pena yang sudah menerima hadiah tersebut. Aku selalu membuat skenario seperti itu dan berhasil.
Namun, kini aku memiliki tim yang solid dan selalu mendukung jadi tak perlu membuat kebohongan seperti itu lagi. Lalu, kudatangi kediaman Aksara Roma seperti permintaannya. Aku tersenyum sinis pada dua satpam yang pernah mengolokku waktu itu. Mereka diam saja saat membuka pintu bahkan memalingkan wajah ketika kumelangkah masuk. Melihat perilaku Tuan Aksara Roma dan dua satpam itu, terbesit pemikiran jahat dalam diri. Majikan dan bawahan tingkah lakunya sama. Memuakkan, tapi itu semua hanya kusimpan dalam hati tak kuungkapkan.
Rumah mewah dua lantai yang memiliki pekarangan luas. Dua buah mobil berbeda tipe yakni sedan dan SUV, terparkir rapi di dalam garasi dengan pintu terbuka. Terlihat kolam ikan di tengah taman yang membuat suasana asri layaknya hunian orang kaya pada umumnya. Namun, bisa kuduga jika Aksara Roma sudah berkeluarga karena terlihat empat sepeda terparkir di samping rumah. Dua sepeda untuk orang dewasa, dan dua sepeda untuk remaja.
Benar saja, saat kumenaiki tangga menuju teras, kulihat seorang remaja perempuan keluar dari pintu utama. Aku menghentikan langkah dan tersenyum. Entah siapa namanya, tapi dia terlihat manis dan tampaknya masih sekolah dibangku SMP. Tak lama, muncul remaja laki-laki dengan pakaian olah raga yang ikut memandangiku.
"Tamu?" tanya anak lelaki itu dan aku mengangguk.
"Tuan Aksara Roma ada? Saya mendapat pesan dari beliau untuk datang kemari. Katanya, saya mendapatkan pekerjaan," jawabku santun, dan sengaja tak membocorkan jenis pekerjaan itu karena bersifat rahasia.
"Oh, gitu. Bentar, Kak. Duduk situ dulu ya. Aku panggilin Ayah," jawab remaja berambut hitam dan memiliki poni samping tersebut.
Aku mengangguk dan segera duduk pada sebuah kursi yang terbuat dari kayu. Kulihat remaja perempuan itu masih memandangiku saksama.
"Kalau boleh tahu, Kakak diterima kerja sebagai apa? Kakak masih keliatan muda banget," tanyanya seperti curiga padaku.
"Oh. Kakak ...," jawabku menggantung karena mencari alasan yang tepat. Baru akan kubuka mulut, kulihat sosok lelaki yang kuincar muncul bersama remaja lelaki tadi. Spontan, aku langsung berdiri dan membungkuk hormat.
"Kamu yang namanya Alia Pitaloka?" tanyanya memastikan.
"Benar, Tuan," jawabku dengan anggukan.
"Panggil aja, Aksara. Oh, Tuan Aksara juga boleh," imbuhnya.
"Baik, Tuan Aksara," jawabku tersenyum.
"Ayah. Kakak ini kerja sebagai apa? Kita 'kan udah punya pembantu," tanya si gadis remaja.
"Oh, dia nanti bantu Ayah untuk merapikan tulisan dari novel-novel yang akan diterbitkan. Kan kalian yang bilang sendiri kalau Ayah sibuk dan gak ada waktu buat temenin main. Jadi, Ayah minta bantuan sama Kak Alia ini untuk mengurus pekerjaan Ayah," jawabnya yang membuatku terdiam memikirkan alibinya.
"Jadi, Ayah beneran bisa temenin kita camping?" tanya gadis remaja yang kuyakini adalah puterinya.
Tuan Aksara Roma mengangguk dengan senyum terkembang. Terlihat, remaja laki-laki dan perempuan itu senang. Mereka memeluk penulis penjiplak karyaku itu dengan bahagia. Kutundukkan pandangan karena jujur, aku tak suka pemandangan ini. Dia berbohong pada keluarga meski dengan tipu muslihat kebahagiaan anak-anaknya. Aku memilih diam dan masih mencoba untuk meredam amarahku kala itu.
"Masuk, Alia. Akan saya kenalkan secara resmi dengan orang-orang rumah berikut pekerjaan yang akan dilakukan nanti," ajak Tuan Aksara.
Aku mengangguk dan mengikuti beliau di belakang. Dua anak Tuan Aksara lalu pergi entah ke mana dan aku tak peduli. Beliau mengenalkanku pada isterinya. Jujur, aku tak menduga jika isteri seorang penulis cukup modis bahkan bisa kubilang cantik. Namun, ada yang aneh dengan gelagat isteri Tuan Aksara itu.
"Papa. Mama mau ke salon. Pakai kartu kreditmu ya. Aku titip anak-anak. Gak lama kok, paling malem baru pulang soalnya ada arisan dengan temen-temen kuliah dulu," ucap si Nyonya besar seraya menengadahkan tangan kanan ke arah suaminya.
Aku berdiri diam meski bisa kulihat wajah Tuan Aksara seperti tertekan karena permintaan sang isteri. Beliau memberikan kartu kredit jenis platinum pada wanita cantik di depannya itu. Sang isteri memberikan kecupan manis di pipi Tuan Aksara dengan senyum tipis lalu melenggang pergi. Aku sempat menoleh dan melihat kepergiannya di mana aku merasa, jika wanita berambut sebahu itu tampaknya lebih dominan ketimbang calon bosku.
"Itu isteri saya. Namanya Permaisuri. Yah, begitulah. Unik memang, tapi ... gaya hidupnya memang seperti ratu. Jadi, biasakanlah," ucap Tuan Aksara seraya memasukkan dompet kulit ke dalam saku celana belakang.
Aku mengangguk dan kembali mengikuti beliau saat mengajakku ke lantai dua menaiki tangga. Ada sebuah ruangan dengan papan bertuliskan "Ruang Kerja". Tuan Aksara membuka pintu yang sepertinya tak dikunci itu karena beliau bisa masuk dengan mudah. Kulihat ruangan itu cukup nyaman. Ada dua meja kerja. Satu meja berukuran besar dengan kursi yang terlihat empuk dan mewah. Lalu ada laptop berikut beberapa aksesoris penunjang untuk mempercantik dekorasi meja itu. Kuyakin jika meja itu wilayah kerja Tuan Aksara.
"Ini meja kerjamu nanti," ucap beliau saat menunjuk sebuah meja kerja yang berada di pojokan dekat pintu masuk.
Namun, ada sekat pembatas layaknya kantor seperti memang sengaja dibatasi. Ukuran ruangan dalam kotak itu lebih kecil dan ada set komputer di sana. Ya, itulah tempat kerjaku nanti. Kudatangi calon ruang kerjaku dan menarik sebuah kursi beroda meski tak sebagus milik bosku. Kucoba duduk untuk merasakan kenyamanan dari tempat kerjaku nanti. Tuan Aksara mendatangiku dan berdiri depan meja seraya memasukkan dua tangan ke dalam saku celana kain. Jujur, jantungku berdebar karena sepertinya beliau ingin menyampaikan sesuatu.
"Tak ada yang boleh tahu jika kamu nanti bekerja sebagai Ghost Writer, termasuk isteri dan anak-anakku, berikut pegawai di rumah ini. Hanya kau, aku dan Tuhan saja yang tahu. Kau paham, Alia," tegasnya. Aku mengangguk dan di sini, bisa kulihat sisi lain dari seorang Aksara Roma. "Lalu, dalam waktu satu tahun ini, harus ada satu karya yang kuterbitkan," imbuhnya. Aku mengangguk lagi. "Aku sudah melihat hasil tulisanmu dan juga karyamu sebelumnya. Bagiku, cukup menarik meski kulihat kau sepertinya butuh belajar banyak tentang cara penulisan, tapi ... itu bukan masalah. Yang kubutuhkan adalah ide ceritamu. Sisanya, aku akan merombaknya."
Entah kenapa ucapan terakhirnya membuat dadaku sesak. Namun, ini pilihanku dan sudah tahu konsekuensinya. Beliau kemudian mengambil sebuah buku dari rak kayu dekat meja kerjanya. Ia lalu meletakkan di depanku. Kusipitkan mata karena kukenali dari sampul novel itu.
"Saya sudah membacanya, Tuan. Saya juga membeli seluruh novel karya Anda," ucapku.
Kulihat Tuan Aksara seperti terkejut karena ia mengerutkan wajah selama beberapa detik lalu tersenyum dengan anggukan.
"Bagus. Jadi, kau sudah tahu gaya bahasa dan juga penulisanku," tegasnya.
Aku diam sejenak. Ada beberapa hal yang ingin aku ucapkan, tapi tak yakin jika hal itu bisa diterima dengan baik oleh si penjiplak ini. Namun, aku ingin sekali menyampaikannya. Jadi, aku nekat.
"Hanya saja untuk novel terakhir. Cara penulisan dan gaya bahasa Anda berbeda dari karya sebelumnya, Tuan Aksara. Namun, jangan khawatir, saya bisa membuat lanjutan kisah dengan gaya yang sama," ucapku sedikit menyombong.
Tuan Aksara terdiam. Di sini aku merasa sedikit bodoh karena seperti keceplosan. Emosi membuat diriku dalam bahaya dan khawatir, jika Aksara menyadarinya. Namun ternyata ....
"Hem, baguslah kalau begitu. Coba kaubuat lanjutan kisah Roger. Aku ingin membacanya. Berikan sinopsis lengkapnya padaku. Kuberi waktu satu minggu karena kau masih baru," ucapnya.
Namun, aku tersenyum. Kubuka tas ranselku dan kuberikan sebuah map padanya. Tuan Aksara tampak bingung, tapi menerima map pemberianku. Beliau langsung membukanya dan bisa kulihat, matanya melebar ketika membuka lembaran-lembaran kertas yang sudah kususun rapi meski kuketik dengan mesin tik.
"Kau sudah membuat alur ceritanya bahkan sampai tamat?" tanya Aksara menatapku lekat.
"Ya. Hal itu ... terpikirkan begitu saja begitu selesai membaca novel baru Anda. Saya mencoba menuangkan hal tersebut dan ... seperti itulah ide saya," jawabku tenang.
Aksara mengusap mulutnya dengan satu tangan di mana tangan lainnya masih memegang map berisi sinopsis ceritaku. Kulihat matanya bergerak seperti membaca tiap kalimat yang kusajikan. Hingga akhirnya, ia tertawa.
"Hem, aku suka idemu. Oke, aku terima. Sebagai awal, ini uang dari ide cerita yang kuterima dan tanda kaumulai bekerja untukku," ucapnya seraya mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari saku celana bagian depan seperti sudah ia persiapkan.
Mataku langsung bergerak dan menatap amplop cokelat itu saksama saat berada tepat di depanku. Aku menerimanya dan segera kumasukkan ke tas tanpa kuhitung berapa jumlahnya. Sebab yang kuincar adalah Aksara Roma, bukan uangnya.
"Kau bisa mulai bekerja secara resmi Senin depan untuk menyelesaikan kisah ini," sambungnya seraya memegang map berisi ide ceritaku.
"Anda ... tak ingin memberikan saran atau ide sisipan untuk kisah ini? Asli dari sinopsis yang saya berikan?" tanyaku heran.
"Mungkin ada, tapi nanti ketika kau sudah mulai menuliskannya dalam beberapa bab. Terkadang, ide itu mengalir saat membaca beberapa adegan. Bisa saja saat kau mulai mendiskripsikannya dalam beberapa episode, ada kejanggalan dan harus kubenahi," jawabnya tenang.
Aku mengangguk pelan karena bagiku apa yang ia ucapkan ada benarnya. Hari itu aku pamit pulang karena kedatanganku sebagai kunjungan resmi untuk perkenalan dan tes apakah diterima bekerja atau tidak. Siapa sangka, hal yang sangat aku nantikan kembali terwujud. Aku pergi meninggalkan kediaman Tuan Aksara Roma dan bergegas menuju ke mesin ATM Setor Tunai terdekat.
Aku sengaja menyiapkan rekening khusus yang nantinya semua uang pemberian Aksara Roma kusimpan di sana. Siapa sangka, Aksara Roma memberikanku 5 juta untuk ide lanjutan kisah itu. Entah itu banyak atau tidak, tapi rasanya ... dia akan mendapatkan hasil lebih ketika buku itu terjual mengingat jumlah pembacanya begitu banyak. Kutenangkan hati ini lagi agar dendam tak semakin berkecamuk. Aku penasaran, apa yang akan terjadi selanjutnya ketika melihatnya bekerja langsung untuk merealisasikan ide ceritaku itu.
***
uhuy makasih tipsnya😍lele padamu. dan ... selamat malam para LAP💋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Willy Yolanda Kutus Tuban
jd pengen tahu gejrot😂
2022-11-14
1
Wati_esha
Aksara Roma, dengan lagaknya... 🤔
2022-08-19
1
Wati_esha
Waow .. 5 juta untuk berapa examplar buku yang dicetak.
2022-08-19
1