Otodidak

Mau tidak mau, akhirnya aku menceritakan kisah lalu. Namun, karena yang memintanya masih anak sekolah dasar, kubatasi pada hal-hal tertentu karena khawatir jika mereka tak bisa menanggapi dengan bijak.

Kupilih saja momen saat mulai merintis dalam dunia penulisan. Namun, jauh sebelum itu kucoba kembali lagi ke masa sekolah ketika seperti Wita dan Zacky.

"Mau denger kisah Tante saat sekolah kaya kalian dulu gak?" tanyaku seraya memandangi dua keponakan lekat.

"Zaman sekolah? SD kaya kita, Tante cantik?" tanya Zacky dengan mata bulatnya. "Ya, ya boleh," imbuhnya senang.

Kukembangkan senyuman karena usaha untuk mengalihkan tragedi mencekam 5 tahun silam berhasil. Kucoba mengingat kisah menyenangkan yang mungkin bisa menginspirasi mereka.

"Dulu ... Tante suka sekali menari. Tari tradisional tentunya," ucapku memulai.

"Tari tradisional? Kaya pertunjukan tari yang pakai selendang terus pakaian daerah gitu ya, Tante?" tanya Wita, dan aku mengangguk membenarkan. "Wita juga suka. Wita ikut les tari itu, tapi baru mulai bulan depan," jawabnya antusias.

"Nah, bagus. Mumpung masih muda, kalian berdua harus memperbanyak pengalaman. Apalagi Ayah dan Bunda ekonominya cukup mampu. Jarang loh ada orang tua yang mendukung kegiatan anak-anaknya di luar sekolah. Kalian beruntung," ucapku.

"Benarkah?" tanya Zacky tampak ragu.

"Ya. Dulu, kehidupan ekonomi keluarga Tante tak seberuntung kalian. Gaji Ibu dan Ayah Tante sangat sedikit. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu saja saat sekolah, buku pelajaran beli di pasar loak barang bekas karena Ayah Tante gak sanggup beli buku baru. Termasuk sepatu dan tas juga. Tante beli di pasar bagian barang bekas. Jarang sekali Tante punya barang baru," jawabku jujur menceritakan kehidupan sulit saat orang tuaku masih ada.

"Tante kasian banget. Kenapa gak bilang sama Om Robby? Pasti dibeliin," tanya Wita dengan wajah sedih, tapi aku malah ketawa.

"Saat itu, Tante belum kenal Om Robby. Om juga pasti masih sekolah kaya Tante. Selain itu, Tante tinggal di Jogja, sedang Om di Jakarta. Jauh, Sayang," jawabku menahan senyum.

Entah apa yang dipikirkan dua anak itu, tapi melihat ekspresi mereka, aku jadi mengurungkan cerita masa sekolah dasar. Aku mulai mengganti topik.

"Meski demikian, Ayah Tante selalu mendukung agar ikut lomba. Supaya percaya diri. Jadi, Tante mencoba hampir semua lomba yang berhubungan dengan dunia seni. Seperti mewarnai, menggambar, membuat kreasi, menari, dan menyanyi," jawabku senang.

"Tante menang?" tanya Wita dengan wajah berbinar.

"Hahaha! Kalah semua! Namun, dari situ Tante tahu jika di luar sana banyak orang-orang yang lebih jago. Oleh karena itu, Tante jadi termotivasi untuk mengalahkan mereka dengan meningkatkan kemampuan meski otodidak," jawabku semangat.

"Oto apa? Zacky tahunya otoped," sahutnya polos. Kembali, aku terkekeh.

"Otodidak itu maksudnya mempelajari suatu hal secara mandiri tanpa guru pembimbing. Jadi gurunya ya kita sendiri. Kita dipaksa untuk paham dan bisa mencari solusi jikalau yang kita kerjakan benar atau tidak," jawabku menjelaskan, tapi dua anak itu malah mengedipkan mata. "Bingung ya?"

"Wita gak ngerti."

"Hem, Zacky juga gak paham."

Aku terkekeh untuk kesekian kali. Mungkin bahasaku kurang sederhana. Hem, mengingat dua orang di depanku ini masih butuh banyak pembelajaran, kucoba menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami. Wah, ini ujian yang cukup sulit.

"Otodidak itu belajar sendiri tanpa guru. Seperti Wita saat menyanyikan lagu Frozen 'kan gak ada yang ngajarin. Wita juga belum bisa bahasa Inggris 'kan? Namun, Wita bisa menyanyikan lirik lagu itu dengan benar. Wita mendengarkan dan terus mengulangnya sampai hafal. Benar gak?" tanyaku, dan Wita mengangguk cepat.

"Oh. Kaya Zacky waktu benerin rantai sepeda sendiri waktu copot ya, Tante? Yang waktu itu Om Robby sempet tanya kenapa gak bawa ke bengkel?"

"Ya, itu benar. Terus, kamu jawab apa? Tante masih inget loh," tanyaku memancing.

"Zacky bilang kalo mau coba benerin sendiri. Zacky pernah liat Abang bengkelnya terus coba praktikin. Ternyata bisa, walaupun tangannya jadi kotor kena angus," jawabnya seraya melihat telapak tangan yang bersih.

Mungkin Zacky teringat kenangan itu saat tangannya jadi hitam.

"Ya. Itu salah satu otodidak. Kalian cuma perlu mengamati, mengingat, dan mempraktikkan. Kalau ada niat, semua pasti bisa," jawabku menekankan.

"Wita suka otodidak," jawab gadis manis berambut hitam panjang itu dengan senyuman.

"Hem, Zacky juga. Ah, jadi pengen coba pompa ban. Zacky penasaran bisa apa gak. Yuk, Wita! Kita main sepeda!" ajak anak lelaki berambut hitam itu.

"Yuk, yuk!" sambut Wita langsung berdiri.

Keduanya mendatangiku lalu mencium pipi kanan dan kiri. Aku terkekeh, tapi kubiarkan.

Zacky dan Wita tampak semangat untuk mencoba hal baru. Aku juga lega karena tak perlu bercerita lebih jauh lagi tentang kisah masa lalu yang cukup menyedihkan dan rumit.

"Sayang?" panggil Robby tiba-tiba yang membuatku langsung menatapnya lekat di kejauhan.

"Ya?"

"Pelangi udah ngantuk. Kamu boboin deh. Kasihan, di luar berisik," pintanya.

"Oh, oke," jawabku lalu beranjak.

Kudatangi sepupu yang sedang menggendong Pelangi. Kuambil darinya dan kubawa ke kamar untuk ditidurkan. Ternyata, Robby ikut menyusul seraya membawa dot berisi susu hangat untuk buah hati kami.

"Muach! Kalian berdua kesayangan Papa," ucap Robby usai mencium pipi Pelangi dan pipiku.

Aku tersenyum tipis seraya membaringkan tubuh di samping Pelangi. Robby ikut merebahkan tubuh di samping puteri kami seraya menepuk pahanya yang menggemaskan.

Sepertinya aku tertidur saat menidurkan buah hati. Ketika kuterbangun, Robby sudah tak ada di samping Pelangi entah berada di mana.

Aku yang masih lelah dan mengantuk, memilih untuk tetap membaringkan tubuh seraya mengelus lembut perut lucu Pelangi.

Kutatap langit-langit kamar berlapis cet warna putih dan ada sebuah lampu di tengah-tengah sedang tak dinyalakan karena jam dinding masih menunjukkan pukul 3 siang.

Namun perlahan, aku seperti terbawa ke masa lalu ketika teringat kisah saat duduk di bangku SMA.

Waktu itu, guru teaterku yang bernama Tulis Panggabean memberikan ilmunya dalam dunia seni.

Kami berbicara dalam bahasa Indonesia campur Jawa. Terjemahan.

"Olah vokal dan pernapasan itu penting agar suara kita lantang, berkarakter, serta jernih. Panggung teater itu luas, dan para penontonnya duduk sampai beberapa meter ke belakang, bahkan ada yang di atas karena bertingkat. Seorang pemain berbakat, tak perlu mic atau pun alat tambahan untuk membuat suaranya menjadi besar dan terdengar jelas. Seorang pemain teater mampu menguasai teknik vokal, panggung, dan juga merenggut hati para penonton dengan keahliannya. Itu, yang harus kalian dapatkan selama berlatih bersama saya, Mas Tulis," ucap beliau kala itu dengan mantap meski logat Jawa medok begitu kental.

Meski demikian, perkataannya membuat jantungku berdebar. Sosok Mas Tulis kala itu begitu menginspirasi.

Aku belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun agar bisa menunjukkan bakatku kepada para penonton nantinya serta membanggakan kedua orang tua.

Sebelum latihan peran, aku dan teman-teman dari berbagai kelas berkumpul di aula untuk latihan vokal. Jika dilihat, latihan itu sangat mudah, tapi sebenarnya sulit jika salah dalam menerapkan teknik.

Kupegangi perutku saat kumeneriakkan huruf vokal secara bergantian per tiga kali seperti, "A! A! A!"

Mulutku terbuka lebar, tak ada yang namanya takut wajah menjadi jelek. Hal itu tak berlaku bagi Mas Tulis karena kecantikan sejati itu dilihat dari perilaku dan tutur kata. Hem, aku setuju dengan hal itu. Jika mendapatkan paras rupawan, itu adalah sebuah berkah dari Tuhan.

Perutku akan cekung ke dalam saat melontarkan huruf-huruf itu dengan ritme teratur. Perutku akan kembali cembung saat udara yang sebelumnya tersimpan di rongga perut masih tersedia.

Kata Mas Tulis, ketika latihan vokal dan merasa lapar, itu berarti teknik kita benar. Jika tenggorokan tak kering dan tak merasa haus, teknik yang diterapkan sudah benar karena menggunakan pernapasan perut bukan leher.

Ternyata, teknik yang terbilang susah-susah gampang itu telah menyingkirkan beberapa kawanku karena dianggap gagal oleh Mas Tulis.

Beberapa dari mereka batuk-batuk dan seperti sesak napas. Mereka dipisahkan dan diminta untuk memperbaiki olah vokal bersama para murid senior yang membimbing. Aku cukup kagum pada diri sendiri karena terbilang benar.

Ternyata, banyak pembelajaran tentang dunia teater yang sangat bermanfaat ketika kumenjadi penulis seperti saat ini.

Aku mampu menuliskan sebuah ekspresi dalam kalimat ketika membayangkan diri sebagai tokoh tersebut seperti dalam adegan sebuah film.

Siapa sangka, hal itu ternyata bisa menghipnotis para pembaca untuk ikut serta seakan mereka juga berperan dalam hal itu.

Meski demikian, aku yakin jika imajinasi kami sedikit berbeda. Namun, pesan yang kusampaikan berhasil masuk dalam hati dan pikiran pembaca.

***

masih eps dari bonus tips jeng Alia🥰 normal panjang naskah 1000 kata ya. karena ada tips jadi 1341 kata nih. tengkiyuw alia, lele padamu❤️ kalo ada typo koreksi aja ya😁

Terpopuler

Comments

Sri Bayoe

Sri Bayoe

jadi tambah ilmu nih

2023-04-09

1

Erna Wati

Erna Wati

wah kayanya ni cerita ttg hidup Lele ya

2022-09-25

1

Shofia Febrianti

Shofia Febrianti

Alia Pitaloka, adalah lele🥰🥰🥰 dan pengalaman teater kak lele bnr2 membantu penulisan di novel2nya kak lele🖤🖤🖤

2022-08-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!