Aku Memaafkanmu*

Entah hanya perasaanku saja, atau memang ketegangan begitu terasa di ruangan yang cukup luas itu. Padahal, AC menyala. Jarak antara satu sofa dengan sofa lainnya cukup berjauhan. Serta, tak banyak orang di dalam ruangan. Namun, aku merasa sesak dan pengap.

Mungkin karena, masih teringat jelas masa laluku dengan Tuan Aksara Roma. Dia yang merasa diriku sebagai ancaman bagi karir menulisnya, nekat ingin membunuhku meski aksinya berhasil digagalkan kala itu.

Mungkin benar juga yang dikatakan Tuan Aksara jika aku orang yang peka terhadap sekitar termasuk perasaan seseorang.

"Alia," panggilnya lirih yang membuatku sedikit terkejut karena akhirnya, Tuan Aksara mulai bicara. "A-aku ...."

"Aku memaafkanmu, Tuan Aksara. Semua orang pernah melakukan kejahatan. Bahkan, aku juga terpaksa berbohong padamu tentang maksud dan tujuanku menjadi ghost writer," potongku cepat karena kulihat dia gugup.

Namun, Tuan Aksara Roma malah menggelengkan kepalanya cepat terlihat begitu sedih. Hem, apakah ... aku salah menebak?

"Dosa dan penyesalanmu tak sebanding denganku, Alia. Aku hampir menjadi seorang pembunuh. Selama aku mendekam di penjara, bahkan sampai aku dibebaskan, rasa sesal itu tak bisa hilang. Kejadian hari itu merenggut semuanya dariku. Rasa takut jika kehilangan keluarga membuatku gelap mata. Dan seperti yang kutakutkan, mereka meninggalkanku bahkan tak mau mengakuiku lagi. Aku hancur, Alia. Aku hancur," ucapnya dengan suara bergetar seperti akan menangis.

Entah kenapa penuturannya malah membuat hatiku sedih. Aku tahu jika Tuan Aksara Roma sangat mencintai isteri dan anaknya. Selalu berusaha meluangkan waktu untuk mereka.

Namun, mantan bosku ini juga mendapat tekanan dari hidupnya karena berprofesi sebagai penulis.

Aku menoleh ke arah Agatha Fanny dan suamiku dengan harapan bisa meminta nasihat dari mereka atas kasus ini. Namun, kulihat Robby tersenyum seraya memegang pundakku lembut.

"Lakukan apa yang perlu dilakukan. Kami mendukungmu, Sayang," ujar Robby Purnama—suamiku.

Praktis, senyumku terkembang seketika, begitu pula Agatha yang mengangguk pelan seperti menyetujui keputusanku nanti. Kukembali menatap Tuan Aksara yang masih berwajah sendu.

"Tuan Aksara, bukankah ... dulu Anda pernah bercerita padaku jika ingin menjadi seorang guru?" tanyaku menatapnya lekat. Tuan Aksara mengangguk pelan. "Bagaimana jika membuka sebuah kelas penulisan untuk membantu para penulis mewujudkan impiannya menjadi seperti Anda? Bukankah ... menyebarkan inspirasi dan ilmu pengetahuan sebuah hal yang mulia. Walaupun mungkin bayarannya tak seberapa," ucapku menawarkan dengan hati-hati takut beliau tersinggung.

"Aku ... sudah kehilangan rasa percaya diri untuk bertatapan dengan orang-orang, Alia. Selama ini, mereka melihatku dengan sorot mata mengintimidasi. Mentalku jatuh seketika meski bibir mereka tak berucap. Aku ... tidak bisa," jawabnya dengan pandangan tertunduk.

Kuembuskan napas panjang karena bisa kulihat jika Tuan Aksara sungguh terpuruk. Aku yakin jika hidupnya sulit usai keluar dari bui.

"Bagaimana jika menjadi editor di perusahaan kami?" tanya seorang laki-laki yang duduk mengawasi di kejauhan sejak aku memasuki ruangan yang tak lain adalah bagian promosi pihak manajemen penerbit.

"Ma-maksud Anda?" tanya Tuan Aksara menoleh ke arah lelaki berdasi hitam itu.

"Kami kekurangan orang sebagai editor. Karir Anda sebelum kasus lima tahun silam, sangat mengesankan. Selain itu, secara tak langsung Anda juga sudah membuat Alia Pitaloka terkenal karena ia berguru pada Anda," ucap pria bersetelan abu-abu seraya beranjak dari dudukan. Aku mengangguk membenarkan ucapannya. "Banyak penulis baru lahir tiap harinya dan kami kewalahan saat harus menerima naskah-naskah itu untuk dievaluasi. Jadi, jika Anda bersedia, aku akan sampaikan hal ini pada manager. Anda bisa tetap bekerja di balik meja tanpa diketahui oleh orang-orang," jawab lelaki itu seraya berjalan mendekati Tuan Aksara menjelaskan maksudnya.

Bisa kulihat senyum lelaki yang mulai beruban itu terkembang. Ia mengangguk tanda setuju akan saran dari pihak manajemen penerbit.

Hatiku ikut senang mendengarnya. Senyumku merekah karena Tuan Aksara bisa mendapatkan kehidupannya lagi meski tak seperti dulu. Setidaknya, kesempatan kedua untuk memperbaiki nasib siap untuk menuntunnya.

"Terima kasih, terima kasih untuk kalian semua," jawabnya seperti menahan tangis karena wajahnya berlinang.

Agatha dan semua orang tersenyum lebar kecuali dua bodyguard yang menjaga pintu karena wajah mereka masih datar. Yah, mungkin mereka tak memiliki selera humor seperti Squidward jadi ... tak berekspresi.

Pria bagian promosi pamit untuk menghubungi atasannya. Aku berinisiatif untuk mengajak makan siang bersama sembari menunggu keputusan dari pihak manajemen.

Namun, Tuan Aksara masih minder jika bertemu orang-orang. Mungkin karena kala itu kasus tersebut disorot oleh banyak media dan masih terus diperbincangkan bahkan ketika aku menikah dengan Robby.

Keluarga Tuan Aksara Roma juga ikut dibidik oleh media sehingga mereka menutup diri. Siapa sangka, hal tersebut menimbulkan dampak yang cukup mengerikan bagi orang-orang yang dituding bersalah atas sebuah tindak kejahatan.

Hujatan masyarakat yang membuat mental orang-orang itu jatuh dan berdampak besar bagi kehidupan mereka di masa mendatang.

"Jangan khawatir, Tuan Aksara. Aku sudah menyiapkan tempat," ujar Fanny seraya berjalan dengan langkah mantap layaknya pekerja profesional.

Padahal, dia salah satu wartawan yang mengungkap kejahatan Aksara Roma padaku dan ikut menjebloskan ke penjara bersama Robby.

"Ah, terima kasih, Mbak Agatha," jawab Tuan Aksara sungkan.

CEKLEK!

"Wah, privasi ya," ucapku saat kami memasuki sebuah ruangan khusus dengan pelayan siap menyajikan hidangan untuk para tamu VIP.

"Selamat datang. Silakan," sapa dua pelayan serempak yang langsung mendatangi meja kami untuk menyiapkan perlengkapan makan.

Aku malah jadi canggung karena bagiku ini sedikit mewah dan hampir mirip ketika Robby melamarku di sebuah restoran meski berkesan romantis.

Tak lama, pria promosi dari pihak manajemen datang. Dia sering dipanggil Aris oleh orang-orang di kantor meski aku tak tahu nama panjangnya.

"Gimana, Ris?" tanya Agatha dengan dua siku menopang tangannya yang memegang tisu.

"Aris. Pasti di-ACC sama bos. Malah katanya, besok pagi beliau ingin bertemu dengan Tuan Aksara. Jadi ... bercukurlah, mungkin semir rambut, dan pakai pakaian yang keren ya, Tuan Aksara," jawab Aris santai seraya menarik kursi untuknya.

"Siap, Mas," jawab Tuan Aksara dengan anggukan.

Wajah semua orang tampak begitu bahagia. Meskipun di ruang makan khusus itu hanya ada aku, suamiku, Agatha, Tuan Aksara, dan Aris, tapi obrolan kami selama menikmati makan siang cukup menghibur.

Bisa kulihat wajah sedih Tuan Aksara sirna dan tergantikan dengan tawa ringan ketika Aris dengan mahir bercerita tentang pengalamannya selama menjadi bagian promosi.

Ia juga memberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ditekuni oleh Tuan Aksara nantinya sebagai editor.

Bisa kulihat dari mata mantan bosku jika dia tak sabar menunggu hari esok untuk memulai kehidupan barunya meski tak menjadi penulis lagi.

"Bagaimana, kau lega?" tanya Robby tiba-tiba saat merangkul pundakku.

Kubalas dengan senyuman dan anggukan pelan. Robby membalas dengan senyum menawan saat ia kembali memotong daging domba yang dicelup ke saos barbeque.

Acara makan siang hari itu terbilang sukses. Tuan Aksara pamit diantar oleh Aris mengendarai mobil. Aku menjabat tangan mantan bosku dan berharap, saat bertemu dengannya lagi, hidupnya sudah lebih baik.

"Terima kasih sudah memaafkanku, Alia Pitaloka. Aku sungguh menyesal. Hanya orang bodoh yang akan melakukan kesalahan sama untuk kedua kalinya. Aku tak ingin menyianyiakan sisa hidupku dengan ketololan lagi. Terima kasih atas kesempatan keduamu," ucapnya yang membuat hatiku hangat.

"Semoga Anda beruntung dengan kehidupan baru, Tuan Aksara Roma. Jangan hilang arah lagi. Pintu rumahku terbuka jika kau merasa tak ada orang lain yang siap untuk mendengarkan keluh kesahmu," ucapku pelan, dan Tuan Aksara mengangguk dengan senyum lebar.

Keduanya lalu pamit dan melambaikan tangan saat mobil melaju. Agatha juga pamit pulang meski meninggalkan sebuah pesan jika minggu depan ada jumpa fans lagi. Aku mengangguk pasrah karena memang begitulah jadwalnya.

"Bye!" ucapnya seraya melambaikan tangan saat mengendarai mobil seorang diri tanpa sopir.

Robby mengajakku masuk kembali ke kamar. Esok hari, kami baru pulang ke rumah. Robby ingin menikmati waktu bersamaku sebelum buah hati kami mengusik saat di rumah nanti.

***

ILUSTRASI. SOURCE : GOOGLE

Sepertinya novel ini akan pendek aja epsnya kaya sebuah cetakan buku. Estimasi 2 bulan paling lama proses pengerjaannya. Sengaja soalnya lele kudu beradaptasi dengan gaya hidup baru sebagai momi 2 org anak. Kwkwk pengen ngrasain rempongnya urus bayi lagi dan urus anak yang udah sekolah SD. Mohon dimaklumi ya😁

Terpopuler

Comments

👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣

👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣

jangan2 tuan aksara ini suka dengan alia

2023-01-12

1

👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣

👑Bry|ᵇᵒˢˢ࿐💣

Abis ni ada Spongebob

2023-01-12

1

Shofia Febrianti

Shofia Febrianti

👍🏿💪🏿

2022-08-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!