TAK! TAK! TAK!
Hem, begitulah kira-kira suara ketikan dari mesin tik yang sempat menjadi raja dalam pencetakan tulisan di tahun 1800-an sampai abad ke-20. Kutekan tombol-tombol dengan huruf alfabet itu secara bergantian membentuk sebuah kalimat manis untuk menuangkan kisah hidupku. Kupandangi sesekali keluar jendela dengan menyibakkan tirai putih berlapis rotan. Terlihat jelas dari balik kaca, siang terik di hari itu sedang mempertontonkan hiruk-pikuk kota metropolitan Jakarta dari lantai 5 sebuah hotel yang kamarnya dipesan khusus untukku.
Perkenalkan, namaku Alia Pitaloka. Bayangkan saja aku seorang gadis manis yang sedang terlihat asyik mengetikkan beberapa kalimat ke selembar kertas putih. Perlahan, noda hitam dari tinta mesin mencetak kisahku ke lembar putih itu yang terangkai menjadi sebuah paragraf.
CEKLEK!
Pintu kamarku terbuka, di mana kuyakin jika orang yang masuk itu memiliki kartu akses untuk mengganggu keasyikanku.
"Alia! Hei! Ayo!" panggil seorang wanita dengan setelan serba hitam layaknya seorang pekerja kantoran saat ku spontan menoleh ke arahnya.
Wanita itu berambut hitam sebahu dan memakai lipstik merah menyala. Menunjukkan dirinya secara tidak langsung yang berkesan tegas dan ... memang seperti itulah faktanya.
Agatha Fanny. Yup, dia adalah sahabat karibku usai pertemuan pertama yang cukup mengejutkan usai diketahui jika dirinya seorang wartawan.
"Oh, hei," balasku menyapa dengan senyuman dan jari terus bergerak dengan sendirinya seolah sudah saling bersinkronisasi bersama isi pikiranku.
"Hari gini masih pakai mesin ketik? Oh my God. Itu benda nemu di mana coba? Pasar loak ya? Kamu masih kuno, Alia. Padahal penampilan udah kece badai," sindir wanita cantik itu dengan kekehan pelan menatap mesin ketikku.
Aku memilih tak menjawab, tapi meninggalkan kesan lirikan sadis. Namun, Fanny malah terkekeh pelan melihat wajah hororku. Akhirnya, aku angkat bicara juga.
"Mesin ketik ini sejarah awal karirku, Fan. Dan sampai kapanpun, aku akan tetap menggunakan dan tak akan melupakannya. Dia pacar pertamaku. Jangan diolokin ah," keluhku, tapi Fanny malah terkekeh.
"Yuk. Para penggemarmu sudah menunggu. Jangan sampai mereka jadi zombie cuma pengen ketemu penulis idola, dapet coretan dan ciuman bibir merekah di buku, dan ... foto bersama," ajak Fanny dengan anggukan.
"Oke!" jawabku mantap lalu berdiri.
Kutinggalkan pacar pertama di meja agar tak mengecewakan para penggemar. Aku mendatangi gantungan yang terbuat dari besi dan memiliki bentuk unik seperti cabang pohon. Kuambil blazer warna toska kesukaanku dan segera kenakan. Kami berjalan berdua menyusuri lorong dari sebuah hotel menuju ke ballroom yang telah disewa oleh pihak manajemen untuk acara jumpa fans hari ini.
Siapa sangka, ballroom terisi penuh bahkan tak terlihat kursi kosong pada bangku para tamu undangan. Tentu saja jantungku berdebar kencang dan seperti sulit untuk bernapas. Tenggorokanku tercekik dan spontan, kedua tangan mengibas seperti kipas ke wajah.
"Kan, kumat lagi. Masih aja grogi. Santai aja, Al," kekeh Fanny yang menunjukkan gigi putih rapinya di hadapanku.
"Mau berapa kali kamu ngomong juga pasti aku akan seperti ini. Ya ampun, kenapa bisa banyak banget? Berapa undangan sih?" tanyaku menatap Fanny tajam dan merasa sebuah tetesan keringat mulai turun perlahan di dahi, atau itu hanya perasaan.
"Cuma 150 kok. Itu aja udah diundi loh. Kalau gak, bisa sampai 500 lebih," jawab Fanny santai.
"Para pembeli ini khusus di toko buku yang ada di cabang daerah Margonda Depok 'kan?" tanyaku masih menatap Fanny lekat.
"Yup," jawabnya mantap dan diakhiri dengan senyum terkembang. "Mau gimana lagi? Karyamu best seller. Tinggal nunggu aja ada produser ngelirik karyamu untuk diangkat jadi film layar lebar," ucapnya dengan dua tangan melipat depan dada, tapi kali ini, sungguh aku tidak peduli.
Kakiku terasa lemas. Terlebih, aku harus memakai sepatu hak tinggi, dan pakaian super formal seperti Fanny layaknya orang kantoran. Jujur, ini bukan gayaku. Namun, tuntutan dari pihak manajemen. Jadi ya ... mau bagaimana lagi?
Aku bahkan sudah tak memakai kacamata selama menghadiri acara jumpa fans yang sudah dijadwalkan oleh pihak manajemen. Fanny memperkenalkan softlens meski mataku masih terasa pedih dan merah ketika memakainya. Aku masih nyaman menggunakan bingkai yang mengurung kaca di depan mataku itu. Namun, Fanny meyakinkan jika aku tampil menawan tanpa kacamata.
Hingga akhirnya, kudengar suara tepuk tangan meriah dari belakang panggung. Aku melihat dari layar LCD yang terpasang pada dinding ruangan tempatku menunggu sebelum muncul menemui para pembaca setia di mana mereka selalu membeli bukuku tiap cetakan baru terbit. Kudengar suara pembawa acara menyapa para pembaca dan memperkenalkan karyaku.
Hingga akhirnya, "Mari kita sambut, penulis cantik kita, Alia Pitaloka dengan nama yang sudah tak asing lagi, Pena!" seru pembawa acara itu dengan suara riang gembira memanggilku.
Kutarik napas dalam meski tanganku berkeringat. Kumelangkah dengan gugup keluar dari pintu menuju ke arah panggung berlevel rendah. Praktis, suara tepuk tangan meriah langsung menghujani ketika kuberdiri di samping pembawa acara tersebut seraya mengembangkan senyuman dan melambaikan tangan.
"Halo, Kak Pena. Apa kabar? Wah, makin cantik aja. Awet muda loh. Tau gak? Semua pembacamu tegang. Mereka meninggalkan komentar pada catatan undian kalau novelmu bikin senam jantung tiap lembarnya."
"Hahahaha!" tawa para pembacaku yang sudah duduk dengan pakaian terbaik mereka karena kulihat, tak ada yang berpenampilan kumal bahkan mereka bermake-up. Sungguh, aku tersanjung.
"Gak papa, biar jantungnya sehat," jawabku dengan senyum terkembang, dan lagi-lagi mereka tertawa.
Pembawa acara siang hari itu seorang gadis cantik berambut panjang yang dibuat gelombang pada bagian bawahnya itu membuat suasana jumpa fans makin meriah karena kecantikannya. Dia seorang aktris yang merupakan salah satu pembaca setiaku juga. Fanny mengetahui hal tersebut saat ia melakukan sesi wawancara pada aktris tersebut dan dia mengatakan jika salah satu sahabat pena. Sungguh, aku tak pernah membayangkan bisa menjadi penulis terkenal dan dikagumi oleh banyak orang.
Ini seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Sebuah anugerah pemberian Tuhan dan tak henti-hentinya kuucapkan, alhamdulilah. Acara siang hari itu terbilang sukses. Kami mengobrol dan mengupas tentang isi novelku yang bergenre aksi laga layaknya film James Bond, tapi versi Indonesia.
Bahkan, ada salah satu aktor pria Indonesia yang sudah merambah hingga ke dunia acting Internasional dan menjadi sampul majalah novelku. Pria tampan berambut hitam itu ikut hadir dalam acara. Tentu saja, paras tampan dan tubuhnya yang atletis membuat seluruh kaum hawa di ballroom heboh seraya mengelu-elukan namanya ketika sosok itu muncul ke atas panggung.
"Bang Joe Taslim!" teriak salah satu penggemar histeris, dan aktor laga tersebut hanya terkekeh seraya melambaikan tangan.
Akhirnya, lelaki tampan itu ikut duduk bersamaku dan pembawa acara cantik di panggung. Suasana makin meriah saat Joe Taslim memperagakan gaya bela diri kepada para penggemar. Sungguh, kupingku malah sakit mendengar kehebohan mereka bahkan sepertinya, dinding seakan retak karena teriakan wanita-wanita cantik itu.
"Terima kasih banyak, Bang Joe atas kedatangannya. Para sahabat pena jangan beranjak dulu ya, karena setelah ini kita ada sesi foto dan tanda tangan dengan Kak Pena sekaligus Bang Joe. Kalian beruntung karena menjadi yang terpilih diantara 500 orang yang sudah membeli buku karya terbaru dari Kak Pena. Tepuk tangan untuk kita semua," ucap pembawa acara yang membuat semua penggemarku mengembangkan senyuman termasuk Joe Taslim.
***
ILUSTRASI.
SOURCE : FREE IMAGES & sukabumi.hallo.id
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Sri Bayoe
nyimak
2023-04-09
1
Willy Yolanda Kutus Tuban
ciuman bibir merekah...kyk di novel yg ta beli dr dirimu mak...simulation😄😄
2022-11-13
1
sowlekahh
sitsuwiiiiit ada pak presiden great rules😆😆😆
2022-09-07
1