Final Judgement (3)

Di ruangan sidang yang penuh dengan tekanan, Ran merasa sangat kecil dan takut.

Kemarahan yang selama ini ia rasakan ketika mendengar pembelaan pelaku hanyalah kemarahan sesaat.

Ketika dihadapkan langsung dengan persidangan, nyalinya langsung ciut.

Apa yang harus kulakukan? Batin Ran sambil menunduk.

Hakim memandangi Ran dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya bertanya kepada Pengawas Farizi "Siapa anak ini? Dan kenapa anda ajukan untuk menjadi saksi? Sebaiknya anda memiliki alasan yang masuk akal untuk menjawabnya" Hakim menatap Pengawas Farizi dengan tatapan sinis.

Pengawas Farizi tetap tenang meski ditatap dengan sinis oleh hakim, bahkan ia tersenyum santai, kemudian menjawab pertanyaan hakim dengan nada mengejek "Bukankah saya sudah bilang sebelumnya? Kesaksian dari murid Bardolf terlalu penuh dengan keraguan, saya bahkan lupa sudah berapa kali ia mengatakan Sepertinya. Makanya, dibanding mendengarkan kesaksian dari murid yang tidak melihat kejadian dengan jelas, lebih baik mendengar kesaksian dari murid yang melihat kejadiannya secara langsung bukan?"

"Ya, itu memang benar, tapi jawaban anda sama sekali tidak menjawab pertanyaan saya. Saya bertanya 'siapa anak itu?' Bukan bertanya, 'apa alasan anak itu bisa menjadi saksi' Tolong jawab pertanyaan saya dengan benar."

Pengawas Farizi menghembuskan napas mendengar pertanyaan Hakim, ia menyenderkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum mengejek. Baru kemudian menjawab dengan nada yang sama menyebalkannya dengan senyumannya "Ya ampun, padahal anda bisa mengambil kesimpulan dari kesaksian tidak jelas yang diberikan oleh murid itu, tapi anda tidak bisa mengambil kesimpulan dari jawaban saya tadi. Apakah karena faktor umur? Atau mungkin karena ada 'Pelicin' yang masuk ke dalam kantong anda?"

Semua yang ada di ruangan kaget secara serentak, tidak ada yang menyangka kalau seorang pengawas akan mengejek hakim secara terang-terangan.

Haaaaaa~ Dia mulai lagi Rekan kerja sesama pengawas yang ada di samping pengawas Farizi, menghela napas dan mengeluh di dalam hatinya. Ia melirik pengawas Farizi dengan tatapan kesal sekaligus pasrah. Baginya, ini bukan pertama kali pengawas Farizi mengejek seseorang dan bertindak santai seakan-akan tidak melakukan kesalahan sama sekali.

Dan bagi hakim, ini merupakan penghinaan yang sangat besar "Pengawas Farizi! Saya peringatkan untuk menjaga bicara anda. Saya tahu anda memiliki kewenangan yang tinggi sebagai salah satu pengawas dari Departemen pengawasan Hyper. Tapi bukan berarti saya akan membiarkan penghinaan yang anda lakukan! Camkan hal itu baik-baik!" Hakim berteriak marah kepada pengawas Farizi.

Pengawas Farizi tetap santai menghadapi kemarahan hakim, dan rekan di sampingnya hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Hakim kembali bertanya "Sekali lagi saya akan bertanya, siapa murid yang ingin anda ajukan sebagai saksi ini? Saya minta agar anda menjawab dengan benar, karena saya tidak akan memberikan toleransi lebih dari ini. Saya harap anda sudah paham." Hakim dengan tegas memberi peringatan pada pengawas Farizi.

Sementara itu, pengawas Farizi tetap santai, ia hanya tersenyum dan mengangkat bahunya untuk merespon peringatan dari hakim.

Hampir semua yang ada di ruangan menjadi gusar karena tingkah pengawas Farizi, dan tentu si pengacara wanita adalah yang paling kesal dengan pengawas Farizi.

Walau di wajahnya terus terpasang senyum, namun dalam hatinya penuh dengan sumpah serapah Pria b******k, apa yang dia rencanakan sebenarnya sih? Cepatlah dasar tolol, jangan membuat ini semakin lama!

Pengawas Farizi sadar bahwa semua yang ada di ruangan sudah mulai kesal dengan apa yang dilakukannya.

Sementara itu Ran, ia merasa makin tegang. Awalnya ia hanya berencana untuk menonton saja, tapi tiba-tiba ia diseret oleh seorang pria mencurigakan dan berakhir di dalam ruang persidangan.

Ran juga sadar bahwa dirinya menjadi topik perdebatan utama yang membuat hakim dan pengacara wanita itu menjadi semakin dongkol.

Keringat dingin mengalir deras di leher Ran, pikirannya kacau karena dipaksa masuk ke perdebatan ini

Apa yang harus kulakukan? Kenapa mereka marah-marah? Bagaimana ini? Kabur? Bisa tidak? Om-om ini terus memegangku dari tadi.

Pikiran Ran semakin kacau, ia mulai berpikir hal-hal buruk.

Sementara itu, perdebatan masih terus berlanjut.

Pengawas Farizi terus memprovokasi lawan bicaranya secara terang-terangan.

Ran yang sudah tidak tahan lagi, memberanikan dirinya untuk mengambil tindakan yang sangat nekat, tindakan yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya.

Ayo Ran, kamu pasti bisa!

Set!

Ran mengangkat tangannya.

Tapi.... Tidak ada yang memperhatikannya.

Ran menjadi kesal karena sudah diabaikan, padahal dia sudah ditarik paksa ke tempat ini tanpa adanya persetujuan darinya.

Ran mencoba cara lain, "Pe-Permisi..." Ran mencoba berteriak agar semua orang memperhatikannya, tapi justru berakhir seperti berbisik. Dan tentu saja ia kembali diabaikan.

Mau nangis rasanya T..T

Ran menjerit dalam hatinya.

Namun.... Ada satu orang yang memperhatikan Ran, ia adalah orang yang paling dekat dengan Ran, tentu saja secara harfiah.

Orang itu adalah pria besar yang membawa Ran ke ruangan sidang.

Bum!

Pria itu menghantam lantai dengan kaki besarnya.

Perhatian semua orang otomatis ke arah mereka.

Ran langsung terkejut karena tatapan banyak orang yang mendadak mengarah padanya.

Waduh! Walau ini tujuanku, tapi kalau ditatap begini, rasanya menakutkan.

Ran membeku karena gugup.

Melihat Ran yang hanya diam, pria kekar di sebelahnya mengambil inisiatif.

"Maaf menggganggu, tapi anak muda ini sepertinya ingin mengatakan sesuatu."

"!!!!!??????" Ran sangat terkejut hingga tidak bisa mengatakan apa pun.

Tatapan mata yang awalnya terbagi dua, sekarang menjadi fokus padanya.

"Huffffttt... Hhhhh...." Napas Ran tersengal karena panik.

Dan sekali lagi, pria kekar di samping Ran, mengambil inisiatif.

Puk!

Pria kekar itu menepuk pundak Ran agar Ran tersadar dari paniknya.

Mendapat Rangsangan fisik membuat rasa panik Ran sedikit menurun. Pikiran Ran yang awalnya kosong dan berkabut, menjadi sedikit jernih.

Ran menatap pria kekar di sampingnya, pria itu menggerakkan kepalanya ke arah orang-orang yang menatap Ran, seolah olah berkata, "Lakukanlah,"

Ran menjadi lebih tenang, ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Huffftttt.... Permisi Tuan dan Nyonya, saya ingin memperkenalkan diri, karena sepertinya, tidak ada yang berniat memperkenalkan saya. Saya adalah Ran Corbin. Saya juga salah satu murid di sekolah Hyper ini, dan meski saya tidak suka mengakuinya, tapi saya satu kelas dengan para pelaku kasus ini."

Ran telah selesai, ia memasang ekspresi datar di wajahnya untuk menunjukkan ketenangannya. Walau dalam hatinya berkata lain.

Su-Sudah? Tidak ada yang salah kan? Eh tapi kayaknya tadi suaraku sedikit tersedak. Aku tidak salah dalam mengeja namaku kan?

Hakim mengangguk mendengar perkenalan dari Ran. Ekspresinya tidak jelas, tapi setidaknya Ran tahu bahwa Hakim puas karena sebelumnya terus dipermainkan oleh Pengawas Farizi. "Baiklah terimakasih, saya menghargaimu nak, setidaknya kamu memperkenalkan dirimu tanpa bertele-tele, berbeda dengan pria dewasa yang tidak tahu malu ini."

Pengawas Farizi hanya tersenyum sambil menyilangkan tangannya dalam merespon ejekan dari Hakim.

Sementara Ran tersenyum canggung mendengar pujiannya.

"Tapi....!" Hakim meninggikan suaranya, "Saya tidak bisa menerima hal ini."

Ran sangat terkejut, sementara pengawas Farizi tetap tenang, seolah-olah sudah tahu hal ini akan terjadi.

Pengawas Farizi bertanya, "Hmm? Apa alasannya? Bukankah bagus jika kita mempunyai saksi yang memiliki pandangan yang lebih jelas terkait masalah ini. Daripada saksi yang hanya terus memberikan kesaksian yang penuh dengan dugaan personal."

Hakim memijat dahinya ketika mendengar pertanyaan pengawas Farizi, "Tuan pengawas, memang bagus jika ada yang punya pandangan yang lebih jelas terkait masalah ini, saya juga setuju bahwa kesaksian dari saksi pertama penuh dengan dugaan personal sehingga sulit dipastikan kredibilitasnya." Hakim diam sejenak.

Hakim itu melihat ke arah Ran dengan tatapan yang sinis, "Tapi, saksi yang anda ajukan justru lebih buruk, karena memiliki kemungkinan memihak pada pelaku bukan?"

Mendengar perkataan hakim, pengawas Farizi tersenyum kecil, "Ya ampun tenanglah pak hakim, hanya karena mereka sekelas, bukan berarti akan selalu memihak korban. Iya kan Ran? Memangnya kau teman mereka?"

Teman mereka!? Ran menggumamkannya dalam hati.

"Teman mereka" Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang bisa dijawab dengan "Ya" atau "Tidak"

Mengingat hubungan mereka, sudah jelas bahwa mereka bukan teman.

Tapi, Ran tidak pernah berada di posisi dimana dia punya kebebasan untuk menentukan apakah mereka teman atau tidak.

"Tentu saja kami temannya!"

"Benar, Ran coba ceritakan seberapa akrab kita."

"Ran, kamu memang suka bercanda, tapi sekarang jangan bercanda dulu yah."

"Kau ingat dengan es kopi yang kutraktir kan?"

Para murid yang biasa membully Ran, sekarang berbalik menjilat Ran dengan menjijikkan.

Mereka yang biasa menganggap Ran hanya bagaikan kerikil, sekarang malah mencoba mendekati Ran dengan sangat keras.

Ran biasanya pasti hanya akan menjawab "Iya" Bagaikan anjing penurut yang sudah dilatih.

Tapi, rasa frustasi yang Ran rasakan selama berbulan-bulan, rasa sakit karena dipermalukan selama bertahun-tahun. Semuanya menumpuk menjadi sebuah gunung berapi.

Teman? Teman macam apa yang meminjam seragam olah raga temannya dan dikembalikan dengan keadaan rusak? Ran mengingat saat seragam olah raganya kotor oleh cat

Es kopi? Es kopi yang berisi air liur dan abu rokok yang kalian paksa aku minum? Ran mengingat saat ia dipaksa meminum es kopi yang sudah dimasukkan air liur dan abu rokok.

sekarang, gunung api kemarahan milik Ran, sudah meledak.

"MANA MUNGKINNNNNN KAMI BERTEMANNNNN!!!!! MEREKA ADALAH PENJAHAT!!! TUKANG BULLY!!!! SAMPAH MASYARAKAT YANG BAHKAN TIDAK BISA DI DAUR ULANG!!!!"

Ran berteriak sangat kencang, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.

Hakim dan pengacara wanita yang duduk di kursi hampir terjengkal karena kaget, pengawas Farizi tersenyum puas seolah-olah melihat akhir yang memuaskan dari serial tv yang sudah berjalan 25 tahun.

Wajah Ran memerah karena berteriak, napasnya tersengal dan ia bahkan mengeluarkan air mata karena terlalu emosi.

Dan tentu sudah bisa ditebak bagaimana reaksi dari para murid yang sering mengganggu Ran. Wajah mereka merah seperti tomat karena merasa sangat kesal dan jengkel akibat dipermalukan, dan mata mereka seperti akan meloncat keluar karena melotot terlalu tajam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!