Kutarik napas dalam karena paru-paruku mulai memburu. Kulirik Bapak dan sepertinya beliau ikut tegang mendengar kesaksianku.
"Kamu sengaja kasih ide cerita itu ke Aksara Roma? Bukannya kalau begitu, malah bikin dia gak kapok dan semakin ngelunjak? Kamu bagaimana sih, Al? Malah kasih rejeki nomplok sama dia. Kamu rugi dong," ucap Bapak menatapku lekat seperti bingung dengan jalan pikiranku kala itu.
Aku tersenyum menanggapinya. "Alia punya alasan khusus kenapa nekat melakukan hal itu, Pak. Tujuan Alia cuma satu. Buat ambil buku yang hilang karena Alia yakin jika Tuan Aksara Roma menyimpannya, tapi di suatu tempat dan Alia ingin mencari tahu," jawabku mencoba memberikan pengertian.
"Woo, kamu jadi kaya detektif terselubung ya? Hehe, boleh juga idenya walaupun bagi Bapak, kamu tetep rugi, tapi ya ... risiko sih. Lalu, gimana lanjutannya?" tanya beliau terlihat makin semangat menunggu sambungan ceritaku.
Kucoba mengingat kejadian setelah pulang dari kediaman Aksara Roma. Ah ya, aku lalu mengajukan surat pengunduran diri dari perusahaan. Jujur, sebenarnya aku enggan. Namun, aku yang ingin menguak tindakan curang Aksara Roma, membuatku nekat melepaskan pekerjaan yang sudah mengayomi selama berkarir di Jakarta. Tentu saja, hal ini membuat beberapa orang menyayangkan keputusanku.
"Lalu ... kamu kerja apa setelah keluar dari sini?" tanya HRD yang tampak kecewa karena keputusanku yang tiba-tiba.
"Sementara mau istirahat dulu, Pak. Saya capek," jawabku beralasan.
"Kalau capek, ambil cuti aja, gak usah resign," sarannya. Yah, benar juga kata HRD-ku.
Masalahnya, aku memiliki tuntutan baru dalam perjanjian kerja dengan Aksara Roma. Aku juga tak bisa membocorkan pekerjaan baruku kepada pihak kantor. Takut jika mereka tahu tujuanku di mana pernah kusampaikan jika ingin menjadi penulis novel seperti Aksara Roma. Nanti mereka berspekulasi jika aku yang malah memanfaatkan penulis curang itu, bukan sebaliknya.
Karena bagaimanapun, Aksara Roma sudah menjajaki dunia kepenulisan lebih dulu dariku. Selain itu, namanya dikenal. Bahkan sudah menciptakan banyak karya yang diakui dalam skala nasional. Sedang aku, halo? Anak masih bau kencur yang mencoba mengambil haknya meski sudah dicuri orang demi kepentingan pribadi. Jadi ... aku terpaksa berbohong lagi untuk melindungi misi.
"Saya juga mau pindah kos, Pak. Saya mau cari pekerjaan yang lebih santai walaupun gajinya tak sebesar di sini. Saya ... mau menata hidup lagi," ucapku dengan memasang wajah memelas meski tak yakin jika acting-ku berhasil.
"Ya sudah, Bapak gak maksa. Semoga ... di tempat baru, kamu nyaman dan dikelilingi orang-orang yang peduli padamu. Bagaimanapun, Jakarta dan Yogyakarta beda, Alia. Jaga diri baik-baik ya. Kamu itu ... masih lugu. Bapak khawatir kamu dijahatin dan dimanfaatin orang. Semoga Allah selalu melindungimu," ucap HRD-ku yang tak kusangka, jika diam-diam beliau peduli padaku.
Jujur, ada rasa menyesal kukeluar karena selama ini, baik pegawai atau petinggi perusahaan selalu bersikap ramah bahkan sering mentraktir atau memberikan oleh-oleh ketika mereka bertugas di luar kota. Sangat disayangkan aku meninggalkan dunia yang sebenarnya adalah salah satu mimpiku. Namun, demi bukuku, ideku yang sudah tertulis sejak duduk di bangku sekolah, tak akan kubiarkan orang curang seperti Aksara Roma mendapatkan kesuksesan atas jerih payahku selama ini.
Aku konsisten dengan yang kuucapkan. Aku memberi kabar kepada Aksara Roma untuk meminta libur selama dua hari dalam rangka pindah ke sebuah rumah kontrakan. Ternyata, Aksara Roma cukup baik hati. Dia juga mengatakan akan pergi bersama keluarganya untuk camping di Puncak Bogor selama 3 hari 2 malam. Jadi, aku malah mendapatkan jatah libur selama 3 hari darinya.
Kumanfaatkan hal itu dengan mengangkut barang-barang di kos lamaku ke sebuah rumah kontrakan di daerah Jakarta Selatan agar dekat dengan hunian Aksara Roma. Kala itu, harga sewa sebuah rumah kontrakan model petakan sekitar 700 ribu tiap bulan belum termasuk listrik. Ada sebuah ruang tamu, kamar tidur, dapur dan juga kamar mandi. Teras kecil bagian depan tanpa halaman karena kawasan rumah kontrakan berdempetan dan cukup padat. Beruntung, aku mendapatkan sebuah rumah di sana karena penghuni lamanya pindah keluar kota setelah menikah.
Aku langsung dengan cepat bergaul dengan para tetangga yang semuanya sudah berkeluarga. Hanya aku seorang yang masih sendiri, tapi itu bukan hal besar untukku. Hunian baruku berada dalam sebuah kampung dengan jalanan konblok yang cukup sempit karena hanya muat untuk masuk satu buah mobil. Jika bertemu mobil lain, maka salah satunya harus mengalah untuk mundur. Ya, begitulah Jakarta. Padat, baik populasi ataupun pemukimannya.
Hingga akhirnya, 3 hari berlalu. Aku siap untuk bekerja di kediaman Aksara Roma di mana aku diminta datang tepat waktu sebelum jam 9 karena bos baruku memiliki jadwal teratur di mana jam 9 waktunya bekerja, dan berakhir saat jam 5 sore karena saat malam hari, ia menemani dua anaknya. Lalu, di mana sang Permaisuri? Hem, ternyata setelah aku mengamati sekitar satu minggu di rumah Aksara Roma, si Permaisuri ini adalah anak tunggal dari seorang keluarga kaya raya. Terbiasa hidup mewah dan semuanya dilayani. Aksara Roma teman semasa kuliah Permaisuri.
Kata Bibi yang bekerja sebagai pembantu dan sudah ikut sejak mereka menikah, orang tua Permaisuri sebenarnya tidak setuju karena menganggap pekerjaan seorang novelis tak menjanjikan. Namun kala itu, Permaisuri yang sudah cinta mati dengan Aksara Roma nekat menikahinya. Anak tunggal dan ahli waris sah keluarga Ningrat, membuat kedua orang tua Permaisuri akhirnya pasrah menikahkan keduanya. Namun katanya, jarang sekali orang tua Permaisuri datang berkunjung. Lebih sering Permaisuri dan dua anaknya yang datang ke rumah nenek kakek. Kadang, Aksara Roma tak ikut serta dan memilih untuk di rumah dengan bekerja.
Aku yang jadi tahu karena kulihat si Bibi suka bergosip, malah mendapatkan banyak petunjuk tentang bos baruku itu tanpa repot-repot mengulik kehidupannya. Baguslah. Hanya saja, sepertinya isteri Aksara Roma pencemburu. Ia tampaknya tak suka aku bekerja satu ruangan dengan suaminya. Dia tak tahu saja maksudku bekerja dengan si tukang jiplak itu. Aku malah jadi penasaran dengan respon keluarganya ketika tahu kecurangan yang dilakukan pria bernama Aksara Roma.
"Tuan," panggilku saat akan pulang karena jam kerja telah usai.
"Ya, Al. Gimana?" tanya beliau seraya melepaskan kacamata usai mengoreksi kerangka yang kubuat untuk novel barunya.
"Gimana kalau saya tak perlu datang tiap hari ke rumah? Saya bisa mengirimkan hasil pekerjaan melalui email. Itu karena ... saya kurang nyaman berada satu ruangan hanya dengan Tuan Aksara saja. Takut nanti ada gosip tak sedap," alibiku.
Tuan Aksara diam menatapku lekat, tapi kemudian mengangguk. "Hem, yakin itu alasannya? Bukan karena isteri saya?" tanya beliau yang seperti bisa menebak entah dari mana insting itu datang.
Aku spontan tersenyum, tapi mengangguk pelan karena benar adanya. Jujur, aku masih belum pandai dalam berbohong. Aku kadang takut jika niatanku bekerja pada Aksara Roma akan ketahuan suatu saat nanti sebelum kecurangannya berhasil kuungkap.
"Ya, ya, saya paham. Oke, ini," ucap beliau seraya memberikan sebuah kartu nama.
Kuterima kertas persegi panjang warna putih itu dan kuamati saksama di mana terdapat alamat email di sana. Aku mengangguk pelan karena tahu apa yang harus dilakukan. Aku lalu pamit dan menutup pintu lagi. Namun, betapa terkejutnya saat ingin melangkah menuju tangga, isteri Aksara Roma sudah berdiri dengan wajah bak nyonya besar yang sadis menatapku tajam. Perasaanku tak enak karena sikapnya.
"Aku dengar yang kamu katakan dengan suamiku, tapi ... baguslah kalau kamu peka. Kamu cukup datang saat diminta. Kalau gak, tak perlu datang ke rumah. Paham ya, Alia," tegasnya.
"Ya, Nyonya," jawabku pelan.
"Kamu pinter 'kan walaupun gak kuliah. Aku sudah tahu masa lalumu. Yatim piatu dan mengadu nasib dengan bekerja di Jakarta. Kau juga pernah bekerja di sebuah perusahaan Event Organizer yang ternyata suamiku pernah melakukan kerjasama dengan mereka. Oke, sejauh ini kau dinyatakan bersih, tapi ingat. Aku mengawasimu," ucap Permaisuri yang membuat mataku melebar seketika.
Gila ini ibu-ibu! Sampai menyelidiki asal-usulku. Gawat kalau dia mencari tahu lebih banyak lagi. Jangan sampai tujuanku kemari juga diketahui olehnya. Bisa-bisa, aku dituntut akan suatu hal yang tak kupahami landasan hukumnya berikut hal buruk lainnya. Namun, ada bagusnya juga dia mengatakan hal ini. Aku bisa waspada, batinku kala itu.
Kutersenyum sebagai pembuka jawaban. "Ya, Nyonya. Saya mengerti. Ngomong-ngomong, Anda hebat sekali sampai tahu sedetail itu. Saya ... orang biasa yang sedang mencari pengalaman dalam dunia kepenulisan. Kebetulan, saya suka seni dan ingin menjajaki dunia novelis," jawabku jujur.
"Kau ingin merebut atau menggeser posisi suamiku dengan mencuri ilmunya? Begitu?" tanyanya yang berkesan menyindir. Praktis, senyumku sirna seketika.
"Maaf, tapi ... saya tak pernah terpikirkan hal tersebut," jawabku dengan kening berkerut.
"Jika ya, segera singkirkan jauh-jauh niat busukmu agar bisa menjadi seperti suamiku. Kau, tak sebanding dengannya. Bagaikan langit dan bumi. Kau, seperti punuk merindukan rembulan agar bisa sampai di posisinya. Ingat dari mana kau berasal," tegasnya yang begitu menohok.
Aku hanya mengangguk dengan senyum paksa. Kulihat Permaisuri berjalan menuju ke ruang kerja Aksara Roma lalu menutup pintu. Akhirnya aku bisa menarik napas lagi yang seakan tertahan dan oksigen begitu tipis sampai tak bisa dihirup. Aku melangkah turun perlahan bahkan sampai menghitung jumlah anak tangga terakhir. Kupergi meninggalkan kediaman Aksara Roma dengan hati berkecamuk usai mendengar penuturan isterinya.
"Sebegitu rendahnya diriku sampai dia mencemooh begitu kejamnya? Aku tak pernah mendengar ucapan begitu menyakitkan hati seperti ucapannya barusan," ucapku seraya menepuk-nepuk dadaku yang terasa sesak karena tak pernah mendapatkan sindiran seperti itu.
"Sabar ya, Al. Kita gak bisa berharap semua orang baik," ucap Bapak tiba-tiba yang membuatku langsung tersadar karena seperti kembali ke masa lalu. Aku tersenyum dengan anggukan. Saat kuakan kembali melanjutkan kisah, kudengar Pelangi seperti merengek. Ternyata, Bapak juga menyadari hal itu. "Urusin Pelangi dulu aja. Kita sambung lagi nanti. Bapak mau istirahat dulu," ucap beliau dan kuangguki permintaannya.
Kusegera beranjak dan mendatangi puteri kecilku yang menangis dengan tubuh berkeringat. Namun, aku merasa demamnya sudah mulai berkurang.
"Mama, lepas," rengeknya terlihat tak nyaman dengan kompres perekat yang menempel di dahi.
Aku melepaskan kompres itu perlahan dan membuangnya. Kulepaskan pakaian anak gadisku yang basah seperti mandi keringat. Kukenakan pakaian baru yang lebih nyaman untuknya. Kuberikan susu formula padanya dari dot karena kulihat puteriku kehausan.
"Bobo lagi? Makan dulu yuk. Perutnya kecil nih, gak gendut. Nanti gak lucu lagi loh, gak bisa dicubit," ucapku seraya mencubit-cubit perutnya.
Namun, Pelangi malah tertawa dan terus memegangi dotnya dalam posisi merebahkan diri. Perlahan, Pelangi memejamkan matanya lagi. Sepertinya, dia masih mengantuk. Kuninabobokan si manis menggemaskan itu seraya menepuk-nepuk pantatnya. Perlahan, aku malah ikut merasa ngantuk dan sepertinya ... aku tertidur.
Sebab saat bangun, kudengar Pelangi sudah kembali riang karena bernyanyi di atas kasur bersama boneka-bonekanya. Senyumku terkembang karena puteri kecilku sudah sembuh dari demamnya.
***
ILUSTRASI. SOURCE : GOOGLE
ngabisin brankas koin biar bisa gajian sebelum tamat😆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Wati_esha
Mencuri ilmu? Apa yang ia tahu?
2022-08-20
0
Wati_esha
Sadis beut tuh permaisurinya.
2022-08-20
0
Wati_esha
Tq update nya.
2022-08-20
0