Sacrifice From Of Father

Sudah 1 jam lebih Ran menunggu di UKS, tapi pak Aji masih belum bangun juga.

Ran mulai ragu, apakah ia lebih baik pulang atau tetap menunggu pak Aji.

Disaat Ran berada di tengah kebimbangan, pak Aji mendadak bergerak.

Ran langsung terkejut dan buru-buru memeriksa keadaan pak Aji.

"Pa-Pak Aji, bapak udah sadar?"

Pak Aji membuka matanya, ia mencoba untuk bangun, Ran langsung mencegahnya dengan panik.

"Ja-Jangan bangun dulu pak! Berbaring saja dulu, jangan memaksakan diri." Ucap Ran dengan panik

Pak Aji hanya tersenyum lemah dan tetap mencoba berdiri.

Ran tidak bisa mencegahnya, jadi setidaknya ia mencoba untuk membantu pak Aji.

Ran memapah lengan Pak Aji, kemudian menyenderkan punggungnya ke tembok di belakang.

Pak Aji sedikit meringis ketika bangun "Ughh."

Ran merasa bingung tentang apa yang harus ia lakukan berikutnya. Hingga, pak Aji yang membuka percakapan.

"Kenapa Ran? Apa kau punya sesuatu untuk dikatakan?"

Ran menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pak Aji tersenyum lembut, dan sekali lagi mencoba meyakinkan Ran "Ada apa Ran? Jika ada yang ingin kau katakan, katakan saja. Tidak perlu ragu atau pun takut."

Bibir Ran bergetar, baginya, sangat sulit untuk mengucapkan satu kata "Ma-Maaf." Ucap Ran dengan pelan.

"Hmm..?" Pak Aji tidak bisa mendengarnya.

Ran sekali lagi mencoba untuk mengucapkannya "Ma-Maaf." Ucapan Ran masih terlalu pelan.

Pak Aji menghembuskan napasnya, kemudian berkata "Ran, tidak perlu ragu-ragu untuk mengucapkannya, jika kau masih belum bisa, maka kau bisa menundanya hingga kau siap. Tidak apa-apa jika kau mau menundanya, asal jangan kelamaan, agar tidak terlambat."

Perkataan pak Aji menyentuh hati Ran, mata Ran berkaca-kaca, sekali lagi, dengan keyakinan yang lebih baik, Ran mencoba mengatakannya "Ma-maaf, maaf karena membuat bapak terlibat masalah, pa-padahal harusnya ini masalah saya, bukan masalah bapak." Ran mengucapkannya dengan suara bergetar disertai isak tangis.

Pak Aji tersenyum hangat, lalu mengusap kepala Ran dengan lembut.

"Eh?" Ran terkejut dan bingung.

Pak Aji masih tersenyum hangat seolah memberitahu Ran agar tidak merasa bersalah "Tenanglah Ran, lagipula ini kewajiban saya sebagai guru, tidak mungkin saya membiarkan seorang murid terus diganggu seperti itu. Jadi, kamu tidak perlu merasa bersalah." Kata-kata hangat dari pak Aji, membuat Ran terisak dan menangis.

Ran akhirnya menumpahkan seluruh perasaannya.

.

.

"Jadi bagaimana hidungmu pak? Apa masih terasa sakit?"

"Yah~ Dipukul oleh Ranker tepat di hidungmu, pastinya menyakitkan bukan?"

"Yeah, aku tahu jelas bagaimana rasanya."

Ran dan pak Aji berbincang dengan santai, walau sebagian percakapan mereka hanya berisi omong kosong basa-basi.

"Oh iya pak, bagaimana dengan ujianku? Ini kedua kalinya ujianku ditunda."

"Sepertinya akan ada guru pengganti untukmu Ran. Jangan khawatir, akan kupastikan kam mendapat guru yang ramah."

"Kuharap begitu, tapi cukup sulit untuk menemukan guru yang seorang Ranker serta ramah kepada orang sepertiku. Kebanyakan dari mereka adalah tipe perfeksionis yang tidak menoleransi kegagalan sepertiku."

"Jangan pesimis seperti itu, cobalah sedikit optimis Ran."

"Aku sudah mencoba optimis, tapi selalu saja akan ada masalah lainnya, seperti saat di kelas, aku mencoba sedikit berani, tapi malah berakhir jatuh dengan sangat memalukan."

"Kamu hanya kurang beruntung saja Ran, cobalah untuk optimis, jangan biarkan dirimu dikuasai oleh sikap pesimis seperti itu."

Obrolan mereka terus berlanjut hingga terdengar bel pulang.

Ting! Ting! Ting!

"Wah, sudah waktu pulang yah, sudah pulang saja kamu Ran."

"Tapi bagaimana ujianku?"

"Sepertinya akan ditunda dulu, di grup guru, para guru sedang sibuk untuk mengatasi masalah para teman sekelasmu, karena ini kasus serius yang dikategorikan sebagai "Penyerangan pada warga sipil" Orang tua mereka akan dipanggil. Jadi ujianmu akan ditunda selama beberapa hari."

"Hadehhhh... Padahal aku sudah berharap untuk menyelesaikan ujianku hari ini, agar tidak harus bolak-balik ke sekolah lagi."

"Hehehe, sepertinya kamu akan terus bersama pak tua ini selama beberapa lama lagi Ran."

"Ya ampun pak, aku jadi merasa merinding jadinya."

"Hehehe."

"Yasudah, saya akan pulang dulu. Jaga kesehatanmu yah pak." Ran berdiri dari kursinya, dan tanpa sengaja, surat dari ayahnya, jatuh dari saku celana Ran.

Pak Aji memperhatikan surat itu dan menanyakannya pada Ran.

"Hei Ran, ada surat yang jatuh dari sakumu tuh."

"Hah? Dimana?"

"Sepertinya jatuh ke bawah kasur, coba lihatlah."

Ran menengok ke bawah kasur, dan menemukan surat dari ayahnya yang sudah lecek. "Oh iya, ada pak." Ran mengambilnya dengan malas.

Pak Aji merasakan kejanggalan. "Ran, surat dari siapa itu? Apakah penting?"

Ekspresi Ran berubah menjadi tidak nyaman, ia tidak mau menjawab pertanyaan dari pak Aji "Bukan apa-apa, hanya surat tidak penting."

Walau Ran menjawabnya sebagai surat tidak penting, pak Aji tahu ada yang aneh dengan surat itu karena ekspresi Ran yang aneh.

"Jangan bohong Ran, jika surat itu tidak penting, tidak mungkin ekspresimu jadi seperti itu. Cobalah jujur." Pak Aji menatap mata Ran, tapi Ran menghindari tatapan pak Aji dan langsung pergi keluar UKS.

Di depan pintu UKS, Pak Aji sekali lagi berbicara pada Ran. "Ran, mungkin kamu takut dengan kenyataan yang ada, tapi cobalah hadapi kenyataan itu. Jangan terus kabur, karena, kenyataan itu, adalah bagian dari hidupmu, tidak mungkin kau bisa menghindar selamanya."

"....."

Ran hanya diam tanpa menjawabi perkataan pak Aji, kemudian Ran keluar dari UKS tanpa sepatah kata pun.

Pak Aji hanya bisa menghela napasnya.

.

.

Di jalan pulang.

Langit sangat mendung, tampaknya akan turun hujan deras.

Ran berjalan pelan sambil memandangi surat dari ayahnya. Ia semakin bimbang karena perkataan dari pak Aji.

Harus kubaca, atau tidak? Pertanyaan itu terus berulang di pikiran Ran.

Di satu sisi, ia sangat penasaran dengan isi surat tersebut, tapi karena kebencian pada ayahnya, membuat Ran menjadi tidak mau membuka surat tersebut.

Cih! Bikin perasaan tidak enak saja.

Ran akhirnya memutuskan untuk membaca surat tersebut.

Ran merobek amplop yang membungkus surat tersebut dengan kasar. Kemudian mengeluarkan secarik kertas yang sudah lecek.

Tulisan di surat tersebut sulit dibaca karena Ran meremas surat itu berkali-kali.

Ran dengan susah payah membacanya.

Untuk Ran.

Ran, kau mungkin tidak akan mau membaca surat ini, tapi tidak apa. Aku tidak akan memaksamu untuk membacanya, aku sudah tahu seberapa besar kesalahanku padamu. Tapi, hal yang harus kau ketahui Ran, aku sangat menyayangimu. Maafkanlah ayahmu yang penuh dengan kesalahan ini, pikiranku selalu kacau setelah kematian ibumu, aku terus mengutuk ketidakberdayaan diriku setiap harinya. Maaf karena selalu memukulmu, maaf karena tidak bisa memberikanmu makanan enak, maaf karena hanya bisa memberikanmu rumah yang buruk, maaf karena tidak bisa membelikanmu baju yang bagus, maaf karena telah menjadi ayah yang buruk. Aku tahu, kesalahanku tidak akan bisa hilang dengan mudah, aku tahu kau akan selalu membenciku, tapi tidak apa, aku akan menghilang dari pandanganmu. Maaf karena mendadak pergi, aku pergi ke wilayah pertambangan di utara, aku memilih menjadi penambang disini, dengan begini, setidaknya aku bisa mengirimkan uang untuk kebutuhanmu. Maaf, karena baru bisa melakukan ini setelah sekian lama, setelah tahu kau terluka karena monster dan Gate, aku menjadi takut. Aku tidak mau kau mengalami hal yang sama dengan ibumu, pakailah uang yang kukirimkan untuk mencari pekerjaan lain. Jangan menjadi Ranker, carilah pekerjaan lain, pekerjaan yang aman agar kau bisa berumur panjang.

Ran membaca surat itu dengan gemetaran.

Dada Ran terasa sangat sakit, Ran menangis bersamaan dengan turunnya hujan.

Ran tersungkur hingga suratnya terlepas dari tangannya.

Ran terisak dengan keras "Hiks.... Hiks.... Hiks.... K-K-Kenapa baru sekarang, ukh, kenapa baru sekarang kau bertingkah seperti seorang ayah!? Jangan menjadi Ranker? Omong kosong! Aku akan menentukan jalanku sendiri, aku tidak akan menyerah menjadi Ranker."

Ran berdiri dengan kepayahan "Tidak peduli semenyakitkan apa pun, sesulit apa pun." Ran menyeka matanya.

"Aku tidak akan menyerah, aku akan menjadi Ranker terkuat!!!" Ran berlari dengan kencang.

Genangan air di jalanan menyembur ke berbagai arah karena terinjak Ran.

Dak! Dak! Dak!

Drrrrrr..... Gluduk! Duar!

Suara gemuruh petir berpadu dengan suara hentakan kaki Ran.

Hingga aku menemukan, orang yang membuat ibuku seperti itu!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!